MK Keluarkan Putusan Baru Mengenai Jaminan Fidusia, Berikut Penjelasan dari Guru Besar FH UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Pada 2019 silam, dunia hukum dikejutkan dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang memutuskan bahwa perusahaan kreditur atau leasing tidak bisa mengeksekusi obyek jaminan fidusia secara sepihak atau langsung mengambil obyek jaminan apabila kreditur melakukan wanprestasi (cidera janji). Namun harus melalui permohonan eksekusi dari pengadilan. Sebelumnya, perusahaan kreditur memiliki hak untuk mengeksekusi objek jaminan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF).

Menurut UUJF, arti jaminan fidusia sendiri adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud serta benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Pada Seminar Pengembangan Profesi Hukum yang membahas tentang Putusan MK tersebut, Guru Besar FH UNAIR, Prof. Dr. Yohanes Sogar Simamora S.H., M.Hum., selaku narasumber, mengatakan bahwa putusan MK membuat Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UUF tidak lagi berlaku.

Prof. Sogar menjelaskan bahwa putusan MK tersebut mengatur bahwa kekuatan eksekutorial tersebut hanya dapat berlaku seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila adanya kesepakatan mengenai wanprestasi dan debitur secara sukarela memberikan objek yang menjadi jaminan fidusia. Apabila tidak, maka proses eksekusi harus dilakukan melalui Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

“Hal ini dikarenakan pada Pasal 15 ayat (2), sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap menurut MK,” tutur Pakar Hukum Perdata itu.

Pada ayat (3), ia menambahkan bahwa saat ini kreditur tidak dapat menjual objek jaminan fidusia secara sepihak untuk memenuhi kewajiban hutangnya. Namun harus ada kesepakatan antara kreditur dengan debitur.

“Kreditur juga dapat menjual objek jaminan tersebut atas dasar putusan pengadilan yang menyatakan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi. Disini, dapat terlihat bahwa putusan MK bertujuan untuk menyamakan kedudukan kreditur dan debitur,” tambahnya.

Walaupun demikian, Prof. Sogar menyatakan ketidakpuasannya terhadap putusan MK dengan menilai bahwa proses eksekutorial jaminan fidusia yang semula pendek menjadi ‘bertele-tele’. Namun, ia dapat memahami bahwa munculnya putusan tersebut dikarenakan banyaknya kasus kesewenang-wenangan kreditur terhadap debitur.

Seminar Pengembangan Profesi Hukum: Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi diadakan pada Selasa pagi (18/2/2020) di R.303 Gedung A FH UNAIR dengan mengundang pakar hukum lainnya sebagai narasumber seperti Guru Besar Hukum Perdata FH UNAIR, Prof. Agus Yudha Hernoko, Wakil Ketua PERADI, Dr. Ricardo Simanjuntak, dan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non Yudisial, Y.M. Prof. Dr. H. Sunarto.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).