Uji Kepekaan Antibiotik Oral terhadap Bakteri Propionilbacterium acnes Pasien Akne Vulgaris Derajat Sedang Berat

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi bakteri Propionilbacterium acnes. (Sumber: Hipwee)

Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang sering terjadi terutama pada usia remaja dan dapat berlanjut pada usia dewasa. Penyebab akne vulgaris pada usia remaja karena terdapat peningkatan sekresi hormon terutama androgen. Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan produksi sebum yang merupakan tempat tumbuh yang disukai oleh bakteri Propionilbacterium acnes.

Beberapa organisme diduga berperan terhadap kejadian akne vulgaris. Di antaranya adalah Staphylococus aureus, Staphylococcus epidermidis, Malassezia furfur, dan yang utama adalah Propionilbacterium acnes. Penggunaan antibiotik oral merupakan indikasi pengobatan akne vulgaris derajat sedang berat, jenis antibiotik yang diberikan antara lain, doksisiklin, eritromisin, klindamisin, dan azitromisin.

Pada tahun 1970 didapatkan bahwa Propionilbacterium acnes sensitif terhadap beberapa antibotik seperti klindamisin, eritromsin, dan golongan cycline. Penggunaan azitromisin juga telah dilaporkan aman dan efektif pada akne vulgaris derajat sedang. Peningkatan penggunaan antibiotik menyebabkan pola bakteri Propionilbacterium acnes yang berubah sehingga dilaporkan adanya resistensi terhadap beberapa antibiotik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memberikan data terbaru mengenai tingkat kepositifan bakteri Propionilbacterium acnes pada lesi akne vulgaris yang didapatkan pada wajah, hal ini dilakukan karena jerawat seperti pada punggung atau dada dapat disebabkan oleh malassezia folikulitis.Penelitian ini juga menilai kepekaan antibiotik oral pada pasien akne vulgaris derajat sedang-berat, mengingat sudah didapatkan angka kejadian resistensi antibiotik di tempat lain.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional, dengan melakukan pengambilan sampel secara consecutive sampling sebanyak 37 pasien AV baru dan lama. Pengambilan sampel akne vulgaris dilakukan pada beberapa lesi 2-3 pustula pada wajah dengan cara pustula dipecahkan dengan jarum steril dan ekstraktor komedo. Hal ini dikarenakan lokasi bakteri Propionilbacterium acnes sering terdapat di daerah folikel rambut dan kelenjar sebasea.

Variabel pada penelitian ini adalah akne vulgaris derajat sedang-berat, identifikasi bakteri Propionilbacterium acnes, dan uji kepekaan antibiotik oral. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pustula dari sampel kulit akne vulgaris kemudian ditanam di media kultur anaerob, diidentifikasi dengan VITEK® 2, dan tes kepekaan antibiotik dengan metode disk difusi.

Pada penelitian ini didapatkan penyebab terbanyak akne vulgaris adalah faktor gabungan dari stres, hormon, dan makanan, atau diikuti dengan faktor makanan saja. Selain itu, faktor genetik dan kosmetik juga berperan dalam penyebab akne vulgaris. Stres sebagai salah satu faktor penyebab akne vulgaris juga disebutkan oleh Zhang yang dalam mengatakan bahwa terdapat perubahan level corticothropin releasing hormon pada saat stres dan berperan terhadap regulasi dari fungsi kelenjar sebaseus.  Enam belas pasien dipengaruhi oleh faktor hormonal (40%), hal tersebut sesuai dengan jurnal yang disebutkan oleh Lucky dan kawan-kawan yang menemukan sekitar 70% wanita mengeluhkan flare 2-7 hari pramenstruasi.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa doksisiklin merupakan antibiotik dengan kepekaan tertinggi pada pasien yang tidak mempunyai riwayat pengobatan sebelumnya. Azitromisin mempunyai kepekaan kedua setelah doksisiklin pada pada pasien yang tidak mempunyai riwayat pengobatan sebelumnya, diikuti oleh klndamisin dan eritomisin. Eritromisin adalah antibiotik dengan kepekaan terendah jika dibandingkan dengan lainya.

Hasil uji kultur dan identifikasi didapatkan terbanyak adalah bakteri Propionilbacterium acnes dan kepekaan antibiotik terhadap bakteri tersebut didapatkan yang pertama adalah doksisiklin, kemudian azitromisin, klindamisin, dan kepekaan paling rendah adalah eritromisin. Saran pada penelitian selanjutnya pasien diminta tidak menggunakan antibiotik selain yang diberikan peneliti serta diusahakan agar pasien dapat kontrol kembali agar mendapatkan hasil yang lebih akurat. (*)

Penulis : Iskandar Zulkarnain

Informasi detail artikel ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/12455

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).