Pangan Lokal Kurang Termanfaatkan Berpotensi Perbaiki Gizi Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi makanan berkabohidrat. (Sumber: Fimela)

Indonesia masih memiliki “pekerjaan rumah” dalam menurunkan stunting. Meskipun prevalensinya telah menurun dari 37,2% pada 2013 menjadi 30,8% pada 2018, namun angka ini masih terkategori “sangat tinggi” menurut tim ahli penasehat teknis pemantauan gizi, gabungan dari badan internasional kesehatan dan dana anak (WHO-UNICEF).

Di beberapa wilayah, prevalensinya bahkan hingga lebih dari 40%, termasuk di Kabupaten Bangkalan, Madura. Karakteristik wilayah Madura yang kering, apalagi dibarengi dengan kemiskinan yang cukup tinggi di beberapa wilayah, menempatkannya sebagai daerah yang berisiko mengalami rawan pangan dan gizi. Namun, di balik kekurangan ini, sebenarnya banyak potensi pangan lokal yang kurang optimal pemanfaatannya untuk memenuhi gizi anak.

Inilah yang mendasari tim peneliti dari FKM UNAIR bersama SEAMEO-RECFON untuk melakukan kajian potensi gizi pangan lokal yang kurang termanfaatkan, bagi perbaikan gizi anak. Tim peneliti memperoleh daftar pangan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kabupaten Bangkalan pada tahun 2013, yang didapat dari hasil wawancara rumah tangga, diskusi kelompok terarah, dan observasi langsung.

Setidaknya ada 25 pangan yang diidentifikasi saat itu, namun untuk kajian potensi bagi anak, peneliti hanya memilih 9, antara lain sorgum (Sorghum bicolor), ganyong (Canna edulis), talas (colocasia esculenta), kentang hitam (Plectranthus rotundifolius), suweg (Amorphophallus paseoniifolius), kelor (Moringa oleifera), kawista (Limonia acidisima), mangga gedong (Mangifera indica) dan bligo (Benincasa hispida).

Kajian potensi gizi difokuskan pada 6 zat gizi mikro yang masih sering menjadi masalah pada anak-anak di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, antara lain seng, zat besi, kalsium, niasin, folat dan vitamin A. Protein dan fitat juga turut dikaji, mengingat protein merupakan zat gizi utama terkait pertumbuhan anak, dan fitat merupakan zat non gizi yang berperan dalam menghambat penyerapan zat gizi di tubuh.

Peneliti mengumpulkan data kandungan gizi, pangan-pangan tersebut dari Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI) sebagai sumber utama, dan dilengkapi dari sumber ilmiah lain jika belum ada di TKPI. Kandungan asam amino diperoleh dari pangkalan data milik badan pertanian dunia (FAO) dan organisasi pertanian Amerika Serikat (USDA). Pangan dianggap memiliki potensi akan zat gizi tertentu, jika dalam 100 gramnya menyumbangkan sedikitnya 15% dari kebutuhan gizi harian tubuh (khusus untuk protein, sumbangan 10% sudah dianggap berpotensi), atau dalam setiap 100 kilokalorinya menyumbangkan sedikitnya 5% dari kebutuhan harian tubuh. Peneliti menggunakan referensi kebutuhan harian anak usia baduta, mengingat penanggulangan stunting akan lebih optimal jika difokuskan pada 1000 hari pertama kehidupan, artinya dari konsepsi hingga 2 tahun pertama usia anak.

Hasil kajian menunjukkan, semua pangan tersebut kaya akan sedikitnya 3 zat gizi mikro penting yang pemenuhannya masih sering menjadi kendala bagi anak di negara sedang berkembang. Dari segi kandungan protein, secara kuantitas, 4 di antara pangan tersebut memiliki kandungan protein yang rendah, sedangkan 5 lainnya cukup padat protein, dan memiliki komposisi asam amino yang baik.

Namun kelemahan protein dari sumber nabati pada umumnya adalah daya cernanya yang lebih rendah dibanding sumber hewani. Daya cerna protein nabati oleh tubuh umumnya sekitar 70-80%, sementara protein hewani, misalnya dari telur dan susu memiliki daya cerna masing-masing 95% dan 97%. Karena itu, peneliti menyarankan, untuk memperoleh manfaat gizi optimal dari pangan tersebut, supaya dikombinasikan dengan pangan lokal sumber protein lainnya yang cukup murah, baik dari nabati misalnya kacang-kacangan, tempe, tahu dan sebagainya, maupun hewani misalnya telur atau ikan.

Selain itu, untuk tujuan perbaikan gizi anak, sebaiknya juga dihitung dan diperhatikan betul molar rasio antara mineral (zat besi, seng, calcium) dengan fitat, karena pada rasio yang kurang pas, fitat dapat menghambat penyerapan mineral-mineral tersebut oleh tubuh. Dalam kajian ini, hanya talas (buah dan daunnya) dan bligo yang memenuhi molar rasio fitat dengan mineral.

Upaya menurunkan fitat dapat dilakukan pada tahap pra pengolahan pangan, misalnya penumbukan, pengecambahan, fermentasi, merendam kemudian membuang airnya, maupun dengan cara modifikasi menu misalnya mengkombinasikan dengan pangan yang dapat membantu penyerapan mineral, seperi vitamin C dan pangan hewani. Menariknya, sebagian besar dari 9 pangan yang dikaji di penelitian ini, juga kaya akan vitamin C. (*)

Penulis: Anis Catur Adi

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami dihttp://www.apjcn.org/Issue/y_2019-i_4.html

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).