Melihat Faktor Tingginya Antidifteri pada Remaja di Bangkalan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Difteri adalah salah satu penyakit berbahaya yang merenggut banyak korban yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Peningkatan kasus difteri terjadi di Jawa Timur sejak tahun 2011. Saat ini, Indonesia menempati peringkat dua dunia setelah India, dalam hal insidens penyakit difteri. Sebagian besar kasus difteri Indonesia ada di Jawa Timur. Puncak kasus Jawa Timur terjadi pada tahun 2012 dengan 955 pasien dan 37 kematian. Daerah utama difteri di Jawa Timur adalah kabupaten di utara dan timur atau yang lebih dikenal sebagai “tapal kuda” (berdasarkan bentuk di peta). Bangkalan adalah salah satu kabupaten di lokasi tersebut.

Penyebab meningkatnya kasus difteri adalah kekebalan yang rendah di masyarakat. Kekebalan utama difteri diperoleh dari imunisasi, dan melalui paparan terhadap C. diphtheriae. Menjadi pasien difteri tidak menaikkan kekebalan terhadap difteri.

Pada tahun 2015 didapati publikasi penelitian tim gabungan Inggris dan Indonesia mengenai data kekebalan anak berusia 15 tahun ke bawah di Kabupaten Bangkalan dan Kediri. Target utama dalam penelitian tersebut adalah Bangkalan sedangkan Kediri dijadikan pembanding. Kediri mempunyai cakupan imunisasi yang sangat baik sementara Bangkalan di sisi sebaliknya. Budaya dasar di kedua kabupaten tersebut juga berbeda. Budaya Madura dijumpai di Bangkalan dan budaya Jawa di Kediri. Penelitian tersebut ditindaklanjuti dengan penelitian serupa namun pada kelompok usia yang lebih tua yaitu 16-18 tahun. Tujuan penelitian yang belakangan tersebut adalah menganalisis kadar antibodi antidifteri pada remaja berusia 16-18 tahun di kedua kabupaten di Jawa Timur.

Penelitian cross sectional ini dilakukan terhadap pelajar di SMA negeri kedua kabupaten. SMA negeri dipilih berdasarkan keputusan Dinas Pendidikan setempat. Dari SMA negeri yang ditentukan, fokus utama ditujukan terhadap siswa di kelas XI. Besar sampel minimal adalah 54 dan 78 anak di Bangkalan dan Kediri. Tehnik pengambilan sampel melalui sistem acak sederhana. Seluruhnya ada 9 SMA negeri di Bangkalan (dengan 2457 siswa) dan 14 di Kediri (3572 siswa).

Seluuruh orang tua atau wali dari siswa yang menjadi sampel memberikan persetujuan melalui informed consent. Mereka juga mengisi kuesioner, yang terutama menanyakan status imunisasi siswa yang bersangkutan. Pemeriksaan antibodi dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Surabaya. Pemeriksaan tersebut menggunakan metode Vero cell sesuai standar WHO. Kadar antibodi siswa dibagi dalam 4 kategori yaitu susceptible, basic, full protection, dan long term immunity. Analisis lanjutan juga dilakukan dengan membagi kadar antibodi ini menjadi dua yaitu relatif kebal dan rentan/suseptibel.

Penelitian ini merekrut 89 dan 115 sampel dari Bangkalan dan Kediri.  Jumlah laki-laki lebih besar dari perempuan. Pendidikan orang tua di Bangkalan lebih rendah dari pada di Kediri. Cakupan imunisasi di Kediri jauh lebih baik dari pada di Bangkalan, namun sebagai daerah dengan banyak penderita dan karier Bangkalan telah melakukan beberapa kali imunisasi difteri tambahan. Kadar antibodi antidifteri di Kabupaten Bangkalan lebih tinggi dari pada di Kediri. Cukup banyak siswa yang rentan menderita difteri.

Perbedaan etnis dan budaya ikut berperan menentukan keberhasilan program kesehatan. Jawa Timur telah banyak kali mengalami wabah penyakit menular dan daerah wabah relatif konsisten. Penelitian ini juga mengungkap keterlibatan ayah yang menentukan penerimaan terhadap imunisasi di keluarga yang bersangkutan. Perbedaan pendidikan ayah menjadi salah satu faktor yang bermakna, yang sebenarnya juga nampak di beberapa penelitian lain, baik di dalam maupun luar negeri.

Kadar antibodi antidifteri yang didapatkan pada penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya (2015).  Kekebalan yang dipunyai siswa Bangkalan lebih tinggi dari pada siswa Kediri. Hal ini menunjukkan kekuatan antibodi antidifteri hasil imunisasi tidak akan sekuat hasil yang diperoleh dari paparan alamiah. Hal ini juga membuktikan kekebalan akan menurun sejalan dengan waktu. Dalam penelitian sebelumnya terungkap bahwa angka karier difteri di Bangkalan mencapai 3 persen.

Kelemahan penelitian mencakup keterbatasan data imunisasi sebagian besar siswa. Penelitian ini tidak memverifikasi data imunisasi hingga ke tingkat data yang dimiliki oleh puskesmas pembantu atau puskesmas. Kedua, penelitian hanya mencakup siswa SMA negeri. Sekolah swasta, termasuk pondok pesantren tidak masuk dalam penelitian.

Sebagai kesimpulan penelitian, kekebalan antidifteri siswa SMA negeri di Bangkalan lebih tinggi dari pada siswa di Kediri. Hal ini menjadi masukan berharga bagi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur untuk menentukan strategi selanjutnya.

Penulis: Dominicus Husada

Detail tulisan ini dapat dilihat di:

https://www.researchgate.net/publication/335573072_THE_ANTIDIPHTHERIA_ANTIBODIES_OF_SEROEPIDEMIOLOGY_SURVEY_AMONG_ADOLESCENTS_IN_BANGKALAN_AND_KEDIRI_DISTRICTS

Dominicus Husada, Kristina Marbun, Desy Primayani, Leny Kartina, Dwiyanti Puspitasari, Parwati S. Basuki, Ismoedijanto, Aris Widji Utami, Eveline Irawan. 2019. The Antidiphtheria Antibodies of Seroepidemiology Survey among Adolescents in Bangkalan and Kediri Districts. Jurnal Berkala Epidemiologi; 7 (2): 94-102

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).