Wewenang Kemenkumham dalam Sengketa Perundang-Undangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh dosenpendidikan.com

Kebijakan perundang-undangan di Indonesia begitu kompleks. Hal ini terlihat dari sejumlah masalah, antara lain regulasi yang terlalu banyak, konflik norma, dan tumpang tindih regulasi. Berbasis situasi demikian, lahirlah Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Melalui Jalur Nonlitigasi.

Ditinjau dari segi urgensi lahirnya peraturan, Permenkumham tersebut lahir sebagai respon ditemukannya peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga, menyebabkan timbulnya konflik norma hukum, konflik kewenangan antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, ketidakadilan bagi masyarakat dan pelaku usaha, serta menghambat iklim investasi, usaha, dan kegiatan ekonomi nasional dan daerah.

Melalui Permenkumham tersebut, Kemenkumham memiliki kewenangan untuk mempertemukan adanya pihak-pihak terkait yang mengalami pertentangan antar peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut lebih khusus dilakukan oleh Ditjen Peraturan Perundang-Undangan melalui Dirjen Litigasi. Sepanjang tahun 2018, Kemenkumham telah menerima permohonan sengketa dari 25 Pemohon. Diantara permohonan tersebut adalah perkara Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Blok Silo, Kabupaten Jember dan perkara ganti rugi korban salah tangkap yang diajukan oleh YLBHI Jakarta.

Aturan tersebut lahirkan pro dan kontra. Pihak yang setuju berpandangan bahwa keberadaan peraturan ini adalah solusi progresif untuk menghadapi permasalahan peraturan perundang-undangan. Sedangkan, adanya ketidaksetujuan terhadap peraturan tersebut termanifestasikan melalui dilakukannya permohonan hak uji materiil ke MA pada tanggal 19 Desember 2017.

Pengajuan permohonan hak uji materiil beralasan bahwa kebijakan yang dibuat oleh Kemenkumham tersebut keliru dan cenderung diluar kewenangannya. Oleh karena itu, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 ini dianggap bertentangan dengan berbagai undang-undang.

Dalam perjalanannya, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 dicabut dan digantikan dengan Permenkumham Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Melalui Mediasi. Aturan baru tersebut menegaskan dua hal yang berbeda dengan sebelumnya, yakni: 1) mekanisme penyelesaian yang sebelumya dilakukan melalui jalur nonlitigasi tanpa adanya spesifikasi, selanjutnya diganti melalui mediasi; dan 2) jenis peraturan perundang-undangan yang dapat dimohonkan yang dulunya tidak memiliki batasan jenis peraturan perundang-undangan yang dapat dimohonkan, selanjutnya diubah menjadi limitatif terhadap Permen, Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, Peraturan dari Lembaga Nonstruktural, dan peraturan perundang-undangan di daerah. Selebihnya, termasuk prosedur beracara, diatur secara sama.

Menghapus Dualisme Wewenang

Dualisme pernah terjadi pada saat Kementerian Dalam Negeri memiliki wewenang membatalkan Perda. Berdasarkan Pasal 251 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk membatalkan Perda Provinsi serta Gubernur untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Data yang dirilis oleh Kemendagri, telah terdapat 3.143 Perda, Perkada, dan dan Permendagri yang dicabut dan direvisi sepanjang tahun 2016, terutama terkait investasi, retribusi, dan pajak.

Namun, dualisme tersebut dihapus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Menurut Pan Muhammad Faiz, seorang Peneliti MK, kedua Putusan MK tersebut sekaligus menghentikan polemik terhadap dualisme mekanisme pengujian Perda, yaitu: Pertama, Perda dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Kedua, Perda dapat dibatalkan oleh MA berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dihapuskannya mekanisme pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat, maka satu-satunya mekanisme pembatalan Perda saat ini harus dilakukan melalui MA.

Konstitusionalisme Pengujian oleh MA

Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, telah diamanahkan oleh konstitusi bahwa ranah pengujian peraturan perundang-undangan adalah kewenangan lembaga yudisiil. Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang menjadi ranah MA, dipertegas dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Mengacu pada hal tersebut, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2017 yang mengatur mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan melalui jalur nonlitigasi telah bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi.Berkaitan dengan pengujian formil dan materiil, konsekuensi yang lahir terhadap sebuah peraturan perundang-undangan yang dibatalkan oleh MA adalah tidak dimilikinya daya mengikat oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Akibat hukum yang timbul dari Putusan MA tersebut, berbeda dengan akibat hukum yang timbul dari kesepakatan dan/atau rekomendasi yang lahir dalam penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur nonlitigasi yang dilakukan oleh Kemenkumham.

Keberadaan keputusan dan/atau rekomendasi, tidak mengikat umum maupun para pihak. Sangat dimungkinkan pula untuk diajukan ulang kepada Kemenkumham. Meski, saat ini hal tersebut telah diperbaiki melalui Permenkumham Nomor 2 Tahun 2019 yang melarang adanya pengajuan permohonan ulang dengan permohonan peraturan perundang-undangan yang sama. Sayangnya, hal tersebut tidak mengubah bagaimana kekuatan dari adanya kesepakatan dan/atau rekomendasi.

Seharusnya, Pemerintah Pusat lebih peka untuk menggunakan ruang lain dalam menyelesaikan berbagai masalah peraturan perundang-undangan. Misalnya, dengan mengefektifkan adanya mekanisme executive preview yang ada dalam Pasal 241 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal tersebut memberikan wewenang kepada Mendagri untuk mengevaluasi Rancangan Perda Provinsi dan Gubernur untuk mengevaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah sebelum ditetapkan oleh Gubernur.

Menurut A. Hamid S. Attamini, keberadaan konstitusi adalah sebagai pembatasan kewenangan, penjamin hak rakyat, dan pengatur jalannya pemerintahan. Mengacu pada pendapat tersebut, maka ketika konstitusi secara limitatif hanya memberikan kewenangan judicial review kepada lembaga yudisiil, seharusnya lembaga yang lain sudah tidak berwenang. Berdasarkan pendapat tersebut, sangat logis bahwa mekanisme penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan melalui jalur nonlitigasi yang dilakukan oleh Kemenkumham dapat dinyatakan tidak tepat atau bertentangan dengan prinsip negara hukum Indonesia.

Penulis: Shevierra Danmadiyah

Associate Research Fellow di Center of Human Rights Law Studies (HRLS) / Pusat Kajian Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Fakultas Hukum Universitas Airlangga / NIM 031611133119

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).