Anticipated Regret pada Pembelian Produk Preloved dan Produk Palsu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Komunitas Konsumen Indonesia

Barang bekas pernah memiliki reputasi buruk. Orang yang membeli produk fashion bekas dianggap tidak berkelas dan pembelinya kebanyakan dari kelas menengah ke bawah yang ingin mencari produk trendi dengan harga murah. Namun sekarang perdagangan barang bekas telah tumbuh dan merambah ke dunia mode dengan pembeli dari kelas menengah ke atas. Keinginan untuk selalu tampil trendi menyebabkan produk fashion bermerek kelas atas selalu diminati, meskipun ‘bekas’. Kemudian, istilah preloved muncul. Pemilik yang bosan dapat menjual barang bermereknya, dan kemudian mendapat untung. Di sisi lain, mereka yang ingin meningkatkan penampilan melalui barang-barang fashion bermerek akan membelinya. Simbiosis yang saling menguntungkan terjadi.

Produk preloved dijual di banyak toko online. Produk-produk fashion bekas yang berkualitas tinggi dijual dengan harga lebih murah. Di sisi lain, keinginan konsumen untuk membeli produk bermerek dengan harga lebih rendah telah menyebabkan fenomena produk palsu. Dalam hal produk palsu di Indonesia, produk-produk ini dijual dalam beberapa tingkat kualitas. Ada fenomena di pasaran saat ini di mana beberapa produk preloved dijual dengan harga yang sama atau serupa dengan produk-produk palsu seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini yang menunjukkan instagram penjual yang menjual tas preloved tas Coach (asli) dan Chanel (palsu) di harga yang sama (Rp 1,4 juta).

Fenomena produk preloved dan produk palsu yang mahal dimotivasi oleh keinginan konsumen untuk melihat tren fashion terbaru dengan biaya yang lebih terjangkau. Kedua jenis pembelian ini sebenarnya berisiko bagi konsumen. Risiko konsumen mengacu pada ekspektasi hasil tertentu atau kemungkinan peristiwa negatif. Dalam keputusan pembelian, konsumen pada dasarnya terkena risiko fungsional, keuangan, psikologis, dan sosial. Risiko fungsional adalah karena kegagalan kinerja atas utilitas produk, risiko keuangan adalah potensi kehilangan uang lebih dari yang seharusnya, risiko psikologis termasuk kemungkinan ketidaknyamanan mental sebagai akibat dari transaksi, dan risiko sosial yang terkait dengan citra buruk yang menyebabkan konsumen mungkin mengalami dengan mengkonsumsi suatu produk tertentu.

Mengingat risiko yang ditanggung oleh konsumen ketika mereka membuat keputusan pembelian, sangat mungkin konsumen akan mengalami penyesalan setelah membeli produk. Kemungkinan lebih besar ketika konsumen membeli produk bekas atau palsu. Berdasarkan asumsi bahwa konsumen bertindak secara rasional, konsumen sadar bahwa ketika mereka memutuskan untuk membeli produk palsu ataupunproduk preloved, mereka sadar akan risiko yang mungkin mereka tanggung, seperti penurunan kualitas produk atau biaya sosial ketika teman atau keluarga mengetahui bahwa produk yang mereka beli adalah produk bekas atau palsu. Sebagai implikasi dari hal ini, konsumen mengembangkan mekanisme untuk mengantisipasi penyesalan yang mungkin mereka rasakan setelah melakukan pembelian. Mekanisme ini disebut sebagai anticipated regret(Chen et al., 2015). Ketika konsumen mengantisipasi hasil negatif sebagai akibat dari tindakan mereka, ingatan dan kognisi mereka akan menginformasikan tidak hanya tentang pilihan yang salah yang telah mereka buat di masa lalu tetapi juga tentang pilihan yang mungkin sesuai di masa depan (Davvetas dan Diamantopoulos, 2018; Shih dan Schau, 2011). Karena fenomena preloved adalah pengganti untuk produk palsu yang mahal dan fakta bahwa kedua produk tersebut dijual dengan harga yang relatif sama, ketika konsumen mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari membeli produk palsu yang mahal, mereka akan lebih memilih produk preloved untuk memaksimalkan utilitas pembelian mereka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen akan mengurangi preferensi mereka terhadap produk palsu ketika mereka menyadari penyesalan yang akan mereka rasakan di masa depan untuk keputusan pembelian mereka. Studi ini juga menunjukkan bahwa penurunan preferensi terjadi karena konsumen merasakan risiko pada keputusan pembelian mereka. Hasil penelitian ini dapat berkontribusi pada upaya mengurangi pembelian produk palsu. Pemerintah Indonesia, di mana penelitian ini dilakukan, menghadapi masalah besar dengan sejumlah besar pembajak pada berbagai jenis produk: film, musik, perangkat lunak, obat-obatan, produk-produk fashion, dan beberapa produk lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, konsumen akan mengubah pola pembelian mereka terhadap produk palsu jika preferensi mereka untuk produk berubah. Kegiatan promosi dapat dijalankan oleh pihak berwenang dengan menambahkan situasi di mana konsumen akan malu untuk membeli dan menggunakan produk palsu. Ini dapat dilakukan dengan menekankan risiko yang akan mereka alami, seperti risiko sosial dan risiko fungsional.

Penulis: Masmira Kurniawati

Link jurnal terkait tulisan di atas: journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jdm/article/view/18537

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).