Lagu Didi Kempot Kembali Populer, Listiyono: Harus Dipandang Sebagai Strategi Untuk Memperkuat Kebudayaan Lokal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Belakangan ini, industri musik tanah air sempat diramaikan dengan berbagai macam genre lagu. Termasuk halnya jenis campursari, keroncong, serta dangdut yang salah satunya dipopulerkan oleh Dionisius Prasetyo atau lebih dikenal dengan Didi Kempot. Publik bahkan sudah tidak merasa asing jika mendengar lagu ciptaannya diputar.

Melejitnya Didi Kempot ke tengah kalangan milenial bermula ketika beredarnya video konser milik salah satu pengguna media sosial. Dalam video tersebut, tampak sekumpulan anak muda yang asyik meluapkan rasa sedihnya sembari berdendang bersama sang idola. Sejak saat itu, pembicaraan seputar pria berjuluk ‘Lord Didi’ ini seakan tidak pernah surut.

Melihat fenomena itu, dosen Filsafat Kebudayaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., turut memberikan komentarnya. Meski tidak secara khusus mencoba mendengarkan lagu Didi Kempot, Listiyono mengaku sering menikmati dan memandang bahwa lagu ciptaan pria asal Surakarta itu memiliki keunikan.

“Hampir semua lagunya Didi Kempot itu kan menarasikan patah hati atau mencerminkan bagaimana seseorang menjadi korban dari sebuah hubungan dengan orang lain. Ada makna mendalam di setiap karyanya. Pengungkapan lagunya yang menggunakan langgam Jawa juga turut menambah daya tarik tersendiri bagi para penggemarnya,” kata Listiyono.

Menurut Listiyono, lagu milik Didi Kempot mampu mengkonstruksikan kesedihan dan kepedihan menjadi sesuatu yang berbeda melalui beberapa langgam seperti dangdut, pop, keroncong, dan sebagainya. Selain liriknya yang menarik, genre musiknya membuat orang akan berjoget ataupun merasa bergembira, meskipun baru saja ditimpa kesedihan.

“Didi Kempot merupakan figur seniman pada umumnya yang berangkat dari bawah dan berupaya konsisten dengan ciri khasnya. Dia memiliki passion di musik seperti itu, sehingga jika dia ingin mengubah genre akan menjadi lain cerita. Walaupun sudah lama berkarir, karyanya tidak tenggelam karena sudah memiliki pasarnya sendiri,” ungkapnya.

Listiyono melanjutkan, kini Didi Kempot telah mendapatkan momentumnya. Sebab, ia diuntungkan karena orang merayakan penggunaan media sosial dengan cara yang masif. Sehingga lagunya yang sebenarnya sudah dibuat cukup lama, sekarang ini menjadi sebuah representasi dimana generasi milenial jenuh akan situasi industri musik yang mainstream.

“Saat ini, sebagian generasi milenial menyukai jenis musik yang seperti itu. Kalau dalam bahasa psikologi, lagu-lagunya Didi Kempot itu adalah katarsis jiwa pada popularitasnya anak muda. Katarsis jiwa, yang gundah mau dilampiaskan dengan apa? Mendengarkan lagunya, meskipun dalam keadaan gundah, tetapi masih bisa merasa gembira,” sebutnya.

Saat ini, lagu-lagu Didi Kempot tidak hanya dinikmati oleh kelas-kelas tertentu, melainkan sudah merambah pada masyarakat dari berbagai golongan. Kehadiran seniman dengan langgam musik serupa maupun seniman dari genre musik lainnya telah menghapuskan disparitas antar budaya tertentu. Sehingga musik bisa dinikmati semua ruang kelas sosial.

“Sekarang, hampir semua kalangan suka campursari, dangdut, koplo, atau genre lain. Artinya, budaya populer sebenarnya sudah sanggup memutus disparitas antar budaya. Musik yang dibawakan Didi tergolong budaya komersil sehingga tujuannya memang untuk dinikmati publik, bukan untuk dimainkan dalam ruang-ruang tertentu,” tegasnya.

Munculnya Didi Kempot juga harus dimaknai sebagai suatu strategi bahwa budaya lokal tidak kalah dengan budaya populer lainnya. Indonesia memiliki local wisdom yang dapat diangkat sebagai budaya entertain dan dapat menghasilkan industri kreatif di bidangnya. Perlu adanya revitalisasi sekaligus revivalisasi untuk melakukan pelestarian budaya lokal.

“Perlu ada ruang publik yang memberikan ruang untuk melahirkan budaya-budaya lokal seperti lagunya Didi Kempot. Saat ini banyak sekali kreativitas dalam bermusik. Misalnya dari segi penampilan atau jenisnya. Tetapi ciri khas harus tetap dipertahankan karena kebudayaan harus bersifat dinamis, kontinu, dan disertai inovasi,” pungkas Listiyono. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).