Upaya Pencegahan Presbikusis Melalui Peranan Reactive Oxygen Species (ROS)

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Presbikusis adalah hilangnya pendengaran dikarenakan proses degenerasi pada penderita di atas usia 65 tahun. Gangguan ini ditandai oleh penurunan sensitivitas pendengaran pada kedua telinga.

Faktor resiko presbikusis meliputi genetik, proses penuaan, penyakit degeneratif, dan lingkungan. Faktor genetik yang diturunkan untuk penurunan pendengaran sebanyak 35-55 persen dan gen yang diketahui terkait dengan stress oksidatif karena ROS dan aterosklerosis adalah GSTT1 dan GSTM1. Penyakit degeneratif yang dipercaya meningkatkan resiko presbikusis adalah pernyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, dan penyakit ginjal kronis.

Faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan pembentukan reactive oxygen species (ROS) yang dapat mengakibatkan stress oksidatif pada koklea. Stres oksidatif menyebabkan mutasi mitokondria DNA serta merusak membrane sel dan asam nukleat.

Kerusakan tersebut memicu apoptosis. Apabila mengenai komponen sel stria, sel rambut luar, dan neuron pada ganglia spiral dapat menyebabkan disfungsi koklea yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran. Pemeriksaan audiogram pada pasien dengan disfungsi koklea menunjukkan peningkatan ambang dengar dan bersifat simetris.

Meningkatnya angka kejadian presbikusis seiring bertambahnya usia menandakan perlu dilakukannya usaha pencegahan untuk menurunkan prevalensi presbikusis pada kemudian hari. Langkah pencegahan seperti pembatasan asupan kalori, suplementasi magnesium, dan pemberian antioksidan dipercaya dapat menurunkan angka kejadian antioksidan. Pemberian antioksidan pada beberapa studi menunjukkan hasil paling signifikan dalam pencegahan presbikusis.

Usaha pencegahan dengan menghindari faktor resiko presbikusis sangat perlu dilakukan untuk menurunkan angka kejadian presbikusis pada kemudian hari. Namun, patogenesis presbikusis hingga saat ini masih belum jelas.

Reactive oxygen species (ROS) diduga mempunyai peran penting pada pathogenesis presbikusis. Akan tetapi, pengetahuan mengenai peranan ROS dalam pathogenesis presbikusi masih kurang diketahui.

Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THTKL(K), FICS dan tim melakukan penelitian untuk mencari tahu lebih lanjut peranan ROS dalam pathogenesis presbikusis. Sehingga dilakukan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan di Unit Rawat Jalan Divisi Neurotology, Klinik Geriatri, Instalasi Patologi Klinik, dan Instalasi Biomaterial Jaringan Bank RSUD Dr Soetomo Surabaya.

Penelitian ini melibatkan 50 subyek penderita presbikusis. Didapatkan hasil mayoritas usia penderita adalah 70–74 tahun sebanyak 22 pasien dan mayoritas jenis kelamin adalah perempuan sebanyak 30 pasien dari total 50 pasien. Keluhan paling banyak ditemukan pada 36 pasien adalah penurunan pendengaran, diikuti dengan 17 pasien mengeluh sulit untuk mengerti, dan telinga berbunyi pada 10 pasien.

Peneliti juga mencari faktor resiko pada pasien. Ditemukan mayoritas pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan keluhan serupa. Penyakit degenerative dimiliki oleh 36 pasien dengan penyakit tertinggi berupa hipertensi dan diikuti diabetes mellitus.

Setelah dilakukan pengukuran kadar ROS dalam plasma dan serangkaian pemeriksaan terkait, ditemukan adanya korelasi antara kadar ROS dalam plasma dan ambang batas pendengaran pada penderita presbikusis dengan pola hubungan bersifat positif-sedang yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi kadar ROS dalam plasma, semakin tinggi ambang batas pendengaran.

Penelitian ini menegaskan presumsi korelasi antara kadar ROS dalam plasma dan ambang pendengaran pada pasien presbikusis. Namun, keterbatasan penelitian tersebut disebabkan oleh variable antara yang dapat memengaruhi kadar ROS dalam plasma seperti proses inflamasi, riwayat penggunaan antioksidan, dan penyakit komorbid yang terkontrol.

Pengukuran kadar ROS dalam plasma tetap dilakukan karena pengukuran kadar ROS pada koklea belum memungkinkan. Teknik spectrophotometri juga menjadi sebuah kekurangan dari penelitian tersebut karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas daripada luminometri.

Hasil studi Nyilo dan tim mengenai adanya hubungan antara kadar ROS dalam plasma dengan nilai ambang dengar pada penderita presbikusis dengan pola hubungan bersifat positif-sedang yang signifikan. Menurutnya, semakin tinggi kadar ROS dalam plasma, semakin tinggi nilai ambang dengar ke depannya. Temuan tersebut akan memperkuat peranan ROS pada patogenesis penurunan pendengaran yang dikarenakan disfungsi koklea pada penderita presbikusis.

Sejalan dengan hasil studi sebelumnya, Nyilo dan tim percaya temuannya dapat mendukung upaya pencegahan presbikusis dengan menghindari faktor resiko yang dapat memicu produksi ROS. Selain itu upaya advokasi untuk meningkatkan pemberian antioksidan juga perlu dilakukan untuk menurunkan angka kejadian presbikusis, untuk pendengaran di masa tua yang lebih baik. (*)

Penulis: Zahra Safithry Irawan

Untuk mengakses informasi lengkap terkait dengan artikel ini dapat lihat di linkhttp://orli.or.id/index.php/orli/article/view/291

Jurnal: The Correlation Between Plasma Reactive Oxygen Species and Hearing Threshold Levels in Presbycusis Patients

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).