Sinergi Biodegradable Porous Sponge Cartilage Scaffold dengan Adiposed Derived Mesenchymal Stem Cell

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi TirtoID

Teknik penggunaan scaffold dalam pengobatan defek osteochondral, telah berkembang pesat dan telah menjadi salah satu solusi terapi untuk defek sendi kartilago. Bovine Cartilage merupakan salah satu bahan dalam pembuatan scaffold yang murah dan mudah didapatkan. Bahan sponge bovine scaffold diambil dari head femur dan kondilus femur sapi jenis ongole berumur minimal 24 bulan yang disediakan Rumah Pemotongan Hewan Pegirian Surabaya yang telah bersertifikat sehat. Terdapat berbagai macam bentuk dari bovine scaffold. Biodegradable Porous Sponge Cartilage Scaffold (BPSCS) merupakan bentuk baru dari bovine scaffold yang mampu menginduksi dan memfasilitasi proliferasi dan diferensiasi sel punca lebih baik dan telah terbukti memiliki biokompatibilitas yang baik pada penelitian sebelumnya.

Namun, beberapa penelitian in vivo masih diperlukan untuk mengetahui efek sitotoksisitas penambahan secretome dan Adipose Derived Mesenchymal Stem Cell (ADMSC)
untuk dapat menekan respon inflamasi dari scaffold kartilago spons terhadap defek kartilago pada kelinci putih Selandia Baru. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental in vivo yang dilakukan di Laboratorium Pusat Penyakit Tropis Universitas Airlangga selama empat minggu. Penelitian ini mengevaluasi komponen inflamasi akut, kronis, reaksi alergi dan reaksi rejeksi yang masing-masing dinilai menggunakan ELISA dan secara histologis kemudian dibandingkan satu sama lain. Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS.

Penulis membagi kelinci menjadi 3 kelompok perlakuan, yaitu kelompok defek mikrofraktur dengan implantasi BPSCS; Kelompok defek mikrofraktur dengan implantasi BPSCS dan secretome; dan Kelompok defek mikrofraktur dengan implantasi BPSCS dan Adipose Marrow Mesenchymal Stem Cells (ADMSCs). Pengamatan penelitian dilakukan tiga kali pada hari pertama, ketiga dan ketujuh. Pada kelompok defek mikrofraktur dengan BPSCS, kadar eosinofil dan PMN menurun pada hari ketiga, sedangkan pada hari ketujuh eosinofil cenderung stabil dan nilai PMN tetap menurun. Kadar neutrofil pada kelompok defek mikrofraktur dengan BPSCS meningkat pada hari ketiga dan menurun pada hari ketujuh. Kadar basofil pada kelompok defek mikrofraktur dengan BPSCS cenderung stabil.

Pada kelompok defek mikrofraktur dengan BPSCS dan secretome, kadar PMN dan eosinophil menunjukkan peningkatan pada hari ketiga, kemudian pada hari ketujuh kadar PMN tetap meningkat sedangkan kadar eosinophil menurun. Sedangkan kadar neutrophil terjadi penurunan pada hari ketiga dan meningkat pada hari ketujuh. Kadar basophil cenderung stabil. Pada kelompok defek mikrofraktur dengan BPSCS dan ADMSC kadar PMN dan neutrophil mengalami peningkatan pada hari ketiga dan menurun pada hari ketujuh. Sedangkan kadar eosinophil mengalami penurunan pada hari ketiga dan ketujuh serta basophil cenderung stabil.

Sedangkan dari hasil pemeriksaan ELISA, evaluasi dilakukan untuk mengamati adanya reaksi inflamasi dengan melihat kadar IL-2 dan IL-10. Pada ketiga kelompok perlakuan, kadar IL-2 cenderung meningkat dari hari 3, kemudian menurunpada hari ke-7. Kadar IL-10 terlihat dari preparat darah dan sinovial. Kelompok defek mikrofraktur dengan BPSCS dan ADMSC memiliki kadar IL-10 lebih tinggi daripada 2 kelompok perlakuan yang lain baik dalam darah maupun synovial. Pengujian hipotesis dilakukan pada kadar IL-2 pada hari 1, hari 3, dan hari 7. Tes One Way ANOVA diuji pada tiga kelompok perlakuan kadar IL-2. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada tingkat IL-2 rata-rata pada hari pertama (p=0,240), hari ketiga (p=0,070), dan hari ketujuh (p=0,399) antara ketiga kelompok perlakuan.

Pengujian hipotesis dilakukan pada kadar IL-10 hari ke 28 dimana sampel diambil dari darah dan sinovial. Tes One Way ANOVA diuji pada ketiga kelompok perlakuan. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada tingkat rata-rata IL-10 dalam darah (p = 0,546) atau sinovial (p = 0,115) antara ketiga kelompok perlakuan. Pengujian hipotesis dilakukan pada kadar IgG hari ke 28. Tes One Way ANOVA diuji pada ketiga kelompok perlakuan. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada tingkat IgG rata-rata pada hari ke 28 antara ketiga kelompok perlakuan. (p=0,077).

Berdasarkan hasil eksperimen ini, dapat disimpulkan bahwa Biodegradable porous sponge cartilage scaffold dapat bersinergi dengan Adiposed Derived Mesenchymal Stem Cell dan secretome tanpa adanya efek inflamasi pasca impalantasi pada defek kartilago New Zealand White Rabbit yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan yang signifikan dalam pengamatan kadar eosinofil, basofil, dan neutrophil secara histologis, serta IL-2, IL-10 dan IgG dalam metode ELISA terhadap ketiga kelompok perlakuan.

Oleh: Brilliant Citra Wirashada, dr., M. Ked. Klin., Sp.OT; Dr. Dwikora Novembri Utomo, dr.,

Sp.OT(K); Dr. Purwati dr., Sp. PD, K-PTI, FINASIM; Lukas Widhiyanto, dr., Sp.OT(K); dan

Kukuh Dwiputra Hernugrahanto, dr., Sp.OT

Link terkait artikel di atas: Immunogenicity Evaluation of Polimorphonuclear (PMN) Cells, Il-2, Il-10 and IgG of Biodegradable Porous Sponge Cartilage Scaffold (BPSCS), Adipose Derived Mesenchymal Stem Cell (ADMSC) and Secretome in New Zealand White Rabbits with Cartilage Defect: In Vivo Experimental Study

http://www.connectjournals.com/toc.php?bookmark=CJ-

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).