Mengenal Tradisi Kalili Siompu Barat, Sulawesi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Salah satu ritual dari prosesi Kalili, suami dan istri saling menempelkan kepala di dalam rumah. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Satu bulan lalu, tepatnya pada 26 Juli hingga 23 Agutus 2019, tim Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) Universitas Airlangga (UNAIR) 2019 terjun melakukan pengabdian di salah satu kepulauan yang kental akan adat dan kebudayaannya. Menjalankan tugas Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia untuk melakukan pengabdian dan pemberdayaan masyarakat, ENJ UNAIR memilih Siompu Barat, Sulawesi Utara, sebagai tempat mengabdi.

Salah satu pulau yang apik dengan kekayaan budayanya. Pulau Siompu, merupakan salah satu pulau kecil di kepulauan Buton Selatan yang memiliki penduduk berjumlah seitar 12.000 jiwa. Pulau dengan pemukiman yang dikelilingi oleh hamparan laut lepas yang sangat indah, sering kali ditinggalkan oleh penghuninya untuk pergi merantau.

Wa Firly, salah seorang warga Desa Watuampara mengatakan, Siompu Barat memiliki dua tradisi adat yang terkenal dalam daerahnya, yakni Tari Linda dan Tradisi Kalili. Tari Linda merupakan upacara adat yang dilaksanakan tiga tahun sekali. Namun, tradisi ini sudah semakin pudar. Tradisi Kalili masih aktif dilaksanakan hingga saat ini.

“Kita ada Tari Linda sama tradisi Kalili. Tapi yang Kalili sudah jarang sekali karena tidak banyak yang belajar. Kalau tradisi Kalili, kami masih sering lakukan,” kata Wa Firly.

Tradisi Kalili

Tradisi Kalili merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh pasangan suami istri baru menikah dengan maksud ingin memiliki keturunan. Pada tradisi itu, sang suami diharuskan menggendong bayi berumur di bawah lima tahun (balita) dan mengelilingi rumah sebanyak tujuh kali bolak-balik. Ritual itu dilakukan bersama beberapa pengikut atau pendamping yang ditugaskan. Pengikut berjumlah sekitar 13 orang yang sudah menikah, serta sudah pernah melakukan tradisi Kalili sebelumnya.

“Tradisi ini buat orang yang sudah menikah lalu ingin punya keturunan. Si suami keliling rumah tujuh kali sambil bawa bayi itu,” ucap Wa Firly.

Tradisi dipimpin oleh seorang bi’sa, semacam dukun atau orang yang dituakan. Terdapat dua orang bi’sa yang ditugaskan, satu berada di dalam rumah dan satu lagi ikut berkeliling rumah. Setelah itu, suami dan istri saling menempelkan kepala keduanya. Lalu, suami menyerahkan anak kepada istri, dengan maksud supaya sang istri sebagai ibu rumah tangga dapat bertanggung jawab dalam menjaga anak.

Kemudian, keduanya diharuskan mengambil salah satu barang di dalam priuk. Barang tersebut yaitu kelapa yang dibakar, ketupat berbentuk kubus, dan ketupat berbentuk lonjong. Dipercaya, jika pasangan mengambil ketupat kubus, maka akan mendapatkan anak yang baik, ramah, dan murah hati.

Sebaliknya jika pasangan mengambil ketupat lonjong, maka akan mendapatkan anak yang posesif. Dan jika pasangan mengambil kelapa yang dibakar lalu apinya menyala, maka akan mendapatkan anak yang mudah marah.

“Ada barang-barang yang harus disiapin, ada yang ditaruh dalam rumah, juga ada yang di luar untuk berkeliling. Semua barang punya artinya masing-masing,” ungkap Wa Firly.

Ketika berkeliling diharuskan menyiapkan barang, seperti parang yang dibawa suami, mangkok, gambi, kayu panggul berisikan kaku’ba dari kulit kayu, sarung atau jarik empat buah, talkum atau mukena. Jika tidak ada mukena, bisa menggunakan sarung berwarna putih. Selain itu, juga menyiapkan ayam betina dan kelapa tua. Tradisi itu dilakukan dengan menggunakan baju adat po’do dan sarungnya le’da.

Prosesi mengeliling rumah pada tradisi Kalili yang dilaksanakan di Desa Watuampara, Kecamatan Siompu Barat, Sulawesi Utara. (Foto: Istimewa)

Hingga kini tradisi Kalili masih dengan aktif dilaksanakan. Sebab, masyarakat percaya jika tidak melaksanakan, maka akan berdampak buruk bagi anaknya kelak, yakni akan mendapatkan anak yang cacat dan sakit-sakitan. Namun dalam catatan, tradisi ini wajib dilaksanakan oleh masyarakat yang mampu. Baik mampu secara material maupun finansial.

“Tradisi ini masih aktif dilaksanakan, karena orang sini punya keyakinan kalau tidak menjalankan akan kena keburukan, apalagi bagi si anaknya. Tapi Kalili wajib dilaksanakan bagi yang mampu, karena biaya hajatannya nggak murah,” ujar Wa Firly.

Setelah prosesi adat tradisi Kalili, semua undangan diberikan suguhan berupa makanan oleh tuan rumah. Namun bedanya, tuan rumah memberikan suguhan makanan kepada pendamping suami ketika berkeliling rumah, menunya berbeda dengan pengunjung lainnya. Menu makanan pendambing tersebut yakni nasi berbentuk kerucut penuh seukuran piring standar yang didampingi lauk ayam dan beberapa sayur. (*)

Penulis : Ulfah Mu’amarotul Hikmah

Editor : Binti Q Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).