Kasus Langka Melanoma Maligna pada Anak dengan Xeroderma Pigmentosum

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh mamamiacom

Xeroderma pigmentosum (XP) adalah kelainan genetik yang jarang yang bersifat  autosomal resesif yang disebabkan oleh defek gen pada jalur eksisi nukleotida (Nucleotide Excision Repair/ NER). Kelainan ini ditandai dengan fotosensitivitas (sensitif terhadap sinar ultraviolet), perubahan pigmentasi kulit , pertumbuhan kanker ganas pada usia muda dan dapat pula terjadi abnormalitas oftalmologi dan neurolog. Pasien dengan XP yang berusia kurang dari 20 tahun memiliki resiko lebih dari 1000 kali lipat mengalami kanker kulit dengan kasus terbanyak meliputi karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel basal, fibrosarcoma dan melanoma maligna. Melanoma maligna ditemukan hanya sekitar 3% dari pasien XP.

Seorang anak perempuan berusia 7 tahun dengan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi multipel yang muncul sejak usia 2 tahun, di seluruh tubuh, terutama pada area terpapar matahari. Pada area vertex terdapat tumor soliter ekstensif dengan permukaan ulsero-proliferatif, kehitaman serta mudah berdarah sejak 1 tahun yang lalu. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin 7,0 g/dL, leukosit 11.600/mm3, tombosit 622.000/L, Hct 23,3%. Berdasarkan pemeriksaan hemogram, ferritin 216,2; besi 18 dan total iron binding capacity 121.

Level albumin darah adalah 3,1 g/dL. Pemeriksaan histologis menunjukkan gambaran melanoma maligna tipe nodular. Dari pemeriksaan MSCT (Multislice Computed Tomography) dengan menggunakan kontras menunjukkan terdapat pembesaran limfa node multiple di submandibular dextra dengan ukuran terbesar +/- 1,2 cm; 25,2×6,1×4,6 cm pada upper-mid jugular sinistra dan 1,3 x 1,5 cm pada lower jugular sinistra. Pasien mendapatkan terapi pelembab, krim tabir surya SPF 30 dan kemoterapi dengan ciplastin 14mg/m2/iv drip, vinblastin 1,4 mg/m2/iv drip dan dacarbasin 560 mg/m2/iv drip. Kondisi pasien memburuk setelah mendapat 2 siklus kemoterapi dan pasien meninggal akibat komplikasi anemia berat, hipoalbumin dan gangguan elektrolit.

XP pertama kali di laporan pada akhir abad ke 19 oleh seorang profesor dermatologi asal Hungaria yaitu Moritz Kaposi. Awalnya disebut xeroderma atau patchmen-like skin  untuk menggambarkan kulit kering dan pada tahun 1882 ditambahkan ” pigmentosum” untuk menekankan kelainan pigmen yang mencolok. Pada tahun 1883, Albert Neisser menjelaskan keterkaitan Xp dengan degenerasi sistem saraf dan pada tahun 1932, Carlos De Sanctis dan Aldo Cachione melaporkan tiga saudara kandung yang menderita XP dengan degenerasi sistem saraf, retardasi mental dan abnormalitas fisik lain yang disebut sindrom De Sancits-Cacchione.

XP dapat ditemukan di seluruh dunia, mencakup sekelompok etnis dengan rasio laki- laki dan perempuan sama besar. Kasusnya di Jepang diperkirakan sebesar 1: 20.000 – 100.000, sedangkan di Amerika Serikatsebesar 1: 1.000.000. Sedangkan hingga saat ini belum ada data mengenai jumlah insiden kasusnya di Indonesia.  Insidennya dikatakan lebih banyak terjadi pada keluarga dengan riwayat perkawinan sedarah. 

Gambaran klinis pasien XP meliputi 3 fase. Fase awal pasien XP seringkali tampak normal, biasanya kelainan baru tampak pada usian 6 bulan atau setelah kulit terpajan sinar ultraviolet.  Pada 60% kasus indikator pertama adalah adanya sensitif terhadap sinar ultraviolet, dan 40% kasus tidak menunjukkan tanda adanya reaksi kulit terbakar. Pada kasus ini gejala klnis pertama yang muncul saat pasien berusia 2 tahun dan biasanya ditandai dengan peningkatan jumlah makula hiperpigmentasi (freckle – like pigmentation) dibagian tubuh yang terpajan matahri, kulit sangat kering dan kasar. Pada fase kedua ditandai dengan adanya poikiloderma (kelainan kulit yang ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru di kulit yang bentuknya menyerupai cacing / telangiektasis.

Fase ketiga ditandai dengan timbulnya sejumlah kanker kulit yaitu karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, fibrosarkoma dan melanoma malignan. XP diklasifikasikan menjadi 8 subtipe berdasarkan mutasi gen yang terjadi (grup A-G dan tipe V), dimana setiap tipe memiliki gambaran klinis yang bervariasi. Kelainan mata yang timbul merupakan gambaran penting pada XP. Kelainan awal biasanya berupa sensitif terhadap sinar ultraviolet dan injeksi konjungtiva (mata merah). Kelainan sistem saraf hampir 30% ditemukan pada pasien XP. Kelainan saraf dapat bersifat ringan seperti hiporefleksia hingga berat seperti retardasi mental, tuli sensorineural, spastisitas da kejang.   

Pasien XP memiliki resiko tinggi mengalami neoplasma kulit pada usia muda.3,5,6 Hal ini terjadi karena akumulasi gangguan perbaikan defek DNA akibat paparan sinar ultraviolet (UV) sehingga mengakibatkan kematian sel, dan percepatan penuaan kulit, atau transformasi seluler yang berakibat pada pertumbuhan malignansi. Melanoma nodular (MN) dengan preferensi lokasi pada kepala dan leher adalah melanoma yang paling agresif dan 54,8% beresiko kematian (P<0,0001). Inti perawatan dan penanganan pasien XP adalah menghindari segala bentuk paparan radiasi UV. Kombinasi kemoterapi merupakan strategi yang efektif untuk banyak tumor solid terutama melanoma maligna pada XP.

Melanoma maliganan pada XP merupakan kasus yang jarang ditemukan, namun, deteksi dini keganasan pada XP penting dilakukan karena sifatnya yang berkembang cepat dengan angka metastasis dan mortalitas yang tinggi.  Kasus XP berat dengan malignansi membutuhkan terapi lebih lanjut, seperti kemoterapi.



Penulis: Sawitri,dr.Sp.KK(K)
Informasi detail dari laporan kasus ini dapat dilihat pada tulisan kami di:  https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/15898

Pramitha JR dan Sawitri (2020). 
Malignant Melanoma in Child With Xeroderma Pigmentosum: A Rare Case. 
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 32(1): 70-4; http://dx.doi.org/10.20473/bikk.V32.1.2020.70-74

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).