Pakar Psikologi UNAIR: Psikoterapi Tak Jamin Sembuhkan Pedofilia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Persoalan kejahatan seksual pada anak patut diwaspadai bagi siapapun. Terutama pedofilia atau penderita pedofil. Sejatinya pedofilia adalah seseorang yang mengidap gangguan mental, di mana orang dewasa mengalami kepuasan seksual ketika berhubungan dengan anak di bawah umur atau pra-pubertas.

Pedofilia memandang seks dengan anak adalah hal yang bisa dilakukan. Padahal, hal itu bertentangan dengan norma sosial dan norma kesehatan yang berlaku di masyarakat.

Sebenarnya hal itu disebabkan karena ada ide yang salah dan diyakini sebagai gagasan yang benar. Ide yang salah itu disebut sebagai gangguan kognitif. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada perasaan dan perilaku seseorang.

“Kalo gagasan di kepala salah, maka perasaannya bisa salah, dan perilakunya juga bisa salah,” terang Margaretha, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc., selaku pakar psikologi Universitas Airlangga.

Pedofilia memiliki gagasan yang salah tentang seksualitas sehingga tumbuh ketertarikan seksual dengan anak. Seks dengan anak ya nggak papa, anak juga meninginkannya kok, seperti itulah kiranya pemikiran seorang pedofilia.

“Inilah yang perlu dikoreksi supaya mereka tahu dan mampu mengendalikan dirinya kelak,” imbuhnya.

Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (UNAIR) itu juga menuturkan bahwa pelaku kejahatan seksual pada anak, terutama yang telah banyak memakan korban, cenderung tidak bisa secara mandiri mengolah seksualitasnya. “Kalau mereka mampu, tentu saja tidak berada dalam masalah seperti ini,” ungkapnya.

Pedofilia tidak mempunyai kemampuan mengelola perilaku mereka ketika hasrat timbul. Mereka perlu memastikan agar perilaku seksualnya sehat dan sesuai dengan norma. “Seks itu adalah kebutuhan biologis mirip makan dan minum. Ketika hadir, kita tidak bisa menunda. Kalaupun menunda, pada titik tertentu harus terpenuhi,” tambahnya.

Umumnya, seseorang cenderung merasa bersalah apabila membuat kesalahan. Pada pedofilia, beberapa memang menunjukkan rasa bersalah, tapi beberapa lainnya tidak. Hal itu disebabkan cara berpikir yang salah sudah cukup kuat hingga dapat menyangkal luka.

Saat mengakui tindakannya, pelaku pedofil yang kurang rasa bersalahnya kerap menyalahkan korban dan memberikan alasan yang mereka yakini itu benar. ”Seperti saya nggak tau kalau masih dibawah umur atau suka sama suka kok. Itu sangat sering ditemukan pada pelaku kejahatan seksual terutama yang tidak merasa bersalah. Karena dia salah berpikirnya sangat tinggi,” ujar Retha.

Saat ini psikoterapi menjadi salah satu opsi penanganan bagi pedofilia. Namun, hal tersebut tidak menjadi jaminan untuk sembuh dan normal. Karena merubah suatu perilaku terutama perilaku seksual bukanlah hal yang mudah.Diperlukan waktu yang panjang bertahun-tahun lamanya.

“Tidak ada kepastian untuk sembuh. Tergantung orangnya ingin berubah atau tidak. Tapi beberapa negara mewajibkan pelaku kajahatan seksual mengikuti psikoterapi,” kata Margaretha.

Selain itu, diperlukan peran masyarakat sebagai agen kontrol sosial. Terutama ketika pelaku kejahatan seks terhadap anak kembali ke masyarakat.

“Karena kalau kita tidak membantu mereka mengendalikan seksualitasnya, yang bisa terjadi adalah jatuhnya korban-korban berikutnya. Karena dia belum selesai mengelolanya,” pungkasnya.

Menaggapi persoalan itu, Margaretha berpendapat bahwa anak-anak juga memiliki hak untuk lepas dari rasa takut. “Anak-anak juga punya hak untuk hidup bebas dari rasa takut kejahatan seksual dan lain-lain. Kalau kita mau menghargai hak hidup orang lain untuk mampu memiliki kemampuan reproduksi, maka hargai juga hak anak untuk lepas dari rasa takut,” tegasnya. (*)

Penulis: Erika Eight Novanty

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).