Dibutakan oleh ambisi.
Dirayu oleh kekuasaan.
Dihancurkan oleh Roma.
(Robert Harris, 2009, Conspirata, Trilogi Cicero)
SITUASINYA tidak pernah terkhayalkan di benak khalayak menjelang pelantikan Presiden-Wakil Presiden 20 Oktober 2019. Kegaduhan dan kegelisahan elite politik sambung-menyambung menjadi satu kehendak kolektif untuk “menikmati kue kekuasaan”. Geliat parpol yang semula dalam pilpres berkerumun dan mengkristal sebagai pendukung 01 dan 02, sesuai dengan hukum alam, tampak kian meleleh membentuk balutan persatuan Indonesia. Sebuah konstruksi demokrasi yang matang, meski membutuhkan waktu untuk tahan nafas agar kondusivitas kehidupan ini mencapai titik harmoni kembali. Inilah momentum yang bagi saya harus dijaga guna “membasuh yang lusuh dan menjahit yang terobek”.
Namun sayang sekali kosmologi sosio-budaya yang melumerkan bongkahan yang teronggok dari tahapan pemilu ini tidak direspon dengan baik oleh sebagian politisi. Kaum parpolis cenderung menampik “kandidat menteri” dari parpol yang pernah menjadi rival dalam pilpres. Petinggi parpol menyuguhkan karep ke Presiden yang secara konstitusional memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet. Mereka berebut meminta jatah menteri dengan kuantifikasi matematis: “kami yang setia sejak awal berhak mendapat jatah lebih banyak”. Perilaku politik itu kerap dianggap lumrah sebagai bagian bahwa “setiap tetesan gula-gula itu, manisnya harus dirasakan kaum sekoloni (koalisi)”.
Tetapi sengkurat di antara mereka terlanjur dibaca oleh rakyat sebagai perebutan jabatan yang menafikan independensi Presiden. Target jatah menteri kian riuh yang konstalasinya mengingatkan saya pada ungkapan di awal tulisan ini. Robert Harris mampu menyodorkan peta konspirasi di Roma, 63 SM dalam referensi trilogi Cicero: Conspirata. Di kota yang berada diambang masa kekaisaran besar, tujuh orang berebut kekuasaan. Cicero konsul, Caesar pesaingnya yang muda dan bengis, Pompeius jenderal terbesar republik, Crassus orang terkaya, Cato fanatic politik, Catilina psikopat, dan Clodius playboy ambisius. Persekutuan dan pengkhianatan, kekejaman dan rayuan, kejeniusan dan kebusukan mereka berjalin dalam kisah “epik” yang mewarnai setiap jengkal kekuasaan.
Hari-hari ini ada ulah yang sedemikian merasuk ke “ruang privasi” Presiden (hak prerogatif)? Bahkan ada parpol yang mengukuhi otoritas bidang tertentu, sehingga membangun indikasi bahwa posisi inilah yang sangat menguntungkan hingga meraup kursi melebihi mimpinya. Masa satu periode (2019-2024) itu selaksa hidup semalam yang mempertaruhkan segala sumber daya. Presiden ibarat bola lampu yang menarik laron-laron itu mencari kehangatan jelang musim penghujan (pelantikan presiden).
Saya memahami secara ekologis bahwa laron itu menapaki siklus hidup dari rayap yang memasuki gelanggang klimatologi untuk menyongsong dan menikmati musim hujan. Dia butuh kehangatan dan atas nama itulah bola lampu dinisbatkan sebagai sang surya penghangat jiwa raga dalam merengkuh hayat yang hanya semalam. Kerumunan laron parpol terbidik membuat presiden dapat kehilangan martabat mengingat hak prerogatifnya digerogoti di depan umum.
Diyakini Presiden tidak akan membanting harga untuk sekadar meladeni syahwat parpol yang berebut posisi menteri. Pengalaman selama ini sudah cukup bahwa identitas petugas partai harus dipungkasi agar tidak menimbulkan ambigu kepentingan parpol di atas “jubah negara”. Untuk itulah pilihan historis dapat menjadi alternatif dengan membentuk kabinet dari orang-orang profesional. Inilah yang lazim dikenal dalam sejarah kepresidenan sebagai zaken kabinet semisal di era pemerintahan Djuanda Kartawijaya (9 April 1957-10 Juli 1959).
Kabinet yang diisi kaum profesional ini sangat ditunggu-tunggu rakyat termasuk di sektor hukum, agar hukum tidak disalahgunakan atau ditunggangi kemauan parpol. Kritik keras di periode ini adalah terbangunnya penilaian keberadaan pejabat parpol yang menguasai institusi hukum untuk digunakan sebagai instrumen pemukul “lawan bertanding”. Hal ini mengakibatkan dunia hukum penuh problema yang mendasar karena ketertiban dan kepastian yuridis terperangkap mengalirkan dendam yang mengabaikan keadilan. Law enforcement dipertontonkan penuh onak dan berisiknya kian menyempurnakan keriuhan politik yang setiap hari menggaungkan raungan “mengendus kekuasaan”.
Pembenahan birokrasi pemerintahan harus dilakukan dengan pertimbangan yang komprehensif. Apalagi dalam dekade terakhir ini kata Roberdt C. Guel, guncangan ekonomi dunia telah bersentuhan dengan aspek produksi, pembiayaan, monopoli, kompetisi, ekonomi yang berorientasi profit, gross domestic product, inflation, unemployment, resesi, depresi, aggregate demand and aggregate supply, perdagangan internasional, economic growth and development, natural resources, energy price, sampai pada isu the economics of terrorism dan the economic impact of casino gambling.
Kondisi ini menyentuh arti penting negara. W. Friedmann dalam buku klasiknya yang fenomenal The State and The Rule of Law in a Mixed Economy telah menjlentrehkan empat fungsi negara, yaitu: regulator, provider, entrepreneur dan wasit atas segala gesekan. Mencermati perkembangan negara dalam memerankan fungsi sebagai pembuat regulasi, mengontrol dan menyedia layanan serta memwirausahakan dirinya, tentu menyentuh batas demarkasi pesan agung UUD 1945. NKRI itu bukan sekadar pemerintah, tetapi negara dengan tata kelola yang wajib hadir dengan membuka ruang jabatan sesuai kompetensinya. Zaken Kabinet adalah pilihan tunggal yang seyogianya diambil Presiden meski harus berkelebat dalam “pelangi parpol”.
Penulis: Suparto Wijoyo
untuk menghubungi penulis bisa kontak ke email supartowijoyo@fh.unair.ac.id