Pakar Psikologi UNAIR: Kebiri Kimia Belum Cukup Selesaikan Kejahatan Seks

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Belakangan ini persoalan kejahatan seksual pada anak di Indonesia tengah menjadi perbincangan publik. Seakan tidak jera, tak sedikit para pelaku kejahatan seksual yang kerap mengulangi tindakan keji tersebut.

Jika sudah begitu, hukuman penjara dirasa belum bisa memberikan efek jera bagi pelaku. Menanggapi hal tersebut, pemerintah lantas menetapkan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual. Pelaksanaan hukuman kebiri kimia itu menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak.

Margaretha, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc. menilai bahwa hukuman kebiri kimia belum cukup menyelesiakan persoalan kejahatan seksual. “Perlu dipahami, hukuman maksimum, baik seumur hidup maupun kebiri kimia itu belum cukup menyelesaikan persoalan yang dimiliki oleh pelaku. Karena, dasar perilaku kejahatan seks itu adalah penyimpangan seks,” ujar Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (UNAIR) itu.

Dalam wawancara dengan tim UNAIR News Jumat, (30/8/2019), Margaretha atau yang biasa disapa Retha itu berpendapat bahwa pelaku kejahatan seksual tetap berisiko mengulangi perbuatannya. Meski, sudah mengalami hukuman maksimal atau dikebiri kimia. Hal itu sangat mungkin terjadi karena ada ide (pemikiran) yang salah diyakini benar oleh pelaku.

“Istilahnya belum sembuh benar”, kata Retha.

“Kalau hal tersebut tidak dapat diatasi, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku ini tidak efektif untuk menyelesaikan masalah,” imbuh dia.

Maka, lanjut dia, yang perlu dibenahi adalah cara berpikirnya. Dampak obat kimia yang diberikan dalam menurunkan libido (gairah seksual) pelaku hanya berfungsi selama zat itu bekerja. Setelah zat itu tidak lagi dikonsumsi dan cara berpikir pelaku masih sama, bukan tidak mungkin pelaku akan kembali menjadi predator anak lagi.

“Ini masalah besar bagi indonesia. Kita jangan cuma bikin bom atau menunda bom untuk meledak. Kita perlu menyiapkan langkah-langkah,” tegas Retha.

Hukuman badan seperti kurungan penjara saja dinilai masih kurang untuk mengatasi persoalan kejahatan seks. Seharusnya, lanjut dia, ada psikoterapi yang mendalam dan intensif untuk mengkoreksi cara berpikir pelaku yang salah.

Pelaku kejahatan seks pada anak atau disebut dengan pedofilia pada dasarnya mempunyai gangguan pemikiran. Persoalan kejahatan seks tidak lagi dapat dianggap hal yang remeh.

“Kalau pelaku kejahatan selesai pidananya, selesai mendapatkan hukuman kebiri kimia, lalu pindah ke tempat lain. Kalau masalahnya belum terkoreksi, dia bisa mencari lagi tempat bekerja dengan anak,” jelasnya.

Terkait hal itu, setiap orang mempunyai hak untuk bebas dari ancaman bahaya. Bukan soal membuat diskriminasi atau berniat merugikan pelaku, tapi juga untuk perlindungan. Karena itu, masyarakat juga perlu tahu nama orang-orang yang beresiko menjadi predator seks anak, terutama di lingkungannya. Tujuannya agar masyarakat dapat mengantisipasi dan menentukan sikap serta perilaku.

“Dari sini, sedapatnya komunitas tahu, siapa orangnya. Hal ini harus didukung dengan sistem pencatatan yang baik,” lanjut dia.

Menurut Retha, Indonesia perlu memberikan hukuman maksimal kepada pelaku kejahatan seks. Bisa bentuknya adalah putusan maksimal, hukuman seumur hidup dan juga dengan kebiri kimia.

“Saya setuju capital punishment pada seluruh kejahatan seksual. Termasuk hukuman maksimum, hukuman seumur hidup untuk kejahatan yang sangat parah sekali dan kebiri kimia,” tandasnya menutup wawancara. (*)

Penulis: Erika Eight Novanty

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).