Tri Maharani, Ahli Toksinologi Indonesia yang Dedikasikan Hidupnya Untuk Menangani Kasus Gigitan Hewan Berbahaya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Ponsel Maha kembali berdering, entah sudah yang ke berapa kalinya. Rupanya, panggilan datang dari Dr. dr. April Poerwanto Basoeki, Sp. An., koleganya yang berdinas di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Spesialis anestesi senior itu menghubunginya setelah mendapati seorang ibu hamil tengah dalam kondisi kritis akibat tergigit ular tanah.

Gigitan ular tersebut tak hanya menyebabkan pendarahan hebat pada sang ibu, tetapi juga merengut nyawa janin dalam kandungannya. Mendengar berita yang disampaikan dr. April, Maha kemudian memutuskan untuk bertolak menuju Surabaya guna membantu proses penanganan sekaligus memberikan training kepada tim dokter RSUD Dr. Soetomo.

“Kasusnya terjadi sekitar akhir bulan Januari lalu. Ketika itu, saya bersama tim dokter sampai meminta bantuan Anti-Snake Venom (ASV) ke Kementerian Kesehatan karena harganya cukup mahal. Syukurlah, pasien akhirnya dapat kami selamatkan,” cerita Maha.

Tak Menyangka Rencana Karirnya Berubah Karena Nasihat Seorang Psikolog

Pengalaman menangani gigitan ular pada pasien hamil hanyalah satu dari ratusan kasus yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan akan dihadapi oleh pemilik nama Dr. dr. Tri Maharani, M.Si. Sp. Em., itu. Tetapi, aktivitas tersebut kini justru menjadi sebuah rutinitas baginya. Tak jarang, dirinya harus bepergian ke berbagai kota untuk menolong pasiennya.

Dr. dr. Tri Maharani, M.Si. Sp. Em. merupakan advisor World Health Organization (WHO) untuk kasus gigitan ular yang pernah terlibat dalam pembuatan panduan Management of Snakebites. (Foto: Istimewa)

Bagaimana tidak? Di dunia, hanya ada 53 dokter dengan keahlian pada bidang emergency medicine, khususnya subspesialis toksinologi yang mampu menangani kasus bisa ular atau gigitan hewan berbahaya lainnya. Wanita asal Kediri itu termasuk satu di antaranya, juga menjadi satu-satunya pakar dari Indonesia yang mendalami rumpun kesehatan tersebut.

Fakta itu ironis sebenarnya, mengingat secara geografis, Indonesia merupakan kawasan yang menjadi habitat alami bagi ular. Hingga saat ini, terdapat sekitar 360 jenis ular, meliputi 77 ular berbisa yang tersebar di penjuru negeri, seperti Pulau Jawa dan Sumatera.

Menurut data yang dikumpulkan Maha sejak tahun 2012, kasus gigitan ular di Indonesia mencapai 130 ribu per tahun. Jumlah tersebut kemudian meningkat menjadi 135 ribu orang pada tahun 2016. Dari semua kasus, 728 orang di antaranya merupakan korban dari gigitan ular berbisa, sementara itu, jumlah korban meninggal tercatat sebanyak 35 orang.

“Indonesia sebagai sarang ular hanya memiliki tiga jenis ASV untuk mengobati gigitan ular kobra Jawa (Spitting cobra), ular welang (Banded krait), serta ular tanah (Malayan pit viper). Berarti masih ada puluhan ular lain yang belum ter-cover. Oleh karena itu, perlu dilakukan riset yang bersifat genomic dan molekuler. Prosesnya tidak mudah,” terangnya.

Sepak terjang Maha dalam bidang penanganan gigitan hewan berbahaya bermula dari perjalanannya selama menempuh pendidikan tinggi. Usai menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Brawijaya, ia memilih melanjutkan pendidikan magister (S2) di Program Studi Imunologi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, pada 2001 silam.

“Waktu itu peminatnya belum banyak karena terbilang baru berdiri. Dari tujuh mahasiswa di angkatan, hanya saya yang dokter puskesmas, lainnya dosen dan dokter umum,” ujar perempuan yang sekarang memimpin Instalasi Gawat Darurat RS Daha Husada, Kediri itu.

Maha menuturkan, pilihannya berkuliah di Prodi Imunologi membawanya untuk bertemu dengan Prof. Dr. Fedik Abdul Rantam, drh., serta Prof. Dr. Yoes Prijatna Dachlan, dr. M.Sc. Sp.ParK(K). Dari kedua guru besar itu, dirinya banyak memperoleh pengetahuan yang sampai saat ini bermanfaat dan mendukung karirnya sebagai dokter sekaligus toksinolog.

“Ada pengalaman yang berkesan bagi saya. Yaitu ketika mahasiswa lain sudah punya judul tesis, saya thok yang belum. Lalu, saya ditanya oleh Prof. Fedik yang dulu menjadi pendiri sekaligus Kepala Prodi Imunologi, ‘mau nggak meneruskan penelitian saya tentang virus borna pada penderita Manic Depressive Disorder (MDD)?’ Saya jawab, ya mau,” ceritanya.

