Diare Tidak Akan Hilang, Jika Kepadatan Lalat dan Pengelolaan Limbah Ternak Diabaikan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh WinNetNews

Diare adalah kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi cair, dengan frekuensi tiga kali atau lebih per hari. Diare masih menjadi masalah dunia khususnya negara berkembang seperti Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2017, diare menjadi penyebab kematian  peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Pada tahun 2015, kejadian diare di Desa Pudak Kulon merupakan kejadian tertinggi di Kecamatan Pudak Kabupaten Ponorogo yaitu sebanyak 104 kasus dan 38 kasus terjadi pada balita. Desa Pudak Kulon memiliki permasalahan lingkungan terkait banyaknya peternakan dan jumlah peternak sebanyak 365 orang. Pengelolaan dan pemanfaatan limbah ternak sapi yang buruk mampu menjadi media tempat perindukan vektor diare, yaitu lalat. Semakin tinggi kepadatan lalat maka semakin tinggi pula kemungkinan  penyebaran penyakit diare. 

Terdapat 68 orang yang mengalami diare dalam kurun waktu tiga bulan terakhir sejak pengambilan data. Diare yang dialami oleh masyarakat adalah diare akut, berlangsung singkat sekitar satu atau dua hari, dengan salah satu gejala yakni nyeri di bagian perut tanpa disertai radang lambung akut, disentri maupun kolera. Terdapat 17 orang yang memiliki kandang  dengan  kepadatan lalat sangat tinggi dan 35 orang yang memiliki kandang dengan kepadatan lalat tinggi. Tingginya kepadatan lalat disebabkan karena letak kandang sapi di lingkungan  rumah dengan jarak kurang dari 10 meter dan limbah  ternak yang tidak dikelola dengan baik sehingga mempermudah lalat untuk hinggap ke rumah penduduk. 

Sementara itu peternak yang memberikan makanan sapi yang mengandung konsentrat menunjukkan kepadatan lalat yang sedang dan rendah karena makanan sapi yang mengandung konsentrat mampu mengurangi bau kotoran sapi sehingga lalat tidak tertarik datang ke kandang sapi tersebut.  Selain itu, pada beberapa kandang ditemukan adanya pembakaran rumput kering, sisa makanan sapi, dan pengasapan merupakan salah satu cara dalam usaha pengendalian lalat. Banyak peternak yang mengelola limbah ternaknya dengan cara yang tidak baik ditinjau dari poin-poin penilaian pengelolaan limbah ternak seperti jarak kandang dengan rumah, kondisi tempat  penampungan kotoran ternak, kondisi saluran pembuangan air limbah ternak,  pembersihan  kandang, pengumpulan dan pemanfaatan limbah ternak. Selain itu, kondisi saluran pembuangan air limbah tidak terpisah dengan air hujan serta tidak kedap air. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi penyebab perembesan air limbah ke lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran air tanah serta menjadi tempat perkembangbiakan lalat selaku vektor penyakit. Hanya 72 peternak yang mengolah limbah ternak menjadi biogas dan pupuk kandang. Padahal pengolahan limbah penting dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan. Keadaan sanitasi yang buruk disebabkan oleh tercemarnya lingkungan karena limbah ternak, padahal kotoran ternak adalah tempat perkembangbiakan  lalat yang dapat membawa berbagai mikroba seperti Salmonella spp, Shigella spp,Vibrio cholerae dan E. Colii yang mampu mencemari makanan dan menyebabkan diare. Terdapat hubungan antara kejadian diare dengan kepadatan lalat yang sangat tinggi.

Berdasarkan pengamatan, mayoritas masyarakat peternak sapi perah di Desa Pudak Kulon mengalirkan air limbah ternak (berupa sisa pencucian kandang maupun air kencing dan kotoran ternak yang sudah diencerkan) ke selokan dan langsung terbuang ke lingkungan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Selain itu, masih banyak peternak, sebanyak 119 peternak belum melakukan pemisahan saluran air limbah dengan saluran air hujan. Sebanyak 133 peternak juga belum membuat saluran limbah yang kedap air, sehingga perembesan air limbah ternak ke tanah sangat mungkin terjadi. Limbah ternak yang langsung dibuang ke lingkungan tanpa diolah terlebih dahulu dapat menyebabkan pencemaran udara, air, dan tanah. 

Semakin tinggi kepadatan lalat dan buruknya pengelolaan limbah ternak, semakin besar risiko terkena diare di kalangan peternak maupun orang yang berada disekitar peternakan. Pemerintah sebaiknya melakukan upaya pengendalian dan pemberantasan lalat dari  sumbernya, yakni wilayah peternakan sapi perah di Desa Pudak Kulon. Upaya preventif tentang penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan melaksanakan kerjasama lintas sektoral dengan instansi terkait untuk mengendalikan limbah ternak agar tidak berdampak besar terhadap kesehatan lingkungan maupun  masyarakat. 

Penulis: Dr. Santi Martini

Link terkiat tulisan di atas: THE RELATIONSHIP OF THE DENSITY OF FLIES AND LIVESTOCK WASTE MANAGEMENT WITH THE INCIDENCE OF DIARRHEA IN THE COMMUNITY DAIRY FARMERS IN PUDAK KULON VILLAGE, PUDAK SUBDISTRICT, PONOROGO

https://www.publichealthinafrica.org/index.php/jphia/article/view/1176

https://doi.org/10.4081/jphia.2019.1176

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).