Anak Muda Milenial sebagai Free Digital Labour

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleg IDN Times

Di era perkembangan masyarakat digital, anak muda adalah figur sentral banyak terlibat dalam berbagai aktivitas digital, bukan sekadar sebagai pengguna Teknologi Informasi (TI) yang adiktif, tetapi juga sebagai anak milenial yang terbiasa mengakses informasi, dan bahkan menjadi penggemar yang eksis di dunia maya. Mereka tidak hanya berkumpul secara off line dengan sesama penggemar produk budaya populer, tetapi mereka juga memanfaatkan TI untuk saling berinteraksi dengan penggemar yang lain. Dalam kajian ilmu sosial, kemunculan kelompok anak muda di Indonesia yang merupakan penggemar novel, film beserta produk-produk industri budaya populer global lain adalah bagian dari studi tentang digital fandom. Anak-anak muda yang tergabung ke dalam digital fandom, mereka tidak saja sebagai kelompok yang mengkonsumsi dan menggemari teks-teks budaya, memaknai teks-teks budaya, namun mereka juga merupakan kelompok penggemar yang aktif terlibat, berinteraksi serta aktif memproduksi teks-teks budaya dalam komunitas virtual yang mereka ciptakan dalam bentuk situs penggemar. Penggemar The Mortal Instruments, misalnya adalah salah satu komunitas yang menampung anak muda di sebuah situs penggemar yang merupakan kumpulan penggemar novel karya Cassandra Clare yang terkenal.

Anak-anak muda urban penggemar budaya populer global adalah prosumer yang tidak hanya menjadi konsumer pasif yang hanya menikmati teks-teks budaya sebagai bagian dari aktivitas pleasure, tetapi mereka juga menjadi bagian dari kelompok penggemar yang aktif sebagai produser yang menciptakan teks budaya mau pun paratexts hasil dari kreativitas mereka sebagai bagian dari net generation. Artinya, sebagian penggemar di sini tidak sekadar hanya sebagai co-creation, namun juga merupakan co-production, yaitu pengguna aktif berpartisipasi menjadi bagian dari kerja organisasi kapitalisme di balik perkembangan produk industri budaya, sehingga maka semakin tidak bisa dibedakan antara konsumen dan produsen.

Anak muda yang merupakan prosumer, mereka sehari-hari biasanya menghabiskan waktu untuk melakukan berbagai aktivitas yang menyenangkan di dunia maya. Berselancar dan mencari informasi tentang tokoh idola yang mereka gemari adalah salah satu aktivitas yang biasa dilakukan anak muda di era milenial. Bahkan, lebih dari sekadar mengakses dan mengkonsumsi informasi, anak-anak muda milenial yang tergabung dalam digital fandom tak jarang juga memproduksi teks-teks digital yang biasa mereka share kepada teman lain. Dalam posisinya sebagai konsumer dan produser inilah, anak-anak muda milenial akhirnya disebut sebagai prosumer.

Mengisi waktu luang dengan menelusur informasi yang diinginkan adalah hal yang lazim dilakukan anak muda  di era milenial. Di satu sisi anak-anak yang mengakses informasi dan menelusur informasi yang mereka inginkan, mereka akan memperoleh manfaat yang menyenangkan. Di sisi lain, anak-anak yang memanfaatkan waktu menelusur informasi, bahkan memproduksi informasi yang berkaitan dengan budaya populer yang mereka gemari, sesungguhnya tanpa sadar akan menempatkan anak itu pada posisi sebagai perpanjangan tangan kapitalis yang memproduksi produk industri budaya. Anak muda penggemar budaya populer seperti inilah yang dalam penelitian penulis disebut sebagai free digital labour.

Studi yang dilakukan penulis menemukan, anak muda urban penggemar  budaya populer di era postmodern, bukanlah subjek yang benar-benar terbebas dari hegemoni ideologi kapitalisme. Meski pun dengan adanya web 2.0 dan dukungan sifat media yang spreadability, penggemar memperoleh kesempatan untuk membuat situs tersendiri, memproduksi dan mensirkulasikan konten teks budaya dalam ruang chat untuk mengekspresikan kegemaran dan memperlihatkan identitas kulturalnya (user generated content), namun bagi kekuatan komersial di balik kapitalisme media hal itu ibaratnya adalah feedback yang menjadi umpan baru bagi kapitalisme untuk mereproduksi teks-teks budaya populer baru yang kembali mereka lempar ke pasar. Setiap reaksi yang dikembangkan dan diekspresikan anak muda sebagai bagian dari online fandom, terutama ekspresi yang mereka perlihatkan di dunia maya, bagi kapitalis adalah modal untuk mereproduksi produk budaya populer yang segera mereka tawarkan ke konsumen.

Penulis: Rahma Sugihartati
Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Artikel lengkap bisa diakses pada: Rahma Sugihartati, Youth fans of global popular culture: Between prosumer and free digital labourer, Journal of Consumer Culture 0(0) 1-19.  https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1469540517736522.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).