Menilik Perspektif Kajian Budaya Pada Wisata Bongan Tabanan Bali

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Secara resmi, pada tanggal 06 November 2018 Desa Bongan ditetapkan sebagai Desa Wisata. Hal itu sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Tabanan Nomor 180/ 457/ 03/HK & HAM/ 2018, Tentang Desa Bongan Sebagai Desa Wisata. Beberapa desa di Kabupaten Tabanan merupakan daerah agraris, termasuk Desa Bongan yang memiliki luas lahan pertanian 208 hektar dari total 445 hektar luas wilayah desa. Namun, obyek wisata yang diandalkan desa tersebut justru hasil warisan budaya dan tradisi, yakni berupa Situs Kebo Iwa, Tradisi Mesuryak dan Upacara Ngaben Tikus.

Guna merealisasikan rencana tersebut, pihak stakeholder telah menjalin hubungan dengan pihak Universitas Udayana Bali Indoensia, terutama terkait dengan model pengembangan dan pengelolaan destinasi wisata, baik pada proses pembentukan organisasi maupun keberlanjutannya. Salah satu bentuk dukungan yang nyata dari pihak kampus Universitas Udayana adalah selalu membawa mahasisawanya ke kawasan tersebut saat melakukan kunjungan atau kuliah lapangan.  

Selain mengandalkan warisan budaya masyarakat satempat, pengelola desa wisata tersebut juga dapat memanfaatkan tempat penangkaran Jalak Bali yang ada di Banjar Bongan Kauh, panorama sawah yang indah dan wisata tracking. Namun seiring dengan perjalanan waktu, mulai tahun 2019, di kawasan Desa Wisata tersebut juga sudah mulai menggali potensi lain berupa situs warisan budaya yang ada di Dusun Bongan Jawa Desa Bongan Tabanan Bali.

Seperti penjelasan dan deskripsi di atas, Desa Wisata Bongan Tabanan Bali juga mengandalkan warisan budaya, bail tangible atau intangible, salah satunya Tradisi Mesuryak dan Pura Telaga Suman. Keduanya berada di Dusun Bongan Jawa Desa Tabanan Bali. Dari perspektif Teori Praktik ala Pierre Boudieu, munculnya praktik kehidupan beragama di Dusun Bongan Jawa Tabanan Bali sangat terkait dengan kebiasaan masyarakat disana (kemudian disebut habitus) yang berlangsung dalam kurun waktu lama.

Tradisi tersebut kemudian semakin berkembang, sehingga membuat sebuah media baru berupa air pesucian, yang merupakan satu kesatuan dengan rumah ibadah tersebut. Hingga kini, sebagian masyarakat lokal atau wisatawan yang ingin melakukan ritual di Pura Telaga Suman dapat melakukan bersih diri di kawasan pusucian (yang kemudian disebut Kawasan Grembeng). Setelah itu, wisatwan bisa menuju ke rumah ibadah yang letaknya di atas situs tersebut dan letaknya tidak juah. Dari perspektif Pierre Bourdieu, kebiasaan tersebut yang sudah berlangsung lama telah membuat habitat disana, sehingga terbentuk sebuah struktur yang saling melengkapi.

Guna membangun sebuah Pura Telaga Suman dan menjaga keberlangsungan praktik perbadatan disana, diperlukan sebuah sarana yang kemudian oleh Pierre Bourdieu disebut Modal. Menurut cerita tutur, Made Retug adalah orang yang paling kaya di dusun tersebut. Indikator kekayaannya adalah kepemilikan sawah yang sangat luas, salah satunya yang sekarang menjadi tempat berdirinya Pura Telaga Suman. Bangunan pura tersebut awalnya terletak di ujung sawah yang paling luas milik I Made Retug, seorang pekerja keras yang kemudian menghasilkan banyak modal.

Karena persentuhannya dengan dunia Barat (zaman penjajahan Belanda), secara intelektual telah terjadi perubahan model pemikiran (modal), sehingga juga berdampak pada keyakinan dan keagamaannya, I Made Retug pun masuk Agama Kristen. Setelah perpindahan kepemilikan sawah tersebut, keberadaan pura tetap berdiri di ujung sawah tersebut. Pemodal yang kaya tersebut tetap membiarkan Pura Telaga Suman berdiri kokoh, sehingga tradisi beribadah di lokasi tersebut, hingga kini masih berlangsung.

Bagaimana dengan Tradisi Mesuryak? Sebelum menjadi sebuah praktik yang men-tradisi hingga kini, kegiatan yang terkait dengan kepercayaan tersebut awalnya dilakukan oleh (mungkin hanya) orang-orang yang secara sosial disegani (ber-Modal). Dalam konteks modal, masyarakat yang melakukan ritual tersebut adalah orang kaya secara ekonomi dan secara sosial adalah menduduki kelas tertentu. Salah satu modal ekonomi yang disuguhkan dalam acara tersebut adalah berupa Uang Kepeng (uang logam yang berlobang) yang dilemparkan ke atas untuk diperebutkan oleh pengunjung.

Bagaimana Tradisi Masuryak dalam perspektif Teori Komodifikasi Chris Barker? Dalam kajian ini, masuknya Tradisi Masuryak dalam obyek Desa Wisata Bongan Tabanan Bali hanya sedikit mengalami perubahan, itupun juga karena faktor konteks zaman. Perubahan tersebut hanya terletak pada penggunaan media ritual, yang pada awalnya menggunakan Uang Kepeng, kemudian (sebagian besar) diganti dengan mata uang rupiah (Rp.) yang berbentuk koin maupun kertas. Pecahannya pun beragam, karena ada yang menggunakan uang kertas Rp. 1.000,00 hingga Rp. 100.000,00.

Dengan demikian, melalui sektor kepariwisataan dapat menampilkan budaya yang asli yang sebelumnya tidak muncul, dengan demikian mereka juga sadar akan nilai dan keunikan dalam produk mereka melalui penerapan yang masih dibatasi oleh subjek dan objek yang terdefinisi secara spasial dan temporer. Melalui bisnis pariwisata, masyarakat juga mengetahui bagaimana kehidupan mereka di masa lalu dan posisinya di masa sekarang serta masa mendatang, sehingga tercipta sebuah identitas diri yang membedakan dengan masayarakat di luarnya.

Penulis: Nuruddin

Informasi detail dapat dilihat di:

https://produccioncientificaluz.org/index.php/utopia/article/view/32086

S.S Nuruddin, W Ardika, Y Kristianto, G.A.O Mahagangga, I.B Suryawan, I.M Sendra. 2020. Portrait of tourism object in Bongan Tabanan Bali village: Cultural studies perspective.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).