Selama keseteraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan belum tercapai, maka diskursus terkait gender terus relevan untuk dipersoalkan. Akar permasalahan Ketidaksetaraan yang masif itu ialah akibat pola pikir yang dangkal terhadap konsep gender dan sex (Jenis kelamin). Maka dari itu, hemat saya, untuk mengatasi persoalan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, pertama-tama kita harus menjernihkan konsep pemikiran kita terkait gender dan sex. Dari ortho-doxy (Pemikiran yang benar) menuju ortho-praxy (Tindakan yang benar).
Gender dan sex
Sex adalah pembagian jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan yang dideterminasi secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Sebagai suatu warisan biologis, maka sex itu permanen, alamiah atau kodrati dan tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan gender ialah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan lemah lembut, keibuan, emosional dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, tangguh dan sebaginya. Satu hal yang perlu diperhatikan juga ialah karena gender bukan warisan biologis melainkan hasil konstruksi sosial maupun kultural, maka sifat-sifat gender itu dapat dipertukarkan dan berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya.
Namun, fakta yang terjadi selama ini ialah orang terpenjara dalam kerangkeng miskonsepsi terhadap konsep gender. Orang sering mengartikan gender, yang pada dasarnya hasil konstruksi sosio-kultural, justru dinggap sebagai kodrat yang merupakan suatu warisan biologis yang kerena itu tidak dapat dipertukarkan. Dampak lanjutannya ialah kaum perempuan kemudian mengalami subordinasi. Konstruksi sosial bagi wanita yang sering disingkat dengan “puluhan m” seperti memasak, merawat anak, mencuci, mengepel, membersihkan rumah, melayani suami, mendidik anak, dan “m” lainnya dianggap sebagai warisan biologis yang melekat dalam diri perempuan dan karena warisan biologis terhadap perempuan hal-hal seperti itu tidak dapat dilakukan atau dipertukarkan dengan laki-laki. Padahal kodrat wanita cuman empat, yang tidak dapat dipertukarkan dengan laki-laki yakni mengandung, melahirkan, menyusui, dan menstruasi.
Sebenarnya, cukup banyak fakta untuk memudahkan pembuktian bahwa “puluhan m” itu ialah hasil konstruksi sosial dan bukan warisan biologis (Kodrat) sebagaimana yang sering disalah pahami. Apabila kita ke restoran, di sana kita menemukan bahwa yang banyak menjadi juru masak ialah laki-laki dibandingkan perempuan. Kemudian, meskipun secara rata-rata laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, tetapi kita tidak boleh menutup mata terhadap fakta para perempuan yang mampu mengangkat barbel yang besar dan menendang bola dengan kekuatan yang tak kalah kuat dengan laki-laki. Tayangan perempuan yang melakukan aktivitas seperti ini sering kali muncul di televisi.
Selain itu, di bank-bank dan di rumah sakit (Baca: Perawat) kita melihat begitu banyak laki-laki yang mengaktualisasikan dirinya dengan baik, yang mana sektor seperti itu sering kali dianggap sebagai sektor perempuan. Kemudian, dalam konteks kepemimpinan, adakah pemimpin laki-laki di Eropa sekarang yang dapat manandingi sang perempuan Angela Merkel (Kanselir Jerman)? Angela Merkel terkenal dengan kepemimpinannya yang handal, seperti kebijakannya untuk menyelamatkan negara yang terkena krisis, salah satunya Yunani beberapa tahun lalu dan kehandalannya sebagai fasilitator dalam menciptakan kedamaian antara negara-negara yang berkonflik di Eropa.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa gender adalah konstruksi sosial dan bukan warisan biologis. Maka, sifat-sifat gender seperti memasak, mencuci, merawat anak, menjadi pemimpin dan sebagainya bisa dilakukan oleh laki-laki dan juga oleh perempuan atau singkatnya dapat dipertukarkan. Bahkan, berbagai penelitian psikologi telah menunjukkan justru perempuan lebih tahan banting dan kuat secara fisik dan mental dibanding laki-laki karena perempuan disamping mempu mengaktualisasikan dirinya untuk bekerja, juga memiliki fungsi mengandung dan melahirkan.
Dari ortho-doxy (Pemikiran yang benar) menuju ortho-praxy (Tindakan yang benar)
Setelah menjernihkan kembali konsep gender yakni sebagai konstruksi sosial dan bukan warisan biologis, maka seluruh elemen bangsa ini, terlebih khusus para stakeholder perlu menciptakan ruang gerak yang lebih kepada perempuan agar dapat mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Para perempuan harus keluar dari sektor domestik, seperti merawat anak, mencuci, memasak, dan sebagainya yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan pokoknya karena itu adalah hasil kontruksi sosial dalam mana laki-laki juga mampu melakukannya. Keadilan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan hanya dapat tercapai bilamana seluruh sektor publik yang selama ini banyak di isi oleh laki-laki juga di isi oleh kaum perempuan. Sebagaimana laki-laki, tidak ada yang ganjil dan salah apabila perempuan tampil di publik dan menjadi pemimpin.
Tidak ada bukti yang mampu menjadi pendukung untuk melemahkan perempuan dalam mengaktulisasikan dirinya sebagai pemimpin. Konstruksi sosial sifat gender yakni laki-laki itu rasional, tahan banting, kuat, dan kerena itu cocok menjadi pemimpin, juga dimiliki perempuan karena itu dapat dipertukarkan dan bukan warisan biologis sebagaimana sex yang membedakan laki-laki dan perempuan menurut jenis kelaminnya. Oleh karena itu, marilah kita menghapus segala prasangka buruk kita terhadap perempuan selama ini dan bersama-sama mewujudkan dunia yang penuh keseteraan, khususnya dunia yang memberi waktu, ruang, dan tempat bagi perempuan untuk menjadi pemimpin.