Evaluasi Pengulangan Terapi Menggunakan Efektivitas Skor Kemoembolisasi Transarterial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Liputan6.com

Infeksi hepatitis B merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV), serta merupakan infeksi yang paling umum terjadi di Indonesia, yang berdampak menimbulkan karsinoma hepatoseluler (HCC). Penularan melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya. Keluarga menjadi sumber yang paling potensial dalam penularan hepatitis B. HCC didefinisikan sebagai kanker hati primer yang paling sering dijumpai pada pasien dengan penyakit hati kronis dan sirosis. Perlemakan hati non-alkohol, aflatoksin, alkohol, serta faktor genetik juga merupakan faktor risiko HCC. Insidensi dan angka mortalitas HCC di dunia menunjukkan prognosis buruk dari penyakit ini. China menjadi negara dengan insidensi tertinggi (55%), kemudian diikuti oleh Afrika Sub-Sahara. Kejadian HCC di Indonesia diperkirakan tinggi, karena dilaporkan bahwa Indonesia memiliki endemisitas moderat infeksi HBV. Alokasi pengobatan dan prognosis pasien HCC juga dipengaruhi oleh fungsi hati yang tersisa. Beberapa rekomendasi pengobatan tahap awal yang disarankan, diantaranya yaitu reseksi hepatik (SDM), transplantasi hati ortotopik (OLT), dan radiofrekuensi ablasi (RFA). Namun, diagnosis yang terlambat mengakibatkan pemilihan pengobatan menjadi terbatas menggunakan pendekatan paliatif, seperti kemoembolisasi transarterial (TACE) dan terapi sistemik.

TACE menjadi pilihan pengobatan yang direkomendasikan sebagai standar perawatan tumor asimptomatik multinodular tanpa invasi makrovaskular atau metastasis ekstrahepatik (HCC intermediate, BCLC tahap B). Namun, hasil TACE bervariasi dan sulit diprediksi, sehingga mayoritas pasien memerlukan terapi berulang dalam mencapai respons radiologis yang optimal. Sisi lain menunjukkan bahwa, terapi berulang berpotensi mengakibatkan kerusakan hati, yang berdampak pada kelangsungan hidup. Oleh karena itu, alat medis objektif diperlukan dalam memilih kandidat terbaik yang akan melakukan terapi berulang. Salah satunya yaitu melakukan evaluasi menggunakan skor TACE (ART). Skor terdiri dari parameter yang terkait dengan efek TACE sebelumnya pada tumor (respons radiologis) dan fungsi hati (peningkatan AST >25% dan skor Child-Pugh dari batas normal). TACE berulang perlu dihindari apabila skor ART ≥2,5 karena berhubungan dengan prognosis yang buruk. Validasi skor ART pada beberapa penelitian melaporkan hasil yang bervariasi, sehingga penerapannya tidak dapat digeneralisasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti dari Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran, RSUD Dr. Soetomo, Institute of Tropical Disease, Universitas Airlangga berhasil mempublikasikan penelitiannya pada salah satu jurnal internasional, yaitu Systematic Review Pharmacy, yang berfokus untuk menentukan efektivitas skor ART dalam memprediksi hasil kelangsungan hidup, serta memiliki titik akhir sekunder dalam menentukan faktor penentu klinis yang terkait dengan kelangsungan hidup pasien. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data demografi, laboratorium, dan klinis dari database rekam medis satu hari sebelumnya setiap sesi TACE. Perhitungan skor ART dan kelangsungan hidup merupakan jumlah poin dari ketiga variabel, yaitu respons tumor radiologis, peningkatan AST >25%, dan peningkatan skor Child-Pugh.

Kesimpulan penting yang dapat diambil berdasarkan laporan kasus ini, yaitu terdapat perbedaan kelangsungan hidup yang cukup besar. Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran tumor populasi, yaitu >5 cm. TACE dapat menjadi pedang bermata dua karena proses kemoembolisasi tidak hanya menginduksi respons tumor radiologis, namun juga memicu penurunan fungsi hati. Penerapan skor ART dalam proses pengambilan keputusan terapi berulang menggunakan TACE pada populasi Indonesia perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang relatif kecil sehingga memiliki hasil yang bertentangan dengan beberapa penelitian lain. Di samping itu, enzim hati abnormal sebagian besar ditemukan pada pasien yang menderita HBV kronis. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar AST juga dipengaruhi oleh infeksi virus hepatitis. Ditemukan bahwa tingkat AFP awal merupakan prediktor independen yang terkait dengan kelangsungan hidup pasien. Hal ini dikarenakan AFP juga memantau respon pengobatan, kekambuhan, dan kelangsungan hidup. AFP memiliki kemampuan untuk mendorong proliferasi sel kanker hati, konfirmasi pembuluh darah tumor, meningkatkan efek antiapoptosis sel kanker, dan mendorong keluarnya kekebalan tubuh. Dalam penelitian kami, AFP tidak berkorelasi dengan beban tumor (ukuran, jumlah, dan ekstensi) dan respons tumor radiologis. Hal ini diduga karena perbedaan dalam penentuan cut-off dalam kategorisasi AFP dan tumor.

Kesimpulan hasil penelitian ini, yaitu skor ART berpotensi sebagai prediktor signifikan kelangsungan hidup pasien HCC yang menjalani terapi TACE berulang. Sehingga, skor ART harus diterapkan dengan hati-hati dalam pengaturan klinis harian karena hasil yang bervariasi di antara beberapa penelitian. Kombinasi skor ART dan tingkat AFP dapat meningkatkan nilai prognostik dalam memprediksi kelangsungan hidup pasien kanker hati yang menjalani TACE berulang.

Penulis: Ummi Maimunah  Informasi yang lebih rinci dari penelitian ini dapat dilihat pada artikel kami di Systematic Review Pharmacy, berikut kami sertakan link rujukannya, http://www.sysrevpharm.org/fulltext/196-1589885717.pdf?1592485423

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).