Gaya Hidup dan Perilaku Konsumsi Kelas Menengah Urban Di Jawa Timur

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh mandiri investasi

Dalam rangka merespon perkembangan perekonomian global yang makin massif, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk mendorong kecintaan masyarakat terhadap produk-produk dalam negeri. Kampanye agar masyarakat lebih memilih produk dalam negeri dan tidak silau oleh merk-merk branded dari luar negeri ini penting dilakukan, mengingat mayoritas masyarakat kelas menengah di Indonesia saat ini ada indikasi cenderung lebih menyukai produk-produk luar negeri dibanding produk lokal. Padahal kalau mau dilacak lebih teliti, tidak sedikit produk bermerk dari luar negeri yang dijual di pasaran lokal, barangnya dibuat oleh produsen dalam negeri.

Ketika Indonesia sudah masuk dalam era perdagangan global, memang tidaklah mungkin membendung arus masuk berbagai produk dari luar negeri. Ketika hubungan perdagangan antarnegera makin terbuka, salah satu konsekuensi yang tak terhindarkan adalah masuknya berbagai produk impor, mulai dari kelas mahal, hingga produk-produk dengan harga yang sangat murah. Barang-barang impor dari China, misalnya dikenal dengan harganya yang murah, sehingga mau tidak mau akan menempatkan pengusaha produk dalam negeri pada posisi yang serba dilematis. Di tengah kepungan produk import yang berkelas dan membanjirnya produk-produk dari luar negeri yang impresif, harus diakui tidaklah mudah bagi pengusaha dalam negeri untuk dapat tetap survive.

Berbagai studi memang kerapkali memperlihatkan bahwa mengkonsumsi produk import terbaru (new arrival) dan bahkan seringkali memuja produk-produk kapitalis yang bermerk adalah bagian dari simbol status yang dikonsumsi sehari-hari orang-orang kelas menengah yang dari segi ekonomi mapan. Sementara itu, dalam soal politik, sering terjadi kelas menengah adalah bagian dari kelompok masyarakat yang bersikap acuh tak acuh, karena pada dasarnya mereka lebih menyukai situasi yang sudah mapan daripada harus menghadapi gejolak situasi yang tidak menentu.

Studi yang dilakukan penulis menemukan bahwa perilaku dan pola konsumsi kelas menengah di Provinsi Jawa Timur secara umum masih belum pro produk dalam negeri. Peluang pemasaran dan penggunaan produk dalam negeri di kalangan generasi muda boleh dikata masih sangat kecil, karena belum diketahui dan dirasakannya ”nilai lebih” produk dalam negeri bila dibandingkan produk-produk import. Gaya hidup dan selera kelas menengah yang lebih banyak terkontaminasi pengaruh perkembangan modernisasi, menyebabkan pilihan dan pola konsumsi yang dikembangkan anak-anak muda di Provinsi Jawa Timur cenderung lebih banyak berkiblat pada Negara Barat dan Hongkong Style. Dalam konteks realitas sosial seperti ini, lantas apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan peluang penggunaan produk dalam negeri di kalangan generasi muda di Provinsi Jawa Timur?

Dari segi kepentingan bangsa dan negara, gaya hidup dan perilaku konsumsi kelas menengah yang brand import minded seperti ini tentu kontra-produktif. Di tengah keinginan pemerintah agar masyarakat Indonesia mencintai produk dalam negeri dan untuk kepentingan mendorong kemajuan usaha-usaha domestik, perilaku konsumsi yang lebih mengedepankan produk-produk import, tentu dinilai kurang menguntungkan. Tetapi, berbagai upaya untuk membangun kecintaan kelas menengah pada produk-produk domestik atau produk lokal dan upaya untuk menumbuhkan kecintaan pada produk dalam negeri, sesungguhnya tidak akan efektif jika hanya dilakukan melalui sosialisasi atau kampanye ”Gerakan Aku Cinta Indonesia” yang sifatnya insidentil atau sekadar mentransplantasikan gagasan ini ke kalangan kelas menengah, tanpa dilandasi proses internalisasi makna yang benar-benar mendalam. Dalam proses perubahan sosial yang sangat cepat di era globalisasi –yang dalam batas-batas tertentu melahirkan gegar budaya yang cukup kronis di kalangan kelas menengah–, upaya untuk memasyarakatkan dan merevitalisasi penggunaan produksi dalam negeri mau tidak mau harus dilakukan dengan cara bersaing dengan tawaran produk-produk import yang acapkali lebih atraktif, menawarkan gaya hidup baru dan bahkan gengsi.

