Ada Penyakit Kulit Merah Langka Mirip Jamur di Badan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Erythema annulare centrifugum (EAC) adalah penyakit kulit langka yang ditandai oleh plakat merah bentuk bulat dan keunguan yang biasa muncul di paha dan kaki tanpa penyebab yang jelas. Erythema annulare centrifugum memiliki gambaran klinis yang mirip dengan infeksi tinea korporis (jamur pada badan) namun sangat berbeda dalam hal terapi.

Erythema annulare centrifugum biasanya asimpomatik (tanpa gejala) atau terdapat rasa gatal yang lamanya bervariasi di paha dan kaki, lebih sering dialami oleh wanita dan usianya bervariasi mulai dari 16 hingga 83 tahun namun rata-rata pada usia 49 tahun. Erythema annulare centrifugum merupakan bercak dengan lesi plakat  merah berbentuk bulat kadang mirip seperti biduran dan meluas secara sentrifungal (dari tengah badan kearah luar) dan seperti menyembuh (kulit normal) pada bagian tengah plak. Di negara barat, biasanya lesi mulai muncul saat musim semi hingga musim panas dan bertahan selama 15 hari sampai 5 bulan kemudian hilang dengan sendirinya pada musim dingin atau musim gugur.

Terdapat dua macam EAC, yaitu tipe EAC yang hanya dipermukaan dan dalam. Pada EAC yang dalam proses inflamasi (peradangan) melibatkan kulit lapisan tengah, sedangkan pada lesi permukaan tidak. Namun, keduanya memiliki gambaran histologi yang mirip, yaitu mempunyai sebukan sel radang sekitar pembuluh darah.

Bagian tubuh yang paling sering terkena EAC, utamanya yaitu badan dan kaki bagian atas, khususnya di pantat dan panggul. Proses terjadinya EAC ini tidak diketahui dengan pasti, namun diduga terdapat reaksi hipersensitivitas (reaksi yang berlebihan) terhadap stimulus (rangsangan) dari dalam dan luar.

Erythema annulare centrifugum sering dikaitkan dengan beberapa penyakit infeksi baik karena bakteri, virus, mycobacteria, dan parasit; gangguan hormon misalnya siklus menstruasi, hipotiroid, beberapa makanan dan minuman misalnya salisilat, obat antimalaria, simetidin, amitriptilin, atizolam, dan gold sodium thiomalate; serta beberapa keganasan dapat menyebabkan EAC. Selain itu, mungkin faktor lingkungan berpengaruh misalnya suhu, tanaman musim, dan jamur yang menyebabkan EAC muncul pada musim tertentu. Akan tetapi sebagian besar EAC tidak ditemukan faktor penyebab yang jelas (EAC idiopatik).

Pengobatan EAC berfokus pada gejala klinis yang menyertai. Baik EAC permukaan maupun yang dalamkeduanya dapat diterapi dengan kortikosteroid baik sistemik maupun topikal. Pada keadaan tertentu, misalnya, terjadi gatal-gatal mungkin dibutuhkan antihistamin sistemik.

Erythema annulare centrifugum ini memiliki gejala yang hampir mirip dengan tinea korporis (jamur pada badan). Tinea korporis merupakan suatu infeksi jamur dermatofita yang menyerang kulit tidak berambut dan memberi gambaran lesi merah karena peradangan berbentuk seperti bercak merah bulat yang tepinya meninggi. Namun, EAC dan tinea korporis memiliki strategi terapi yang sangat berbeda.

Seorang wanita 52 tahun yang datang ke RSUD Dr. Soetomo dengan keluhan terdapat bercak merah di kedua kakinya dan perut sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya seperti luka gigitan serangga di perutnya, namun dengan cepat menyebar ke kaki dan disertai dengan gatal. Pasien ini tidak pernah mengelur nyeri dan rasa terbakar di ruamnya tersebut. Pasien diberikan metilprednison, mebhidrolin, dan natrium fusidat, tapi ruamnya tidak hilang. Pasien juga mengeluh sakit gigi sejak 3 bulan yang lalu.

Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan terdapat plakat merah dengan ukuran yang bervariasi. Awalnya berupa bintik merah kecil yang bersatu menjadi plakat bulat dengan bagian tengah yangtampak menyembuh dan menyebar ke area tangan dan kaki dan pasien mengeluh gatal dibagian ruamnya. Hasil laboratorium semuanya dalam batas normal serta tidak ditemukan adanya infeksi jamur dalam pemeriksaan mikroskopis.

Kemudian pasien diterapi dengan deksametason 1 mg 3 kali sehari dan cetirizin 10 mg 2 kali sehari. Satu minggu kemudian pasien masih mengeluh gatal dan ruam. Namun, ketika coba diberikan ketokonazole, pasien malah merasa gatal dan terasa terbakar. Akhirnya deksametason diteruskan dan ketokonazole diberhentikan. Lalu dilakukan biopsi kulit dan hasil pemeriksaan histologinya menunjukkan epidermis dengan spongiosis serta adanya infiltrasi histiosit di dermis dan sebukan sel radang dan eosinophil infiltrasi di sekitar pembuluh darah.

Berdasar klinis dan hasil histopatologi serta didukung dengan adanya lesi yang berulang maka pasien ini didiagnosis dengan EAC. Setelah 3 bulan ruamnya hilang dengan sendirinya. Faktor penyebab terjadinya EAC pada pasien ini diduga dari infeksi pada giginya. Ketika infeksi giginya diobati, pasien lebih merespon akan pengobatan kortikosteroid yang diberikan.

Prognosis (perjalanan penyakit) pasien EAC cukup baik, namun menjadi buruk apabila EAC dikaitkan dengan keganasan dan penyakit sistemik lain. Terkadang EAC muncul sebelum, bersamaan, atau sesudah munculnya keganasan. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemeriksaan fisik dan diagnosis yang tepat sehingga pengobatan dapat diberikan secara efektif. (*)

Penulis: dr.Rahmadewi,Sp.KK

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/12392

Erythema Annulare Centrifugum Mimicking Tinea Corporis: A Case Report

Rahmadewi, Riyana Noor Oktaviyanti

Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga / Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesia

http://dx.doi.org/10.20473/bikkk.V31.1.2019.79-83

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).