Orang Bawean Meretas Identitas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Jawa Pos com

Nama Bawean sudah tersebut dalam kitab Negarakertagama bernama ‘Buwun’ (Riana, 2009: 116 ). Pemerintah Kolonial Belanda, pada abad ke-18 menyebutnya dengan sebutan ‘Lobeck’, ‘Lobok’, ‘Baviaan’, ‘Bovian’ (Sunyoto, 2014: 7). Sampai saat ini, orang Bawean masih kental disamakan dengan suku Madura. Bagi orang Bawean, realitas ini cukup menyakitkan, karena mereka menganggap berbeda dengan orang Madura. Klaim perbedaan didengungkan, orang Bawean ingin diakui sebagai masyarakat adat yang memiliki kekhasan budaya.

Orang Bawean enggan disamakan dengan orang Madura.  Bahkan yang berasal dari  Madura, lebih suka disebut sebagai orang Bawean, kendati mereka masih merasa ada ikatan saudara di Madura. Demikian halnya, suku-suku yang menetap di Bawean. Kendati masih menyimpan kenangan budaya keberasalannya, seperti ‘initial’ nama Kemas (Palembang), sapaan bapak dengan ‘rama’ (Jawa/Madura),  mereka bangga menyebut diri sebagai orang Bawean. Kebanggaan inilah yang barangkali menjadi landasan  mereka meyebut diri sebagai masyarakat adat. Mereka membagun identitas dengan menyinergikan budaya-budaya   yang ada dan menetapkan sebagai bentuk identitas lokal yang baru.  Koentjaraningrat (2002: 148) menjelaskan identitas dapatdibangun dari kebersamaan menempati wilayah, berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat,  dan terikat sebagai satukelompok masyarakat.

Orang Bawean gemar mengadopsi budaya dari luar, terutama budaya Melayu. Misalnya, dalam seni sastra, seperti seni pantun bahasa Bawean banyak mengadopsi kosa kata Melayu-Malaysia.  Demikian halnya dalam  nasihat dan kosa kata sehari-hari, misalnya: polis (polisi), besikar (sepeda motor), depor (dapur), fameli (keluarga), kerbuy ( kerbau), bhelay (balai),  apoy/ (api).stakin (kaos kaki), banyak mengadopsi bahasa Melayu-Malaysia. Hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan orang Bawean melaksanakan tradisi merantaunya ke Malaysia dan Singapura. yang telah berlangsung berabad-abad(Vredenbregt,1990:129-139; Usman, 1996: 66). Perilaku budaya ‘terbuka’ ini tecermin dari sikap ‘toleran’ terhadap pendatang. Menurut mereka, mengadopsi budaya bukan sesuatu yang tidak baik, tetapi justru menunjukkan sebagai masyarakat yang cinta damai.

Bagi orang Bawean, siapa saja yang menetap di Bawean, mengikuti adat-istiadat yang berlaku dan Islam dianggap sebagai saudara atau ‘toghelen’.  Perilaku dan sikap orang Bawean ini banyak memberikan ruang bagi suku-suku yang ada menciptakan situasi budaya baru.  Suku-suku di Bawean sebagai penduduk lama dan  pendatang setara. Masing-masing tidak mengembangkan sikap menonjolkan diri. Didasari sikap persatuan dan keyakinan agama yang sama ‘Islam’, mereka menunjukkan sebagai masyarakat adat Bawean. Pengakuan identitas  ‘kebaweanan’ bagi mereka  penting, untuk tidak disamakan dengan orang Madura. Dalam konteks ini, orang Bawean dapat menyatakan diri keberbedaan mereka dengan suku lain. Mereka lebih suka menunjukkan dirinya sebagai masyarakat adat yang memiliki sejumlah norma budaya khas Bawean.

Selain Islam sebagai satu-satunya keyakinan di Bawean, tradisi merantau dan tradisi ‘molod’ memiliki kekhasan. Merantau, bagi orang Bawean tidak sekedar mencari nafkah, tetapi kewajiban tradisi. Merantau prasayarat kedewasaan menjadi orang Bawean.

Secara simbolik, ungkapan  jangan membuka kain panjang perempuan  sebelum membuka langit  merupakan prasyarat bagi  laki-laki ketika ingin meminang gadis. Tradisi  Bawean, sebelum merantau harus menunjukkan kemampuan bela diri, paling tidak mahir membaca Qur’an. Orang Bawean menganggap tradisi ‘molod’ adalah tradisi yang harus dirayakan. Perayaan ‘molod’ melebihi ramainya menyambut ‘idul Fitri’. Bagi orang Bawean merayakan ‘Molod’ sama dengan menyongsong hidup baru. dan Islam sebagai berkah kehidupan.. Mereka bergotong-royong menghias Masjid dan berbagi ’angkatan’ (berisi barang dan makanan).

Sebutan ‘orang Bawean’ bagi mereka  lebih tepat, daripada disamakan dengan orang Madura, kendati banyak kesamaannya. Eksistensi ‘Bawean’ merupakan simboladanya masyarakat adat dengan kekhasan tradisi yang dijalankan. Di sisi lain sebagai perjuangan meretas identitas untuk diakui sebagai masyarakat adat dengan segenap kekhasan yang berbeda dengan yang lain.

Penulis: Sri Wiryanti Budi Utami

Link terkait jurnal tersebut: http://produccioncientificaluz.org/index.php/opcion/article/view/30740

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).