Kepekaan Corynebacterium Diphtheriae Toksigenik Terhadap Antibiotika Lini Pertama di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh dokter id

Indonesia mengalami wabah difteri, terutama di Provinsi Jawa Timur, sejak tahun 2011. Jumlah kasus di Indonesia menempati peringkat dua dunia setelah India. Pengobatan utama penyakit difteri yang mematikan tersebut antara lain adalah antibiotika untuk mematikan bakteri Corynebacterium diphtheriae yang toksigenik. Kepekaan bakteri terhadap antibiotika berubah menurut waktu. Evaluasi berkala untuk menilai hal tersebut mutlak diperlukan. Selama wabah di Jawa Timur, belum pernah dilaklukan penilaian tes kepekaan antibiotika, terutama kelompok utama yang menjadi lini pertama pengobatan penyakit difteri. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kepekaan isolat bakteri C. diphtheriae toksigenik terhadap 5 antibiotika lini pertama yaitu penisilin, oksasilin, eritromisin, klaritromisin, dan azitromisin.

Isolat dari Provinsi Jawa Timur disimpan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Daerah (BBLK) di Surabaya. Laboratorium ini adalah satu dari dua labboratorium rujukan nasional untuk penyakit difteri. Isolat yang dipilih di”hidup”kan kembali dan diuji dengan tes toksigenisitas. Isolat yang “hidup” selanjutnya menjalani uji kepekaan terhadap antibiotika. Jumlah minimal sampel yang diperlukan sebanyak 104. Pemilihan isolat berdasarkan metode acak proporsional sesuai jumlah kasus di berbagai daerah tingkat II di Jawa Timur. Tes kepekaan antibiotika menggunakan strip E-test yang diproduksi Biomerieux. Lima antibiotika adalah pemnisilin, oksasilin, eritromisin, klaritromisin, dan azitromisin. Dasar utama standar kadar Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti CLSI 2015. Dalam CLSI tercantum ambang batas untuk penisilin dan eritromisin namun untuk ketiga antibiotika yang lain belum ada ketetapan.

Dari 114 isolat yang dipilih hanya 108 yang akhirnya digunakan. Mayoritas isolat berasal dari penderita, berjenis kelamin laki-laki, dan berasal dari biakan usap tenggorokan. Isolat pada umumnya berasal dari daerah tapal kuda dengan biotipe mitis. Isolat yang peka terhada eritromisin lebih banyak daripada yang peka terhadap penisilin. Ada 3 isolat yang kebal terhadap eritromisin dan tidak satupun isolat kebal terhadap penisilin. Yang membedakan kepekaan terhadap kedua antibiotika tersebut adalah bahwa penurunan kepekaan terhadap penisilin pada umumnya tergolong sebagai “intermediate/menengah”.

Pedoman di Indonesia hanya menyebutkan dua antibiotika yaitu penisilin dan eritromisin. Dua makrolide yang lain, klaritromisin dan azitromisin, telah digunakan juga sebagai terapi antibiotika untuk C. diphtheriae. Belum ada laporan penggunaan oksasilin sebagai terapi difteri namun peneliti ingin mencari alternatif lain yang lebih mudah diperoleh. Di Indonesia hingga saat ini belum tersebia penisilin intra vena dan eritromisin intra vena. Dominasi biotipe mitis dalam penelitian ini setara dengan banyak penelitian di negara lain. Dominasi gravis hanya dilaporkan dari Vietnam dan Aljazair. Sebagian besar biotipe gravis dalam penelitian ini menunjukkan kekebalan terhadap beberapa jenis antibiotika. Penelitian di Jakarta tahun 1982 menemukan seluruh isolat masih peka terhadap penisilin. Studi terakhir, beberapa tahun lalu, di Kanada juga melaporkan hal yang sama. Penelitian lain di Jakarta (2018) mendapatkan 10% dari isolat mereka, yang umumnya berasal dari Indonesia bagian barat, kebal terhadap penisilin.

Dalam penelitian ini kadar MIC terhadap oksasilin relatif lebih tinggi dari pada penisilin. Jika menggunakan batas MIC yang sama, akan banyak isolat kebal terhadap oksasilin. Di beberapa negara eritro,misin merupakan pilihan pertama. Penelitian ini mendukung keputusan tersebut. Secara umum data dari berbagai negara dalam persoalan kepekaan bakteri terhadap antibiotika sangat bervariasi.

Mengingat standar kepekaan terhadap klaritromisin dan azitromisin tidak tersedia, peneliti tidak dapat menentukan status kekebalan bakteri penyebab difteri terhadap kedua antibiotik itu. Azitromisin cukup dikonsumsi sekali sehari namun beberapa efek samping mungkin akan muncul. Dalam penelitian ini semua isolat yang kebal terhadap eritromisin juga mempunyai MIC yang tinggi atau kebal sebagian atau seluruhnya  terhadap klaritromisin dan azitromisin. Karena kekebalan terhadap penisilin tidak dijumpai maka penelitian ini tidak dapat mengevaluasi bakteri multi resisten.

Hasil penelitian ini berpotensi mengubah pedoman di Indonesia. Pemilihan prioritas antibiotika perlu dievaluasi. Hasil ini juga merupakan masukan bagi lembaga yang berwenang untuk mencari ambang batas kepekaan untuk klaritromisin dan azitromisin.

Penulis: Dominicus Husada, Sugi Deny Pranoto Soegianto, Indra Suwarin Kurniawati, Adi Pramono Hendrata, Eveline Irawan, Leny Kartina, Dwiyanti Puspitasari, Parwati S. Basuki, Ismoedijanto Moedjito

Sumber : BMC Infectious Diseases 2019; Volume 19: 1049 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/31829153

First-line antibiotic susceptibility pattern of toxigenic Corynebacterium diphtheriae in Indonesia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).