Pakar UNAIR Ulas Kebijakan Luar Negeri Susilo Bambang Yudhoyono

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Artikel Ilmiah oleh Feri Fenoria

UNAIR NEWS – Radityo Dharmaputra S.Hub.Int., M. Hub. Int., tak henti melakukan berbagai riset. Kali ini, ia dan tim mengulas tentang kebijakan luar negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, pada era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) Indonesia berusaha untuk mendefinisikan kembali identitas internasionalnya yang telah lama terkaburkan oleh permasalahan peninggalan Orde Baru seperti transisi domestik dan pembangunan ekonomi.

Pada pidato pertamanya di hadapan DPR pada 15 Agustus 2005, SBY, jelasnya, mengemukakan pandangannya mengenai kebijakan luar negeri Indonesia. Ia percaya bahwa kebijakan luar negeri Indonesia harus berdasar pada diplomasi dan multilateralisme yang tidak hanya memenuhi kepentingan nasional seperti persatuan dan kestabilan nasional tetapi juga mencakup ambisi lebih luas yaitu perwujudan perdamaian di tingkat kawasan dan global.

“SBY juga mengemukakan idenya untuk membuat Indonesia menjadi negara modern yang berbasis pada tiga pilar utama yaitu ekonomi yang adil dan kuat, demokrasi yang modern dan stabil serta peradaban yang berkembang,” ungkapnya.

Dalam konteks itu, jelasnya, para pengamat sepakat bahwa Indonesia pada era SBY mengadopsi kebijakan luar negeri yang proaktif dan berprofil global yang dalam implementasinya berfokus pada proyeksi identitas islam demokratik dan pemenuhan peran aktif dalam institusi internasional. Namun, sekalipun terdapat kesepakatan bahwa kebijakan luar negeri SBY lebih aktif dan cenderung globalis dibandingkan periode sebelumnya, terdapat narasi bahwa kebijakan luar negeri Indonesia selalu “punching below its weight”.

“Bahwa, kebijakan luar negeri Indonesia tidak mampu untuk memenuhi potensi yang ada,” tandasnya.

Selanjutnya, ia dan tim berargumen bahwa penting untuk melihat wacana mengenai ketidaksesuaian antara visi dan retorika dengan praktik kebijakan luar negeri melalui analisis yang berbeda dengan para penulis terdahulu. Daripada berfokus pada tantangan domestik dan keterbatasan sumber daya, tandasnya, adanya keterbatasan dalam realisasi kebijakan globalis SBY dikarenakan terdapat pola budaya stratejik Indonesia yang membatasi.

“Hal ini terlihat dari retorika kebijakan luar negeri dengan orientasi keluar untuk meningkatkan status internasional Indonesia terikat oleh struktur identitas budaya stratejik Indonesia yang menekankan pada orientasi kebijakan luar negeri yang cenderung defensif dan melihat ke dalam,” ungkapnya.

Pada akhir, ia menegaskan bahwa berdasarkan pemaparan tersebut, agar ada pemahaman baru yang dapat menjadi kontribusi dalam diskursus mengenai kebijakan luar negeri. Secara spesifik, pihaknya, berharap adanya pemahaman yang lebih mendalam terkait hubungan antara identitas dan kebijakan luar negeri.

“Tidak hanya itu, pada tingkatan teoritis, kami harap dapat memberikan cara pandang baru dalam menganalisis kebijakan luar negeri melalui kombinasi antara analisis diskursus posstrukturalis dengan konsep budaya stratejik,” pungkasnya.

Penulis: Nuri Hermawan

Editor: Khefti Al Mawalia

Berikut adalah link terkait:

http://www.airitilibrary.com/Publication/alDetailedMesh?DocID=10274979-201910-201911120002-201911120002-81-139

Radityo Dharmaputra, Agastya Wardhana, M. Anugrah Pratama. 2019. A Forced Continuity? Tracing Indonesian Strategic Culture in Yudhoyono’s Foreign Policy (2004-2014). 23卷2期 (2019 / 10 / 01) , P81 – 139.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).