Menilik Metode Efektif Edukasi Kesehatan Gigi untuk Anak-Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh sains kompas com

Perilaku menjaga kesehatan dan kebersihan rongga mulut pada anak-anak di Indonesia masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan tahun 2013, dimana terdapat 28.9% anak usia 5-9 tahun mengalami masalah kesehatan gigi. Angka masalah gigi yang tinggi ini salah satunya dipengaruhi oleh perilaku, pengetahuan, dan kebiasaan dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. Terlebih lagi, pada usia anak-anak, edukasi kesehatan memang tidak mudah untuk diterima. Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut adalah melalui Dental Health Education (DHE) atau yang umumnya dikenal sebagai penyuluhan kesehatan gigi dan mulut. DHE bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, serta merubah perilaku seseorang, baik individu maupun secara kelompok, yang mengarahkan kepada gaya hidup sehat. Pada usia anak-anak, banyak informasi yang diterima berasal dari interaksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Misalnya orangtua, guru, dan teman sebaya. Anak-anak menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain dan belajar hal baru bersama teman-teman, karena itu pertukaran dan penyerapan informasi lebih intens terjadi.

Dr. Ninuk Hariyani, drg., M.Kes., MPH., Ph.D dari Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat, FKG UNAIR, bersama dengan tim melakukan sebuah penelitian mengenai efektivitas metode peer-group untuk memberikan edukasi kesehatan gigi dan mulut untuk anak-anak. Seperti namanya, metode ini menerapkan pola penyampaian informasi dari anak yang dianggap memiliki pengaruh, seperti ketua kelas, ketua kelompok, kepada anak lain. Pertukaran informasi kesehatan ini dirancang senatural mungkin, dan diharapkan pertukaran informasi yang biasanya terjadi pada saat anak-anak bermain dan belajar bersama teman-teman dapat menyelipkan edukasi kesehatan gigi.

Penelitian ini dilakukan pada 77 siswa kelas 4-5 Sekolah Dasar selama dua bulan. Terbentuklah beberapa kelompok yang terdiri dari 5-10 anak tiap kelompok. Kelompok ini terbentuk secara alami, mereka cenderung berkelompok dengan teman-teman yang memiliki hobi sama, kesukaan pada hal yang sama, dan kedekatan secara personal. Dari tiap kelompok tersebut juga telah dipilih seseorang yang menurut rekan sekelompoknya memiliki pengaruh, misalnya pandai berbicara, paling aktif, dan dapat memimpin teman-temannya. Di awal penelitian, seluruh anak melakukan pre-test untuk mengukur pengetahuan mereka terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Dengan bantuan guru di sekolah, peneliti pun memulai penyuluhan kesehatan gigi dan mulut kepada seluruh siswa kelas 4-5. Kemudian, para ketua kelompok diberikan sebuah “misi” untuk menyampaikan edukasi kesehatan gigi dan mulut kepada teman-temannya, paling tidak sebanyak dua kali dalam sehari selama dua bulan. “Misi” ini sangat penting untuk menentukan efektivitas dari metode peer-group untuk penyampaian materi kesehatan gigi dan mulut atau DHE.

Setelah dua bulan penelitian, seluruh siswa yang termasuk dalam responden penelitian melakukan post-test untuk mengukur peningkatan pengetahuan kesehatan gigi dan mulut yang terjadi setelah mendapatkan informasi dari teman sebaya mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil post-test pada siswa kelas 4 SD, namun terjadi penurunan hasil post-test pada siswa kelas 5 SD. Pada Analisa statistik juga tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara hasil pre-test dan hasil post-test. Sedangkan untuk para ketua grup, terjadi peningkatan hasil post-test pada seluruh ketua grup.

Hasil penelitian ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah interaksi antara ketua kelompok dan teman-temannya yang ternyata tidak intens. Topik kesehatan gigi dan mulut juga jarang diangkat dalam keseharian mereka di sekolah, bahkan oleh ketua kelompoknya sekalipun. Mereka lebih sering terlibat dalam pertukaran informasi mengenai hal-hal yang mereka sukai, misalnya mainan dan film. Para ketua kelompok memiliki peningkatan hasil post-test. Hal ini dapat disebabkan oleh tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka sebagai ketua kelompok, sehingga secara alamiah mereka lebih menguasai materi kesehatan gigi dan mulut. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa metode peer-group tidak cocok untuk diterapkan sebagai metode edukasi kesehatan gigi dan mulut.

Penulis: Dr. Ninuk Hariyani, drg., M.Kes., MPH., Ph.D

Hariyani N, Setyowati D, Aristyanti N, Setijanto D. Natural peer group approach as a learning strategist for maximizing dental health education in school-age children. J Int Oral Health 2020;12:27-32.

Link terkait dapat diakses di: Journal of International Oral Health (JIOH) http://jioh.org 

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).