Keluhan Pernapasan pada Pekerja Konstruksi dan Faktor yang Mempengaruhi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi pekerja konstruski. (Sumber: infopublik)

Pada dasarnya semua orang yang melakukan pekerjaan berisiko untuk menderita atau mengalami gangguan kesehatan, yang disebabkan oleh pekerjaannya itu sendiri maupun lingkungan kerjanya.

Dalam proses pembangunan gedung, sangat mungkin terdapat proses dimana material padat mengalami rudapakasa seperti penggerindaan, pemecahan, pengurukan, dan lain-lain, sehingga akan dihasilkan debu. Material yang digunakan dalam pembangunan gedung berasal dari tanah, pasir, semen portland, kayu, sisa cat, dan lain-lain.

Semen, pasir maupun tanah pada umumnya mengandung senyawa silikan bebas (SiO2), merupakan senyawa kimia sangat toksik, yaitu efek pnemokoniotik (pnemokoniosis). Efek ini sangat khas, yaitu ditandai dengan adanya pembentukan jaringan parut akibat deposisi debu di alveolus.

Akibat paparan debu pada saluran pernapasan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu efek non spesifik dan efek spesifik. Efek non spesifik adalah reaksi peradangan pada saluran pernapasan, khususnya mukosa. Apapun jenis debunya, efek non-spesifik selalu ada. Efek spesifik hanya terjadi pada jenis debu tertentu. Efek spesifik adalah pnemokoniosis dan kanker.

Debu akan melewati saluran pernapasan, mulai dari rongga hidung, tenggorokan, trakea, bronkus, bronkeolus, bronkeolus terminal dan paling ujung adalah alveolus. Saluran pernapasan merupakan suatu pipa dengan percabangan dikotomis sampai kira-kira 23 generasi. Semakin ke distal, ukuran dari saluran pernapasan menjadi semakin kecil. Laju udara yang melewati juga semakin pelan.

Debu yang terhirup (inhalasi) pada akhirnya akan deposisi (menempel) di permukaan mukosa saluran pernapasan. Ada beberapa mekanisme deposisi debu tersebut, yaitu gravitation, inertial impaction, interception, dan diffusion. Di saluran pernapasan bagian mana debu akan terdeposisi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Ukuran partikel debu merupakan faktor utama, di samping kepadatan molekulnya (densitas). Debu dengan ukuran besar, cenderung deposit di permukaan saluran pernapasan yang lebih atas.

Sebaliknya, semakin kecil ukuran partikel debu, cenderung deposit di saluran pernapasan bawah, bahkan sampai alveolus. Di bidang K3, ukuran debu dibedakan menjadi dua, yaitu debu respirable dengan ukuran ≤ 10 μm (micrometer / micron) dan debu non-respirable, di mana ukuran partikelnya  > 10 μm.  Debu respirable sangat berpotensi terdeposisi sampai di alveolus, sedangkan debu non respirable terdeposisi di saluran pernapasan yang lebih atas. Konsekuensi dari adanya deposisi debu di saluran pernapasan atas atau bawah tentu saja juga berbeda.

Saluran pernapasan manusia dilengkapi oleh seperangkat alat / mekanisme pembersihan debu, yang disebut dust lung clearance. Ada 3 mekanisme dasar pembersihan debu, yaitu 1) secara mekanis, yaitu batuk atau bersin, 2) muco-cilliary escalator, yaitu kerjasama silia (bulu getar) dan lender pada mukosa yang akan memindahkan debu kea rah proksimal. Dan yang ke 3) fagositosis oleh makrofag alveolar atau sel PMN (poli morpho nuclear). Yang terakhir ini adalah untuk debu yang terdeposit di alveolus.

