Mengungkap Lebih Jelas Kemampuan Membaca Remaja Indonesia dengan Disleksia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi remaja disleksia. (Sumber: Dunia Anak Indonesia)

Disleksia salah satu gangguan belajar spesifik yang berhubungan dengan kemampuan membaca seringkali dihubungkan dengan gangguan pada kesadaran fonologis (Anjarningsih, 2011; Patel et.al, 2011; Bellocchi, et al, 2013; Lallier, et al, 2014; Valdois, et al, 2014). Meskipun demikian, masalah yang terkait dengan kemampuan fonologis tidak terlalu tampak jika bahasa tuturnya adalah bahasa yang ortografinya transparan (Kałdonek‐Crnjaković, 2015) seperti Bahasa Indonesia.

Dari semua aspek yang dibutuhkan pada proses membaca, kesadaran fonologis juga memiliki andil yang mempengaruhi kemampuan membaca pembaca dengan disleksia (Chung, et al, 2010; Chik and Ho, 2012). Sebagai salah satu kemampuan berbahasa yang memiliki peran kunci dalam proses belajar, gangguan dalam kemampuan membaca tentunya menjadi kendala yang sangat besar dalam proses transfer ilmu dalam kehidupan akademik siswa.

Di Surabaya sendiri, setidaknya 19,8% dari anak usia sekolah dasar ditengarai merupakan anak dengan disleksia (Nawangsari dan Suprapti, 2008). Jika tidak segera ditindaklanjuti, hal ini tentunya akan menjadi kehilangan besar bagi negeri ini karena banyak pembaca dengan disleksia tidak dapat menyerap ilmu secara optimal walaupun mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata (Beaton, 2004) dan kemudahan akses pendidikan.

Jadi, mengetahui bagaimana pola kesalahan morfologis yang muncul pada proses membaca siswa dengan disleksia dinilai penting untuk agar dapat menjadi masukan bagi orangtua dan guru diharapkan dalam memberikan arahan dan pola ajar pada kegiatan membaca siswa dengan disleksia.

Masing-masing imbuhan dapat mengubah makna dari kata dasar, sehingga aspek morfologis dalam proses membaca juga terkait dengan proses pemaknaan dalam proses membaca (Carlisle & Fleming, 2003; Pacheco & Goodwin, 2013). Karenanya, membaca imbuhan dengan benar penting dalam memaknai teks. Proses morfologis yang ada pada Bahasa Indonesia diantaranya adalah zero derivation, kata berimbuhan, reduplikasi, penyingkatan, kata gabung, dan formasi balik (Kridalaksana).

Untuk mengetahui pola kesalahan morfologis pada siswa dengan disleksia, studi ini memasukkan 160 kata berfrekuensi tinggi yang diambil melalui metode korpus dari buku teks sekolah dan dipilih berdasarkan kompleksitas morfologisnya ke dalam satu perangkat alat bacaan. Kompleksitas morfologis yang dijadikan pertimbangan adalah panjang kata dasar berdasarkan silabelnya dan panjang serta ragam imbuhan. Kata-kata tersebut kemudian dimasukkan ke dalam 55 kalimat yang dibacakan dengan keras oleh para partisipan disleksia berusia remaja.

Dari tes membaca, didapati bahwa ragam penyimpangan yang muncul adalah penambahan imbuhan, pengurangan imbuhan, penggantian imbuhan, penggantian kata dasar, penggantian keseluruhan kata, penambahan silabel, dan kombinasi. Hasil penyimpangan morfologis menunjukkan bahwa penyimpangan yang terjadi selama tes adalah sama seringnya, baik pada kata berimbuhan infleksional maupun derivasional. Mayoritas penyimpangan morfologis (96%) terjadi pada kata-kata berimbuhan. Contohnya dapat terlihat seperti berikut ini.

(Target) setiap hari adikku pulang berjalan dari sekolah sampai ke rumah.

(Partisipant 2) setiap hari adikku pulang perjalanan dari sekolah sampai ke rumah.

Pada contoh tersebut, partisipan merubah kata kerja menjadi kata benda dengan mengganti awalan dan menambahkan akhiran. Hal ini tentunya merubah makna kata sehingga membuat kalimat tersebut menjadi tidak berterima. Berdasarkan model membaca aktivasi-verifikasi (Paap et al., 1982), pada saat proses mengenali kata, pemaknaan semantis juga terjadi. Sehingga suatu kata yang dibaca akan diverifikasi berdasarkan konteks semantiknya. Jika sesuai, maka akan diucapkan, jika tidak akan ditahan lebih dulu (terlihat saat pembaca terdiam sejenak ketika membaca teks).

Berdasarkan model ini, ketika partisipan membaca berjalan sebagai perjalan, dia merasa bahwa kata tersebut tidak berterima dalam bahasa Indonesia. Akhirnya, untuk membuat kata tersebut berterima, secara tidak sadar dia menambahkan akhiran –an yang mengubah kata itu menjadi perjalanan. Dengan kata lain, partisipan ini mungkin menjalankan proses verifikasi dalam proses pengenalan kata di dalam pikirannya karena kata yang muncul di benaknya tidak berterima di dalam Bahasa Indonesia.

Selain itu, peserta cenderung menyederhanakan kata-kata berimbuhan dengan menghilangkan imbuhan dan hanya membaca kata dasarnya. Setidaknya 58% dari penyimpangan tersebut merupakan penghapusan imbuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun sudah berusia remaja, siswa dengan disleksia masih memiliki kesulitan dalam membaca kata-kata kompleks terutama yang memiliki imbuhan.

Kemampuan morfologis berhubungan dengan kemampuan mengenali kata (Kieffer, 2014; Cavalli, et al., 2017; Law, et al., 2017). Oleh karenanya, gangguan pada kemampuan ini dapat menyebabkan keterlambatan pada kemampuan siswa remaja dengan disleksia dalam mengenali kata yang berupa usaha keras mereka walau hanya membaca kata-kata yang tergolong sederhana bagi orang tanpa disleksia dan kesalahan-kesalahan membaca yang muncul.

Ditilik dari frekuensi kemunculan penyimpangan ini dan usia partisipan, hal ini menyiratkan bahwa terlepas dari lamanya paparan bahasa, pengalaman, dan praktik membaca, kekurangan pada tahap decoding tetap ada pada pembaca dengan disleksia bahkan saat mereka telah remaja (Undheim, 2009).

Ini berarti para guru yang mengajar dan orang tua dari pembaca dengan disleksia perlu memberikan lebih banyak pelatihan membaca khususnya pada kata-kata polimorfemik, terutama yang memiliki imbuhan. Hal ini sebaiknya terus dilakukan agar siswa dapat menyerap ilmu dengan lebih optimal. (*)

Penulis: Wasito Kirana Angkita

Artikel selengkapnya dapat diakses melalui link berikut ini

http://ojs.linguistik-indonesia.org/index.php/linguistik_indonesia/article/view/133/98

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).