Tingkatkan Penyembuhan Tulang dengan Sel Punca Amniotik dan Scaffold Chitosan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi sel punca. (Sumber: Kompasiana)

Sel punca yang berasal dari membran amnion manusia telah diketahui memiliki sifat pluripoten yang berarti bahwa sel punca ini dapat berkembang menjadi semua jenis sel yang ada dalam tubuh. Sel ini dapat digunakan dalam teknologi rekayasa jaringan untuk membantu proses penyembuhan jaringan. Salah satu contohnya adalah rekayasa jaringan tulang.

Dalam penggunaannya, sel punca sebaiknya dikombinasikan dengan scaffold, yakni penyangga 3 dimensi, sebagai tempat sel punca melekat, berkembang, dan berubah menjadi sel yang diharapkan. Chitosan-Carbonate Apatite (Ch-CA) merupakan bahan yang memenuhi syarat sebagai scaffold.

Di sisi lain, chitosan sendiri dapat merangsang terjadinya pertumbuhan dan perubahan sel punca menjadi sel osteoblas yaitu sel yang berperan dalam pembentukan tulang baru. Selain itu, chitosan juga memiliki sifat bakteriostatik dan hemostatik yang dapat membantu kelancaran proses penyembuhan jaringan. Kombinasi dari kedua bahan scaffold Ch-CA dan sel punca amniotik ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas proses pembentukan tulang baru.

Tujuan dari penelitian kami adalah untuk melihat pengaruh dari sel punca amniotik manusia yang ditanamkan ke dalam scaffold Ch-CA pada pembentukan tulang baru yang terjadi di hewan coba.

Sel punca yang digunakan pada penelitian ini, didapatkan dari pasien di dalam ruang operasi melalui prosedur yang telah disetujui komite etik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Isolasi dan kultur sel punca dilakukan di Pusat Penelitian Stem Cell Universitas Airlangga. Untuk Scaffold Ch-CA, dibuat dengan methode freeze-drying dengan suhu -800 C.

Hewan coba berupa 20 tikus wistar dipilih secara acak dan dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Setiap kelompok tersebut dibagi lagi menjadi 2 kelompok, yakni kelompok 1 minggu dan kelompok 8 minggu.

Tulang kepala tikus wistar diberikan defek menggunakan bur berkecepatan rendah dan pada kelompok perlakuan ditanamkan scaffold yang telah dikombinasikan dengan sel punca. Setelah perlakuan 1 dan  8 minggu, tikus dikorbankan dan dilakukan pemisahan dan pemeriksaan pada daerah yang dilakukan perlakuan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan angiogenesis, Vascular endotelial growth factor (VEGF), Bone morphogenetic protein 2 (BMP2), Alkaline phosphatase (ALP), Runt-related transcription factor 2 (RUNX2), kolagen tipe 1, osteocalcin, dan area tulang trabecular.

Proses penyembuhan tulang dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yakni tahap awal (inflamasi), tahap reparatif dan tahap akhir (remodelling tulang). Pada proses penyembuhan tahap awal, terjadinya proses angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh darah memiliki peran yang penting. Hal ini dikarenakan jaringan pembuluh darah berfungsi untuk mengirimkan oksigen, nutrisi dan molekul bioaktif yang diperlukan untuk proses penyembuhan.

Pemeriksaan VEGF dan jumlah pembuluh darah kapiler dilakukan untuk melihat terjadinya proses angiogenesis.. Selain VEGF, faktor yang berperan penting dalam proses penyembuhan tahap awal adalah BMP2. Faktor ini akan mempengaruhi proses perubahan sel punca menjadi sel-sel tulang. Dari penelitian yang kami lakukan ini, kami menemukan bahwa jumlah dari VEGF dan pembuluh darah kapiler didapatkan lebih tinggi pada kelompok perlakuan.

Pemeriksaan penanda RUNX2, ALP, kolagen tipe 1 dan osteocalcin mewakili proses pembentukan tulang baru. Pada penelitian ini ditemukan peningkatan pada penanda-penanda tersebut pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dapat diartikan bahwa pada akhir minggu ke 8, tingkat kematangan dari jaringan tulang pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.

Dari penelitian ini, kami menemukan bahwa penyembuhan jaringan tahap awal terjadi lebih dahulu dan lebih efektif pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Kemudian pada fase penyembuhan tahap akhir, terbentuk matriks tulang lebih banyak pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Kami menyimpulkan bahwa kombinasi antara penggunaan Ch-CA dan sel punca amniotik dapat dipertimbangkan sebagai bahan rekayasa jaringan tulang untuk memicu terjadinya pembentukan tulang dan digunakan secara klinis. Namun terdapat kekurangan dalam penelitian ini, termasuk pada kemungkinan resiko dari komplikasi secara sistemik.

Penelitian ini hanya fokus pada potensi pembentukan tulang baru dari sel punca dan scaffold Ch-CA. Bahan ini sebaiknya diteliti lebih lanjut pada aspek lainnya seperti uji mekanis, respon radang dan toksisitas sebelum dapat diaplikasikan pada penggunaan klinis.

Penulis : Michael Josef Kridanto Kamadjaja

Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat di:

https://doi:10.4103/ccd.ccd_627_18

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).