Penanganan Trombositopenia pada Pasien Sindroma Koroner Akut

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Trombositopenia. (Sumber: Jamu Walatra)

Sindroma koroner akut merupakan manifestasi klinis yang ditunjukkan dengan gejala nyeri dada iskemia miokard disertai dengan gambaran elektrokardiografis berupa peningkatan segmen ST dan peningkatan kardiak marker. Penanganan dini diperlukan melalui reperfusi koroner guna memperbaiki fungsi jantung.

Reperfusi koroner di antaranya dilakukan melalui pemberian obat trombolitik dan pelaksanaan pemasangan ring atau Percutaneous Coronary Intervention (PCI). Metode PCI diketahui lebih superior dibandingkan trombolitik karena menghasilkan patensi koroner yang lebih tahan lama, kekambuhan iskemia yang lebih jarang, angka pendarahan otak yang lebih renda, serta angka kematian yang lebih sedikit.

Pemilihan metode reperfusi koroner juga didasarkan dengan kondisi umum pasien. Pasien dengan penurunan jumlah zat pembekuan darah (trombositopenia), diketahui memiliki risiko pendarahan dan serangan jantung yang lebih tinggi. Hal ini perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan penggunaan terapi standar pada sindroma koroner akut. Terapi antiplatelet, antikoagulan dan trombolitik sebagai standar terapi SKA memiliki risiko pendarahan, yang dapat diperberat oleh keberadaan trombositopenia.

Penulis melaporkan seorang pasien pria berusia 52 tahun datang dengan keluhan nyeri dada tipikal satu jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasa muncul ketika pasien sedang mencuci mobil. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus, gastritis erosive dan sirosis hepatis.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, dari auskultasi bagian thorax didapatkan ekstrasistol serta ronki pada 1/3 basal paru Pemeriksaan lain dalam batas normal. Elektrokardiogram (EKG) menunjukkan irama sinus dengan infark miokard akut anteroseptal disertai episode ekstrasitol ventrikel bigemini. Dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan EKG, didapatkan diagnosa STEMI anteroseptal.

Pasien mendapat terapi awal oksigenasi, aspirin 300 mg, clopidogrel 600 mg, ISDN sublingual 5 mg. Selanjutnya pasien disiapkan untuk menjalani primary Percutaneous coronary intervention (PCI). Dari pemeriksaan hasil darah didapatkan trombositopenia 79.000/uL disertai peningkatan enzim jantung (CKMB 171 U / L, dan Troponin-I 0,096 ng / mL). Foto rontgen pasien menunjukkan adanya tanda kongesti paru disertai kardiomegali.

Selanjutnya dilakukan tindakan primary PCI dengan hasil angiografi menunjukkan adanya lesi difus dari proximal hingga distal arteri desendens anterior kiri dengan stenosis maksimal 95 pesen, stenosis 70 persen pada bagian distal arteri sirkumflex kiri serta adanya stenosis 80 persen pada bagian medial arteri coroner kanan. Setelah angiografi selesai, dilanjutkan dengan aspirasi trombus, tetapi tidak ada trombus yang diperoleh. Kemudian dilakukan pemasangan stent menggunakan stent DES Firebird II (Rapamycin) berukuran 3,0 x 18 mm pada LAD bagian proksimal. PCI dilakukan dengan hasil yang baik.

Setelah tindakan, tidak ada keluhan yang dirasakan oleh pasien, pemeriksaan fisik menunjukkan adanya rhonchi basah pada basal paru bilateral yang kemudian diberi furosemide bolus diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/jam secara intravena. Pasien mendapatkan terapi regimen antiplatelet, statin, diuretik serta anti remodelling. Pasien dikonsulkan kepada departemen ilmu penyakit dalam terkait riwayat sirosis hepatis, gastritis erosiva serta adanya kelainan hasil darah berupa trombositopeni dan hipoalbumin.

Kesimpulan diagnosis dari penyakit dalam, yaitu sirosis hati, varises esofagus tingkat I-II, dan diabetes mellitus terkontrol. Pasien mendapat tambahan terapi omeprazole, lactulose dan sucralfat serta mendapat diet khusus H1. Selama perawatan di rumah sakit, pasien tidak memiliki keluhan nyeri dada, sesak, atau jantung berdebar. Pasien juga tidak mengalami pendarahan. Pasien dipulangkan dengan dengan terapi Aspirin, Clopidogrel, isosorbid dinitrat, bisoprolol, capropril, furosemide beserta lansoprazole.

Melalui studi kasus tersebut diketahui sirosis hepatis merupakan predisposisi trombositopenia pada pasien. Hal ini diakibatkan oleh penurunan pembentukan trombosit dan penekanan sumsum tulang belakang diakibatkan oleh infeksi hepatitis. Studi pendahulu menunjukkan pasien trombositopenia yang menjalani terapi PCI menunjukkan waktu perawatan yang lebih lama, memiliki angka kematian yang lebih tinggi, serta memiliki risiko pendarahan yang lebih tinggi.

Penggunaan antiplatelet aspirin nyatanya menunjukkan peningkatan angka survival pada pasien SKA, baik pada kelompok trombositopenia atau normal. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa penggunaan aspirin tidak terkait dengan peningkatan angka pendarahan. Bila pendarahan masif terjadi, penggunaan antiplatelet dapat dihentikan dan transfusi trombosit konsentrat (TC) perlu dipertimbangkan.

Penggunaan antiplatelet setelah implantasi PCI dilakukan setidaknya hingga 6 bulan setelah tindakan. Pasien dengan risiko pendarahan yang tinggi merupakan indikasi pemilihan jenis wire yang tepat. Penggunaan wire Drug-eluting Stent (DES) direkomendasikan pada pasien SKA dengan risiko pendarahan tinggi, yaitu yang tidak dapat menggunakan obat dual antiplatelet dalam kurun waktu 1 tahun. Penggunaan dual antiplatelet pada DES setidaknya diberikan hanya dalam waktu 1 bulan, karena tingkat penyumbatan ulang yang dapat terjadi pada 15-30 hari post implantasi DES. (*)

Penulis : Yudi Her Oktaviono

Informasi detail dari case report ini dapat dilihat pada tulisan kami dihttps://e-journal.unair.ac.id/FMI/article/view/12562

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).