Di tengah kondisi perubahan gaya hidup masyarakat yang cepat dan persentuhan masyarakat postmodern, khususnya kelas menengah dengan media sosial, internet, dan perangkat teknologi informasi lain, secara realistis harus diakui tidaklah mungkin proses kecintaan terhdap produk dalam negeri dilakukan semata hanya mengandalkan kepada semangat nasionalisme dan romantisme heroisme masa lalu, tetapi tidak mempertimbangkan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah yang luar biasa cepat. Agar mampu menarik minat dan gairah kelas menengah, khusunya generasi muda agar kembali menoleh dan bangga akan produk dalam negeri maka dalam konteks ini soal “kemasan” atau bagaimana memoles berbagai produk industri menjadi sangat penting.

Dalam kajian Sosiologi-Ekonomi, telah banyak terbukti bahwa yang namanya perilaku konsumsi masyarakat seringkali tidak sepenuhnya rasional, dan bahkan tak jarang irrasional. Artinya, ketika konsumen membeli sebuah produk, tidak selalu yang menjadi pertimbangan utama adalah kalkulasi untung-rugi dari segi ekonomis. Seseorang ketika membeli sebuah produk, selain mempertimbangkan kegunaan atau relevansi manfaat dari produk itu bagi kepentingan dirinya, yang tak kalah penting acapkali pula yang menjadi bahan pertimbangan adalah hal-hal di luar fungsi instrinsik produk itu, terutama dari perspektif Cultural Studies disebut gengsi, citra, dan berbagai hal yang berkaitan  dengan gaya hidup (life style).

Adalah sebuah tantangan bagi para pelaku dunia usaha dalam negeri bahwa untuk dapat memasarkan produk yang dihasilkan kepada kelas menengah Indonesia, maka pertanyaan kunci yang terpenting adalah: apa yang mereka tawarkan sebagai ersatz dari produk yang mereka pasarkan? Bagi kalangan kelas menengah, perlu disadari bahwa yang namanya produk industri sesungguhnya adalah sebuah ikon: sebuah perlambang atau simbol yang merefleksikan kebanggan terhadap sesuatu hal. Seorang anak muda yang membeli kaos tertentu, misalnya, ia bukanlah hanya membeli sebuah produk untuk menutupi tubuhnya. Tetapi, bagi generasi muda makna kaos tak pelak adalah sebuah simbol yang mengekspresikan darimana mereka berasal, di posisi mana mereka akan dinilai lingkungan sosialnya, dan kesan apa yang akan terbangun jika mereka memakai kaos itu. Hal yang sama juga terjadi ketika generasi muda membeli dan mempergunakan berbagai produk industri lain. Bagi kelas menengah, memakai kaos dengan logo Dagadu Yogyakarta atau kaos I Love Surabaya, tentu tidak akan sama rasanya bila dibandingkan dengan ketika mereka memakai kaos dengan logo I Love Singapore, I Love MY, atau kasos yang Hard Rock Hotel yang di bawahnya ada tulisan Tokyo, Paris atau Praha.

Untuk meningkatkan peluang dan prospek pemasaran produksi dalam negeri di kalangan kelas menengah Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Timur, beberapa langkah taktis dan strategis yang direkomendasikan untuk dikembangkan ke depan adalah sebagai berikut:

Pertama, melakukan pemetaan dan menemukenali apa yang menjadi keunggulan produk domestik, terutama apa yang menjadi ersatz (nilai pakai kedua) dari produk-produk dalam negeri yang bisa ditawarkan kepada konsumen, khususnya kelas menengah Indonesia. Perlu disadari bahwa keputusan seseorang membeli atau mengkonsumsi sebuah produk tidaklah semata hanya pada fungsi intrinsik atau fungsi pokok produk itu –seperti tas untuk menaruh dompet, notes, kacamata, dan lain sebagainya–, melainkan justru lebih didorong oleh “fungsi kedua” komoditi itu, yaitu nilai gengsi yang terkandung dalam sebuah komoditi, nilai nostalgia atau romantisme atau nilai historis yang terkandung dalam produk tersebut, dan lain sebagainya.

Kedua, untuk mendorong ketertarikan dan akumulasi konsumsi kelas menengah terhadap produk dalam negeri, salah satu upaya yang perlu dikembangkan adalah bagaimana mendorong diversifikasi produk domestik, dan mendorong tumbuhnya kerjasama antar pelaku usaha domestik untuk menghasilkan produk-produk yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Dalam hal ini, produk-produk yang dikembangkan hendaknya mendorong munculnya perilaku konsumsi yang sinergistik di kalangan konsumen kelas menengah Indonesia, yaitu pola perilaku membeli atau mengkonsumsi barang yang memiliki efek domino ke produk lain yang terkait.

Bagong Suyanto
Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Untuk lebih lengkapnya bisa dibaca pada: Bagong Suyanto, Rahma Sugihartati, Medhy Hidayat & Henri Subiakto, Global vs Local: life style and consumption behaviour among the urban middle class in East Java, Indonesia, South East Asia Research, Published online 10 Januari 2020. https://doi.org/10.1080/0967828X.2019.1703557.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).