Dalam mengembangkan penelitian tersebut, Maha harus mencari serum darah dari 100 penderita MDD. Meski tidak mudah, dia akhirnya sukses merampungkan tesis beserta pendidikan S2 pada tahun 2003. Melalui penelitian itu, ia juga berhasil menyajikan fakta mengenai gangguan jiwa yang disebabkan karena masalah imunologis, yakni virus borna.

Berbekal ijazah S2, Maha memutuskan untuk mengambil pendidikan doktoral (S3) di Prodi Patologi Klinik UNAIR. Namun, rencana tersebut berubah setelah dirinya menjalani tes kejiwaan bersama seorang psikolog dalam rangka memenuhi syarat pendaftaran studi S3.

“Jadi, saya sudah diterima di Patologi Klinik dan membayar uang kuliah. Tapi, psikolognya malah bilang, ‘yakin mau di sini? Bisa sih bisa, tetapi untuk hidup selanjutnya hanya bertahan setahun. Sebab, menurut hasil tes, dokter Maha ini suka berpetualang, gak cocok kalau cuma ngurusin feses, darah, dan urin. Harus bertemu manusia’,” kenangnya.

Benar saja, pada tahun 2007, Maha akhirnya memilih mengikuti nasihat dari sang psikolog dan banting setir untuk menekuni program pelatihan khusus spesialis emergency di FK Universitas Brawijaya. Akibat perubahan sistem pendidikan yang sempat terjadi, dirinya juga berkesempatan mengambil pendidikan S3 pada Prodi Biomedic di tempat yang sama.

“Entah bagaimana, pada akhirnya saya mendaftar spesialis emergency. Padahal, bayarnya mahal, sekolahnya lama, dan saya tidak punya bayangan ini bidang yang seperti apa. Kalau patologi klinik kan spesialis yang jelas menyenangkan secara finansial. Beberapa tahun kemudian, saya baru sadar kalau perkataan psikolog itu benar,” kata Maha lantas tertawa.

Selama menempuh pendidikan S3, Maha pernah dikirim ke Universiteit of Leuven Belgia pada tahun 2011 untuk menjalani Sandwich like Program PhD Biomedic in Hipertension Departement Gashuisberg Hospital. Sejak itu, dia semakin giat mengasah kemampuannya dalam bidang penanganan gigitan ular melalui latar belakang pendidikan yang dimilikinya.

“Dulu, saya merasa bahwa pendidikan yang saya tekuni tidak jelas. Tetapi, belakangan saya menyadari, kalau ingin menangani gigitan ular dengan bagus harus punya basic keilmuan imunologi dan emergency, karena itu tergolong masalah yang gawat darurat. Selain itu, harus paham biomedik juga karena menyangkut pemberian ASV,” sebut Maha.

Atas dedikasinya di bidang penanganan gigitan berbahaya, ia kerap menyabet sejumlah penghargaan. Tidak hanya itu, saat ini Maha juga dipercaya sebagai salah satu advisor di World Health Organization (WHO) sekaligus kontributor buku panduan kasus gigitan ular.

Maha pun merasa senang karena dapat membantu proses penanganan para korban dan memberikan pelatihan kepada tim dokter maupun masyarakat di seluruh Indonesia. Dia pun mengaku, sempat beberapa kali menyisihkan gajinya untuk membeli persediaan ASV.

“Harga ASV tidak murah, bisa belasan sampai puluhan juta. Kadang harus beli di luar negeri seperti Thailand, Bangkok, atau Australia. Makanya, saya kesal kalau dihubungi orang asing yang minta ASV untuk kepentingan pribadi. Pihak yang boleh memperoleh ASV hanya dokter atau rumah sakit karena ada pertanggungjawaban medis,” tegas Maha.

Cara Masyarakat Indonesia Menangani Gigitan Ular di Mata Tri Maharani

Bagi Tri Maharani, musuh utama penanganan gigitan ular di Indonesia adalah mitos. Sebab, sebagian masyarakat lebih memercayai dukun atau hal mistis lainnya, ketimbang pergi menemui tenaga medis, saat terkena gigitan ular. Akibatnya, kondisi korban akan semakin parah, bahkan menjadi lebih buruk, karena ditangani dengan metode yang salah.

Jika tergigit ular, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan. Yakni, tidak menghisap darah korban, karena bisa ular tidak menyebar melalui pembuluh darah. Selanjutnya, tidak mengikat, memijit, atau membuat korban merasa panik. Hal tersebut dilakukan demi menghindari kontraksi pada otot korban. Jika terjadi konstraksi, bisa ular akan dengan mudah menyebar ke seluruh tubuh sehingga kondisi korban semakin memburuk.

“Kalau salah penanganan, korban dapat diamputasi, bahkan meninggal dunia. Sebaiknya segera dibawa ke dokter sebelum terlambat. Sampai sekarang, belum ada obat yang mampu mencegah bisa ular selain ASV. Sebab, bisa ular itu kan mengandung protein, sehingga harus diikat juga dengan protein yang hanya terdapat pada ASV,” tambah Maha.

Melihat penanganan korban gigitan ular yang masih memprihatinkan, Maha menghimbau pemerintah untuk semakin gencar dalam melakukan penelitian, membuat panduan penanganan, memberikan sosialisasi kepada seluruh tenaga medis, serta menyediakan kurikulum mengenai bidang tersebut, khususnya bagi kalangan akademisi kedokteran. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).