Sisi lain dari tingginya angka harapan hidup suatu bangsa adalah meningkatnya jumlah populasi lanjut usia (lansia). Di Indonesia, berdasar laporan tahun 2017, angka harapan hidup laki-laki adalah 69,8 tahun, sedangkan wanita 73,6 tahun. Di atas usia 60 tahun, seseorang disebut lanjut usia atau geriatri. Secara fisiologis, tubuh manusia menua dengan diikuti proses degenerasi seluruh jaringan tubuh. Pada usia tua, ada kecenderungan orang mengonsumsi obat-obatan untuk penyakit menahun yang dideritanya. Akibatnya meningkatkan resiko penyakit muskuloskeletal seperti radang sendi (osteoarthritis) dan pengeroposan tulang (osteoporosis).
Patah tulang pada usia lanjut memerlukan pemikiran dan penanganan menyeluruh. Kondisi tulang seberapa keropos, resiko gagal menyambung, resiko bila penderita harus berbaring lama, resiko penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes mellitus, Parkinson, dan pasca stroke menjadi dasar pemilihan tindakan.
Sebagian besar patah pada lansia akibat jatuh di rumah (80 persen), bukan akibat kecelakaan lalu lintas atau di tempat kerja. Tulang yang sering patah adalah tulang belakang, tulang panggul dan pergelangan. Akibat menanggung beban tubuh, tulang belakang mengalami fraktur kompresi. Patah ini menimbulkan sakit pada setiap perubahan posisi. Secara perlahan punggung menjadi bungkuk dan sakit akibat titik berat tubuh membebani punggung.
Pengeroposan pada tulang panggul dan tulang paha membuat bagian ini rentan patah. Patah bagian ini sangat nyeri dan membuat orang sama sekali tidak dapat berdiri, kadang bahkan tidak dapat duduk. Demikian juga patah tulang pergelangan tangan sering terjadi akibat gangguan keseimbangan yang membuat lansia oleng, jatuh dengan posisi tangan menumpu badan.
Seluruh patah pada lansia memerlukan tindakan segera, pertama karena keadaan tidak bergerak di tempat tidur menimbulkan resiko komplikasi infeksi paru, infeksi kulit akibat tertekan lama dan terus menerus (decubitus) secara keseluruhan meningkatkan resiko kematian. Kedua keadaan invalid bagi lansia yang semula aktif bergerak akan membawanya pada menarik diri dari pergaulan sosial sehingga tidak jarang menjadi depresi. Penanganan segera harus dilakukan untuk mempercapat mobilisasi dan mencegah komplikasi akibat tirah baring lama.
Pemeriksaan klinis berupa pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi harus segera dilakukan untuk menegakkan diagnosa dan penanganan secara cepat dan tepat. Berdasar hasil pemeriksaan tersebut ditentukan penanganan yang harus dilakukan, apakah penanganan tanpa operasi berupa reposisi dan immobilsasi dengan gyps atau cara operasi, terutama untuk patah tulang panggul. Khusus patah tulang panggul mutlak dilakukan operasi sesuai kondisi patahnya, apakah menggunakan fiksasi interna atau penggantian sendi. Pada kondisi patah pada leher tulang paha dari sendi panggul, tidak mungkin akan terjadi proses penyambungan, sehingga penggantian sendi panggul merupakan satu satunya pilihan terbaik.
Penanganan tanpa operasi seperti pada fraktur kompressi tulang belakang dan patah tulang pergelangan, membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 6 minggu untuk proses penyembuhan. Kelemahan dari teknik tanpa operasi ini adalah penderita tidak dapat melakukan latihan sendi lebih awal dengan akibat timbul komplikasi mal-union dan kekakuan sendi.
Pembiusan pada operasi dapat dilakukan dengan bius lokal (peripheral nerve block) atau bius regional (misalnya, sub arachnoid block) sehingga memperkecil komplikasi pembiusan pada penderita geriatrik. Tindakan operasi tulang panggul membutuhkan waktu 1 jam dengan lama rawat 3 sampai 5 hari. Perawatan pascaoperasi selain dengan pemberian obat antibiotik dan obat anti sakit, juga dilakukan rehabilitasi sejak hari kedua, agar sendi dapat segera pulih seperti sedia kala.



(b) gambaran setelah dilakukan tindakan suntik cemen
Penanganan fraktur dengan operasi lebih menguntungkan dari sisi cepatnya mobilisasi dan rehabilitasi dapat dilakukan. Dengan segera kembali bergerak, komplikasi preoperatif yang sering terjadi pada pasien manula dapat diperkecil. Komplikasi paling sering dan dengan morbiditas tinggi adalah jatuh pada infeksi paru (pneumonia) yang terjadi karena komorbiditas penyakit penyerta yang mengedepan kembali akibat berbaring lama dan tidak bergerak.
Komplikasi lain pada kejadian fraktur lansia yang tidak segera dilakukan reposisi, immobilisasi dan rehabilitasi secara benar, adalah timbulnya kekakuan sendi, pemendekan alat gerak, deformitas/bungkuk pada fraktur tulang belakang dan juga kemungkinan fraktur tidak menyambung (non-union).
Fakta seputar fraktur pada geriatri:
- 75% penderita fraktur geriatri adalah wanita
- 80% pemicu fraktur geriatri yang datang ke rumah sakit adalah kecelakaan di rumah (domestic accident).
- 60% lokasi fraktur geriatri adalah tiga besar, tulang belakang, panggul, dan pergelangan tangan
- 73% penderita fraktur geriatric yang dirawat mempunyai berat badan normal, tidak terlalu kurus ataupun terlalu gemuk
- 67% penderita fraktur geriatri mempunyai penyakit penyerta hipertensi dan atau diabetes mellitus. (*)
Penulis: Dr. Komang Agung Irianto Suryaningrat, dr., Sp.OT(K)
Dep. Orthopaedi dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Judul Jurnal: Geriatric fractures in single Orthopedic Hospital: The role of domestic fall and comprehensive geriatric assessment
Authors: Komang Agung Irianto, Dionisius Rianto, William Putera Sukmajaya, Oen Alina
Dipublikasikan di: Bali Medical Journal. 2019;8(2):480-485
Selengkapnya lihat di link berikut: https://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/view/1432