Kewarganegaraan Ganda Bagi Warga Negara Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi status kewarganegaraan. (Sumber: Pikiran Rakyat)

Pada tahun 2016, publik dihebohkan dengan adanya dua kasus yang berkaitan dengan status kewarganegaraan seorang menteri dan seorang pelajar SMA. Menteri Archandra Tahar, yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 27 Juli 2016 dicopot dari jabatannya pada tanggal 15 Agustus 2016 karena ternyata memiliki kewarganegaraan ganda.

Sedangkan di kasus lain, seorang pelajar SMA di Depok, Jawa Barat, bernama Gloria Natapradja Hamel dinyatakan gugur hanya beberapa hari menjelang Upacara Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2016 setelah dinyatakan lolos seleksi sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana Merdeka. Hal tersebut karena ternyata Gloria memiliki paspor Prancis, seperti ayahnya, walaupun ibu Gloria adalah seorang Warga Negara Indonesia.

Kedua kasus tersebut walaupun berbeda namun keduanya terkait dengan isu kewarganegaraan ganda. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pada prinsipnya tidak mengenal adanya kewarganegaraan ganda. Namun, seiring dengan perkembangan dalam dunia modern, tuntutan diaspora Indonesia terhadap Pemerintah RI untuk memberikan status kewarganegaraan ganda bagi orang dewasa terus bergulir.

Artikel ini tidak akan secara detail memberikan membahas kedua kasus tersebut di atas, namun artikel ini akan menguraikan pengaturan mengenai kewarganegaraan ganda berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Pengaturan Mengenai Kewarganegaraan Ganda Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Warga   negara   merupakan   salah satu unsur yang esensial bagi berdirinya suatu negara. Dengan memiliki status kewarganegaran, seorang individu diakui sebagai salah satu anggota dari negara yang mengakuinya, dimana pengakuan negara tersebut merupakan sebuah hubungan hukum antara dua pihak tersebut, yaitu individu dan negara yang mengakuinya. Sehingga bisa dikatakan bahwa melalui status kewarganegaraan tersebut individu bisa menikmati banyak manfaat baik dari hukum nasional maupun internasional.

Untuk dapat menikmati apa yang disebut sebagai hak asasi manusia yang universal, seorang individu harus menikmati hak atas kewarganegaraan terlebih dahulu, yaitu status kewarganegaraan yang formal dan komplit setidaknya di satu negara. Jika seseorang  mempunyai   kewarganegaraan di suatu negara, orang tersebut mempunyai hak untuk tinggal, bekerja, memilih dan melakukan perjalanan di negara tersebut. Namun di sisi lain, adalah merupakan hak suatu negara untuk menentukan siapa saja yang menjadi warga negaranya selama tidak melanggar prinsip-prinsip umum hukum internasional.

Pengaturan mengenai kewarganegaraan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan bernegara. Di Indonesia, pengaturan mengenai Kewarganegaraan Indonesia selain terdapat dalam konstitusi juga diatur di peraturan perundang-undangan di bawahnya. Pasal 28D ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.” Pasal ini merupakan hasil perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan menurut Pasal 26 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,  “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Dari pasal tersebut terlihat  bahwa  UUD NRI Tahun 1945 memberikan sebuah pengakuan bahwa status kewarganegaraan adalah merupakan hak setiap orang.

Hak atas status kewarganegaraan mengandung makna tidak hanya hak untuk memperoleh status kewarganegaraan, tetapi juga termasuk hak untuk merubah serta hak untuk mempertahankan status kewarganegaraan. UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan dan tidak juga melarang. Dalam hal ini, kebijakan lebih lanjut diberikan kepada pembentuk undang- undang untuk mengaturnya sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yaitu bahwa “Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang- undang”.

Saat ini, Undang-Undang yang mengatur tentang kewarganegaraan Indonesia adalah UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada dasarnya UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, di antaranya adalah anak-anak yang memiliki orangtua dengan status kewarganegaraan berbeda dan salah satunya adalah WNI. Asas tersebut merupakan pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap anak.

Setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Beberapa pasal yang membuktikan bahwa UU No. 12 Tahun 2006 tidak menganut kewarganegaraan ganda untuk orang dewasa adalah Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 huruf (f), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 huruf (a,b,h), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 42.

UUD NRI Tahun 1945 tidak secara eksplisit menjamin apakah seseorang berhak atas satu atau dua status kewarganegaraan. Bagi UUD NRI Tahun 1945, yang penting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Sedangkan untuk kemungkinan terjadinya kewarganegaraan ganda, UUD NRI Tahun 1945 tidak mengharuskan dan tidak juga melarang.

Sedangkan UU No. 12 Tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda dengan dianutnya asas kewarganegaraan tunggal oleh undang-undang ini. Namun, UU No. 12 Tahun 2006 juga menganut Asas kewarganegaraan ganda terbatas sebagai pengecualian dalam rangka perlindungan terhadap anak bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. (*)

Penulis: Zendy Wulan Ayu W. Prameswari

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan saya di:

https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/kebijakan/article/view/718/pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).