Efektivitas Terapi Komplementer Propolis Telaah terhadap SGHT dan IL-33 Sekret Hidung Penderita Rinitis Alergi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi rinitis alergi. (Sumber: alodokter)

Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit kronik yang dapat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Sebanyak 57% penderita RA masih mengalami gejala meskipun telah mendapat terapi antihistamin dan kortikosteroid intranasal (KIN). Menghindari alergen pencetussering sulit dilakukan karena aktivitas harian atau pekerjaan penderita yang tidak memungkinkan untuk menghindari alergen, sehingga mengharuskan pemakaian antihistamin jangka panjang. Pengobatan komplementer adalah kelompok perawatan medis tambahan menggunakan modalitas atau produk yang tidak termasuk ke dalam obat konvensional antara lain akupuntur, obat herbal, homeopati, dan terapi fisik.

Propolis adalah campuran kompleks senyawa yang dihasilkan lebah dari nektar tumbuhan. Efektivitas propolis maupun flavonoid dalam menurunkan Skor Gejala Hidung Total (SGHT) dan kadar interleukin 33 (IL-33) sekret hidung masih kontroversi. Propolis sebagai terapi komplemen terbukti memengaruhi perbaikan gejala RA, dengan penurunan signifikan SGHT. Zat aktif utama propolis yaitu flavonoid, bekerja memodulasi inflamasi alergi dengan memengaruhi IL-33 melalui jalur nuclear factor kappa b (NF-ĸB). IL-33 merupakan salah satu sitokin yang berperan penting pada RA, kadarnya meningkat pada sekret hidung penderita RA persisten.

Dalam penelitian ini, didapatkan penurunan bermakna SGHT, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan propolis sebagai terapi komplemen RA dapat dipertimbangkan. tidak terbukti adanya penurunan kadar Interleukin-33, hal ini dapat terjadi karena penelitian ini dilakukan tanpa memilih penderita yang mengalami eksaserbasi atau tidak, sehingga tidak terjadi perubahan bermakna kadar IL-33 pada sekret hidung. propolis aman dikonsumsi dengan dosis 1000 mg setiap 8 jam selama 2 minggu. Kemampuannya sebagai tambahan terapi standar dalam menurunkan SGHT tanpa menimbulkan efek samping dan efek yang membahayakan, menjadikan propolis dapat dipertimbangkan sebagai tambahan terapi standar RA.

Penelitian lain menggunakan polifenol apel menunjukkan penurunan gejala bersin dan pilek encer pada pemberian 50 mg atau 100 mg perhari selama 4 minggu. Penelitian pada RA persisten menggunakan madu lokal sebagai sumber flavonoid dengan dosis 1 gr/ kgBB perhari di East Coast, Peninsular, Malaysia menunjukkan perbaikan bermakna gejala hidung pada minggu ke 4 sampai ke 8 pemberian madu. Gejala buntu hidung membaik bermakna pada kelompok uji yang mengkonsumsi madu, namun tidak terjadi pada kelompok kontrol, hal ini menunjukkan bahwa flavonoid yang dikandung madu dapat digunakan sebagai terapi komplementer dalam membantu terapi standar menghilangkan gejala RA.

Flavonoid mampu menurunkan SGHT dengan menghambat berbagai sitokin proinflamasi alergi dan tidak hanya dengan menghambat IL-33. Flavonoid merupakan inhibitor kuat IL-4 dan IL-13 yang merupakan IL utama RA dengan menghambat basophil. Flavonoid menghambat pelepasan histamin oleh basofil dan sel mast. Flavonoid juga menghambat IL-6 dan TNFα yang merupakan sitokin proalergenik pada RA.

Sejumlah penelitian menujukan bahwa flavonoid menghambat degranulasi sel mast mengurangi pelepasan histamin, triptase, IL-6, dan IL-8. Flavonoid juga menghambat produksi IL-4 dan IL-13 dengan mengaktivasi basofil manusia. Propolis menghambat peningkatan IL-9 yang bekerja meningkatkan ekspresi IL-4, IL-5, dan IL-13 yang sudah dikenal sebagai IL yang berperan pada RA, sehingga pemberian propolis menghambat ekspresi IL-9 yang pada akhirnnya menghambat IL-4, IL-6, dan IL-13, sehingga mengurangi gejala RA.

Efek terapi propolis dalam menurunkan SGHT maupun IL-33 sangat bergantung pada dosis dan durasi pemberian. Propolis memberikan efek sesuai konsentrasi dan lama pemberian. Dosis dan durasi pemberian yang dapat menurunkan SGHT dapat berbeda dengan dosis dan durasi pemberian untuk menurunkan kadar IL-33 pada sekret hidung.

Penambahan propolis sebagai terapi komplementer lebih efektif dalam menurunkan SGHT dibandingkan dengan terapi standar saja, namun tidak efektif dalam menurunkan kadar IL-33 sekret hidung penderita RA.

Penulis : Andika M, Dwi Reno Pawarti

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat dari tulisan kami di :

http://orli.or.id/index.php/orli/article/view/286 

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).