Kohesi Sosial dan Bargaining Position Buruh Migran Ilegal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh atur duit

Ketika trend penduduk melakukan migrasi dan mencari nafkah ke luar negeri makin meningkat, salah satu konsekuensi yang penting dikaji adalah apa implikasi yang dialami para buruh migran yang kebanyakan berstatus ilegal. Laporan United Nations Development Program (2015) mengindikasikan 15% sampai 30% penduduk dunia memiliki kecenderungan bermigrasi ke negara lain dengan tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan keluarganya. Sementara itu, laporan Lowy Institute for International Policy (2014) menyatakan terdapat relasi positif antara peningkatan trend migrasi dengan peningkatan potensi kejahatan transnasional. Riset Lowy Institute memaparkan hubungan antara migrasi, human trafficking, eksploitasi buruh, serta ancaman terorisme.

Berbagai studi telah membuktikan bahwa para buruh migran ilegal, termasuk TKI/TKW dari Indonesia yang mengadu nasib mencari pekerjaan di luar negeri adalah salah satu kelompok masyarakat yang rawan menjadi korban eksploitasi dan sekaligus rawan menjadi korban human trafficking. Berbagai kasus selama ini sering memperlihatkan, keinginan penduduk miskin untuk mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi justru malapetaka yang dialami. Kenyataan pahit inilah yang kerapkali harus dialami buruh migran yang ingin mengadu nasib ke luar negeri dengan cara ilegal. Studi yang dilakukan Ford, Lyons, van Schendel (2012), misalnya melaporkan bagaimana buruh migran dari Indonesia acapkali rawan mengalami perlakuan salah karena tidak melalui prosedur resmi dan tidak pula memiliki dokumen sah yang memperkuat posisi bargaining mereka di hadapan perusahaan atau majikan yang mempekerjakannya.

Dalam salah satu kasus terbaru di awal tahun 2017, di media massa dilaporkan sejumlah buruh migran yang ingin mengadu nasib mencari kerja di Malaysia ternyata mengalami nasib naas. Perahu yang mereka tumpangi dihantam ombak, yang menyebabkan paling-tidak 14 orang lebih dilaporkan tewas. Angka ini tidak mustahil akan bertambah karena perahu yang mengangkut buruh migran ilegal itu diduga berpenumpang 40 orang, sementara korban yang selamat baru enam orang (Jawa Pos, 25 Januari 2017). Sebelumnya, kasus buruh migran yang mengalami kecelakaan atau yang menjadi korban sapi perahan di luar negeri juga telah berkali-kali terjadi. Kisah tentang buruh migran ilegal yang bernasib malang, baik pada saat mereka berangkat atau ketika bekerja sering menjadi warna buram kondisi pencari kerja dari Indonesia yang hendak mengadu nasib ke negeri jiran. Tidak adanya perlindungan dan tidak pula didukung oleh status hukum yang sah menyebabkan sebagian buruh migran rawan menjadi korban kecelakaan dan rentan diperlakukan salah di negeri seberang.

Tanpa dibekali ketrampilan yang jelas dan dokumen yang legal seringkali membuat para buruh migran menempuh “jalur maut” sebelum berhasil mendarat di tanah impian mereka. Akses untuk masuk ke negeri jiran yang mudah dan peluang atau tawaran kerja yang besar di sektor perkebunan dan konstruksi di Malaysia, Hongkong,  Taiwan, dan berbagai negara lain seringkali menyebabkan TKI nekat berangkat meski tidak lewat jalur resmi. Di tengah keterbatasan dan kesulitan untuk mencari kerja dan usaha di daerah asal mereka, menjadi TKI/TKW adalah salah satu godaan yang acapkali membuat penduduk miskin dari berbagai daerah bermata gelap: tidak menakar keselamatan jiwanya, karena yang dipentingkan bagaimana mereka bisa segera memperoleh kerja dan uang di negeri jiran.

Berbeda dengan tenaga kerja asal Filipina yang selama ini dikenal solid dan memperoleh dukungan serta perlindungan yang kuat dari pemerintah negaranya, TKI/TKW dari tanah air seringkali minim perlindungan. Akibat berangkat secara non-prosedural, maka sebagian buruh migran yang mengadu nasib di negeri jiran umumnya rawan menjadi korban perlakuan yang tidak manusiawi, baik oleh pihak perantara yang mengirim mereka maupun oleh mandor, majikan, dan juga oknum aparat di sana.

Pemalsuan dokumen, pengutipan uang jasa pengiriman yang dipotongkan dari gaji TKI/TKW dan lain sebagainya adalah berbagai hal yang selama ini selalu mewarnai proses pengiriman TKI/TKW secara ilegal. Jadi, alih-alih memperoleh perlindungan dan jaminan kerja seperti yang dipromosikan, sebagian besar buruh migran ilegal umumnya justru bekerja dalam kondisi yang serba rawan dan hidup di bawah tekanan berbagai pihak. Kisah tentang TKI/TKW yang tidak digaji majikan hingga berbulan-bulan, TKI/TKW yang menerima perlakuan kasar dan menjadi korban tindak pelecehan seksual adalah kisah-kisah yang sudah biasa kita dengar dan baca dari media massa. Sudah bukan rahasia sebagian TKI/TKW yang mengadu nasib ke Malaysia, Singapura, Hongkong, Timur Tengah,  atau ke negara lain rawan dideportasi, karena mereka tidak memiliki paspor dan tidak memiliki visa kerja yang sah. Mereka biasanya hanya menggunakan visa kunjungan yang sifatnya sementara masa berlakunya. Bisa pula, ketika awal berangkat mereka mengantongi dokumen yang sah, tetapi ketika masa berlakunya sudah habis, mereka tidak mengurusnya dan memilih bertahan bekerja di negeri jiran dengan cara berpindah-pindah tempat kerja untuk menyiasati pengawasan petugas.

Studi yang dilakukan penulis menemukan akibat posisi mereka yang lemah, ilegal, dan tidak memiliki perlindungan hukum yang pasti, tidak jarang terjadi buruh migran ilegal harus menghadapi ancaman dan berbagai perlakuan yang merugikan. Dalam soal penentuan besar upah, lama jam kerja, dan lain sebagainya, sudah bukan rahasia lagi bahwa buruh migran ilegal senantiasa rawan menjadi korban perlakuan yang salah. Dalam relasi di tempat kerja, bargaining position buruh migran ilegal umumnya lemah, terutama dalam penentuan besar upah. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, para buruh migran acapkali mengalami verbal abuse dari majikan tempat mereka bekerja. Selama ini, buruh migran ilegal mampu bertahan hidup dan lolos dari berbagai razia yang dilakukan aparat penegak hukum umumnya karena “main kucing-kucingan”, dan memanfaatkan kohesi sosial di antara sesama buruh migran untuk menyiasati tekanan dan keterbatasan mereka.

Penulis: Bagong Suyanto
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

Artikel lengkap bisa dibaca pada: Bagong Suyanto, Rahma Sugihartati, Sutinah, Medhy Hidayat, Bargaining the Future: a Descriptive Study of the Lives of the Indonesian Illegal Migrant Worjers, Journal of International Migration and Integration. Publish online 07 September 2019. https:/doi.org/10.1007/s12134-019-00710-y.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).