Indonesia Belum Mempunyai Kurva Epidemiologis COVID-19? Berikut Pendapat Pakar Epidemiologi UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Beberapa waktu silam, muncullah sebuah berita berdasarkan riset yang dilakukan oleh tim dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) di laman berita The Conversation yang mengatakan bahwa Indonesia masih belum memiliki kurva epidemiologis pandemi COVID-19. Hal itu menyebabkan klaim dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 bahwa laju kenaikan kasus COVID-19 di Jakarta semakin meragukan.

Untuk membahas permasalahan tersebut, tim redaksi mewawancarai pakar epidemiologi UNAIR, Dr. Windhu Purnomo, dr., MS., pada Selasa pagi (12/5/2020). Dalam wawancaranya, Windhu meragukan Indonesia tidak mempunyai atau belum membuat sebuah kurva epidemiologis. Hingga saat ini, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 hanya menunjukkan kurva jumlah kasus positif dan tidak pernah mengumumkan jumlah kasus positif berdasarkan kurva epidemiologis.

“Tidak salah juga bahwa beberapa pihak khawatir terkait ini karena sebenarnya yang dapat dijadikan acuan terhadap kondisi epidemiologi pandemi adalah kurva epidemiologis tersebut, bukan kurva jumlah kasus positif. Dengan tidak mengumumkan kurva tersebut, seolah-olah kita tidak memiliki itu, padahal aslinya punya,” terang Ketua Tim Advokasi PSBB & Survailans COVID-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR.

Windhu menjelaskan bahwa kurva epidemiologis mendata jumlah kasus positif berdasarkan waktu onset, atau pada waktu pertama kali seseorang yang positif menunjukkan gejala COVID-19 berdasarkan anamnesis (wawancara) yang dilakukan oleh petugas medis. Sedangkan kurva jumlah kasus positif mendata berdasarkan jumlah kasus positif yang diumumkan pada hari itu. Padahal, pengambilan spesimen dari individu tersebut sebetulnya telah diambil beberapa hari sebelum diumumkan, bisa juga hingga sampai 6-7 hari karena keterlambatan akibat kapasitas tes PCR yang rendah.

“Manfaat dari kurva epidemiologis ini sangat besar dan vital dalam pandemi COVID-19 ini, kita dapat menganalisis luasnya sebaran penularan sudah sampai level berapa, memprediksi kapan puncak pandemi, kapan jumlah kumulatif melandai, dan kapan pandemi tersebut berakhir. Tim di Jawa Timur telah memproduksi kurva epidemiologis tersebut secara rutin namun untuk di level pusat belum,” tutur anggota Gugus 4 Pelaksanaan PSBB Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu.

Terakhir, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat menyatakan bahwa wacana untuk membuka kembali perekonomian dan sekolah pada bulan Juli adalah langkah yang sangat tidak tepat karena ditakutkan bahwa akan ada second bahkan third wave dari penularan pandemi COVID-19 tersebut.

“Diperkirakan puncak pandemi masih akan terjadi pada bulan Juni nanti. Maka dari itu, akan sangat tidak tepat apabila Pemerintah melakukan langkah pelonggaran pembatasan,” tutup Windhu.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).