Peran Fleksibilitas Managerial dalam Mengatasi Perselisihan Sengketa

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Feri Fenoria R

UNAIR NEWS – Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan merupakan salah satu produk hukum di Indonesia yang mengatur mengenai perselisihan hubungan di dunia industrial. Dr. Lanny Ramli S.H., M.Hum., salah satu dosen fakultas hukum Universitas Airlangga pernah mengkaji permasalahan penyelesaian sengketa dalam penelitiannya yang berjudul “Flexibility Management to Solve Industrial Relation Dispute”.

Dalam UU yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua macam sengketa yang diatur. Pertama adalah sengketa mengenai hak yang terkait dengan terpenuhi atau tidak terppenuhinya realitas dengan kontrak kerja, dan yang kedua adalah mengenai sengeta kepentingan yang mengatur upaya untuk mencari kesempatan terhadap persyaratan pada kondisi tenaga kerja ke pengusaha.

Lanny menganggap bahwa ada berbagai faktor yang memantik terjadinya perselisihan dalam hubungan industrial. Hasil data yang diolahnya menyebutkan ada empat faktor mayoritas terjadinya perselisihan yakni jumlah pekerja lebih dari jumlah kesempatan untuk bekerja, perkembangan modernisasi di pabrik sehingga menekan angka kebutuhan tenaga kerja, perkembangan mesin dan komputer yang lebih canggih dari manusia, serta terkadang peraturan ini kurang mampu bersaing dengan waktu.

“Pada nyatanya, para pekerja relatif melakukan berbagai tindakan dalam menyelesaikan sengketa yang dirasa akan didengar oleh para pengusaha. Salah satu tindakan yang lazim dilakukan adalah melakukan pemogokan kerja. Tindakan mogok kerja merupakan bentuk refleksi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 E Ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,” ungkap Lanny mengacu pada salah satu kejadian May Day di tahun 2017 di mana 150,000 perkerja melakukan pemogokan.

Lebih lanjut, Lanny menjelaskan bahwa perselisihan yang bermuara pada demonstrasi atau pemogokan dapat dipertanyakan nilai keberhasilannya karena hal ini menunjukkan tingkat kemampuan berkomunikasi di antara kedua belah pihak. Dibutuhkan orang-orang yang sadar bagaimana cara hukum berkerja untuk menjadi penengah di antara panasnya perselisihan. Hal seperti kurangnya kesadaran mediator, kompetensi, serta keterbukaan antar pihak inilah yang terkadang lupa diperhatikan.

Padahal, produk hukum seperti UU Nomor 2 Tahun 2004 telah menawarkan banyak cara untuk menyelesaikan sengketa, mulai dari bipartite, tripartite, hingga konsiliasi atau arbitrase. Bahkan, ada langkah mediasi di pengadilan yang biasa disebut dengan ‘Hubungan Pengadilan Industri’.

Simpulan dari penelitian Lanny menunjukkan bahwa fleksibilitas, keluwesan, dan komunikasi berperan penting dalam menyelesaikan setiap perselisihan yang akan atau telah terjadi. Dibutuhkan juga mediator yang netral dan kompeten dalam menyadarkan kedua belah pihak.

“Budaya lokal seperti musyawarah dan mufakat untuk melakukan evaluasi dan penyampaian pendapat dengan komunikasi yang baik, mampu menutupi dan memperbaiki perselisihan yang terjadi,” pungkasnya.

Penulis: Tsania Ysnaini Mawardi

Editor: Nuri Hermawan

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di Source

https://www.scitepress.org/PublicationsDetail.aspx?ID=syMzz4i%2fncE%3d&t=1

Title       : Flexibility Management to Solve Industrial Relation Dispute

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).