Efek toksik sangat bergantung dengan dosis paparan. Dosis paparan yang dimaksud adalah jumlah partikel debu yang sudah terdeposit dalam saluran pernapasan selama kurun waktu. Untuk menghitung besaran dari dosis tersebut adalah sangat sukar, digunakan suatu formulasi sebagai pendekatan, yaitu dosis = konsentrasi paparan dikalikan dengan masa kerja. Itulah sebabnya, konsentrasi debu di tempat kerja sangat penting dilakukan antisipasi dan rekognisi. Untuk debu yang mengandung silika bebas, perlu juga mengidentifikasi kandungan SiO2 dalam debu yang terukur. Kandungan SiO2 lebih dari 2%, dianggap berpotensi menimbulkan pnemokoniosis.

Konsentrasi debu di tempat kerja ternyata bervariasi. Ada3 lokasi unit kerja yang diukur kadar debunya, yaitu concentrate grinding, ceramic cutting dan cleaning activities. Dari setiap unit kerja dilakukan 3 kali pengukuran yaitu pagi hari, siang hari dan sore hari. Konsentrasi debu berturut-turut adalah unit concentrate grinding berkisar antara 4,65 – 14,58 mg/m3 dengan rata-rata 12,15 mg/m3; unit ceramic cutting berkisar antara 3,05 – 12,22 mg/m3 dengan rata-rata 10,02 mg/m3; dan unit kerja cleaning activities berkisar antara 2,49 – 10,40 mg/m3 dengan rata-rata 8,42 mg/m3. Dari 3 kali pengukuran semua unit menunjukkan bahwa konsentrasi pada siang hari adalah paling rendah, dan paling tinggi di sore hari.

Berdasar informasi dari material safety data sheets yang tersedia di tempat penelitian, menunjukkan bahwa debu-debu di tempat kerja mengandung silica bebas dengan kadar yang cukup tinggi. Bahaya debu fly ash mengandung silika bebas sebanyak 42,14%.

Dengan kadar debu tersebut, maka potensi ancaman terhadap timbulnya silicosis tidak dapat diabaikan. Pengendalian debu di tempat kerja merupakan keharusan. Di banyak negara, terutama di Jepang dan Korea, semua pengerjaan gedung atau pekerjaan sipil lainnya, umumnya dilakukan dengan proses basah. Dengan demikian potensi hamburan debu akan sangat minimum.

Begitu juga deteksi dini atas kemungkinan terjadinya silicosis sangat perlu segera dilaksanakan. Sekurang-kurangnya, pemeriksaan fungsi paru merupakan prosedur rutin untuk dilakukan setiap tahun pada pekerja yang terpapar debu.

Dalam penelitian ini terpilih secara acak 86 pekerja sebagai responden.  Dari kuesioner, menunjukkan bahwa keluhan pernapasan yang dialami pekerja akibat paparan debu adalah batuk, pengeluaran dahak, mengi dan sesak napas. Dari keempat keluhan tersebut, yang terbanyak adalah batuk (100%), disusul keluhan pengeluaran dahak (60,7%), napas bunyi (mengi) sebanyak 10,7% dan sesak napas  5,4 %.

Semua keluhan tersebut secara statistik berhubungan dengan lama masa kerja (p<0,05). Hal ini tentunya dapat dipahami bahwa efek toksik selalu berkorelasi dengan dosis paparan, dosis paparan sangat ditentukan oleh konsentrasi debu dan lamanya paparan.

Penyakit akibat kerja hampir semuanya terjadi secara kronik, karena itu lama paparan ini menjadi faktor pengungkit yang sangat kuat dalam menimbulkan penyakit. Berbeda dengan penyakit akut, faktor konsentrasi lebih menentukan timbulnya suatu penyakit.

Dengan fakta seperti yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa pekerja bidang konstruksi memiliki risiko cukup kuat untuk menderita gangguan fungsi pernapasan, terutama silicosis. Deteksi dini akan timbulnya penyakit ini sangat dibutuhkan. Di samping itu, proses basah dalam pengerjaan pembangunan suatu gedung, merupakan strategi paling signifikan dalam menurunkan intensitas debu di tempat kerja. (*)

Penulis: Sho’im Hidayat

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:https://medic.upm.edu.my/our_journal/malaysian_journal_of_medicine_and_health_sciences_mjmhs/mjmhs_vol15_supplement_3_august_2019-51211

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).