Sayangi Anak Kita dengan Imunisasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh kumparan.com

Polemik mengenai vaksin MR yang sampai saat ini masih dianggap haram oleh sebagian masyarakat Indonesia tentu menjadi ‘PR’ untuk pemerintah. Bagaimana tidak, sebagaian orangtua mengabaikan resiko yang akan menimpa anaknya kapan saja jika tidak mengimunisasi karena yang ‘katanya’ dianggap haram itu. Sungguh tidak main-main dengan penyakit Rubella ini, Rubella merupakan masalah kesehatan yang mempunyai berbagai dampak klinis dan dapat memberikan dampak buruk baik berupa mortalitas dan morbiditas. Rubella termasuk dalam penyakit ringan pada anak, tetapi dapat memberikan dampak buruk apabila terjadi pada ibu hamil trimester pertama yaitu keguguran ataupun kecacatan pada bayi sering disebut Congenital Rubella Syndrom (CRS) seperti kelainan jantung dan mata, ketulian dan keterlambatan perkembangan (Depkes RI, 2017).

Kebanyakan vaksin Rubella memang mengandung gelatin yang berasal dari babi. Gelatin merupakan substansi yang berasal dari kolagen hewan seperti ayam, sapi, babi dan ikan. Pertanyaannya mengapa menggunakan gelatin babi? Mengapa tidak menggunakan gelatin dari hewan lainnya? Tentu pertanyaan seperti ini akan terlontar dari ibu-ibu yang khawatir anaknya menggunakan vaksin yang ‘dianggap haram’ itu. 

Fungsi Gelatin Babi?            

Apasih fungsinya gelatin babi dalam proses pembuatan vaksin MR? Gelatin babi ini bertindak sebagai bahan stabilizer – molekul penstabil untuk menjaga kualitas vaksin agar tidak rusak dari pengaruh suhu tinggi maupun rendah, dan menjaga lama penyimpanan vaksin. Tujuannya, ketika vaksin tersebut digunakan kemampuan vaksin untuk memberikan daya imunitas dalam tubuh tetap terjaga dan seseorang yang diimunisasi dengan vaksin tersebut benar-benar akan memiliki imunitas (kekebalan) dari penyakit terkait. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi vaksin sebenarnya telah menguji berbagai macam stabilizer dari berbagai sumber, hingga akhirnya mereka memilih satu sumber yang memang memiliki kualitas yang baik, bersifat stabil dan tersedia dalam jumlah cukup.

Pada kenyataannya belum ada satupun kandidat stabilizer yang dapat mengungguli kualitas gelatin babi. Penelitian terhadap rekombinasi sel manusia untuk mencari kandidat stabilizer mungkin saja dilakukan karena beberapa komunitas agama merasa sangat keberatan untuk menggunakan vaksin yang mengandung protein sel babi. Meskipun demikian, penelitian tersebut akan memakan waktu yang sangat lama (>20 tahun) sampai akhirnya vaksin yang 100% bebas dari kandungan babi benar-benar dapat diproduksi.

Coba bayangkan saja jika memang benar ini akal-akalan orang non-muslim untuk memaksa orang muslim menggunakan produk babi bukankah mereka akan merugi? Tentu, jika saja komponen yang dibuat sebagai bahan vaksin dibuat dari bahan yang halal bukankah jauh lebih menguntungkan karena dapat dipakai siapa saja tidak terkecuali orang muslim. Jawabannya terletak pada sumber penelitian yang telah diteliti selama bertahun-tahun bahwa memang gelatin babi memiliki kemampuan yang jauh lebih baik sebagai molekul penstabil dalam menjaga kualitas vaksin dibandingkan gelatin dari sumber lain. Para pembuat vaksin tentu tidak akan mau mengambil resiko menggunakan stabilizer dari bahan yang kurang baik kemampuannya. Hal ini mungkin akan membuat Anda sedikit bertanya-tanya mengapa babi yang ternyata haram justru kaya akan manfaat.

Sudut Pandang Vaksinolog

Untuk menjawab berbagai kegelisahan masyarakat Indonesia, peran disiplin ilmu tentang masalah ini sungguh diperlukan. Kali ini jika ditinjau lebih jauh komponen yang ada dalam vaksin MR ini tidak seperti gelatin yang digunakan dalam produk makanan, gelatin yang terdapat di dalam vaksin telah dihancurkan melalui pencampuran berbagai senyawa kimia atau dalam kata lain ‘dihidrolisis’, menjadi molekul-molekul lain yang lebih kecil yang disebut ‘peptida’. Jadi sebenarnya gelatin babi tersebut telah berubah menjadi molekul lain dan tidak lagi dalam bentuk murni protein babi.

Melihat adanya vaksin yang mengandung gelatin babi, pada tahun 2001, WHO menyelenggarakan pertemuan bersama para ulama di Timur Tengah untuk mendiskusikan perihal status Halal-Haram vaksin tersebut. Hingga akhirnya dari hasil pertemuan disepakati bahwa gelatin yang terkandung di dalam vaksin sama sekali tidak haram. Ini dikarenakan struktur senyawa gelatin tersebut telah berubah menjadi bentuk lain dan bukan lagi dalam bentuk murni protein babi. Sehingga penggunaan vaksin tersebut diperbolehkan bagi komunitas Muslim.

“Imunisasi bukan hanya menggambarkan anda mencintai diri anda sendiri tapi juga menunjukkan anda menyayangi orang dan lingkungan sekitar anda.”

Penulis: drh. Merdiana Ayu Dewi (Mahasiswi Magister Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Program Studi Vaksinologi dan Imunoteraptika)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).