Alternatif Tangani Air Limbah Pabrik Tahu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Newswantara.com

Pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia menuntut ketahanan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk. Salah satunya yaitu meningkatnya kebutuhan kedelai. Berdasarkan informasi dari  http://www.kemenperin.go.id, Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Euis Saedah menjelaskan bahwa saat ini ada sekitar 11.500 produsen tahu dan tempe di Indonesia. Kebutuhan kedelai dari produksi tahu dan tempe berkisar 50-100 kg per hari. Produksi tahu dan tempe yang begitu tinggi tersebut juga memerlukan pengelolaan hasil samping industri. Aktifitas industri tahu dan tempe menghasilkan limbah padat dan cair. Pada umumnya, limbah padat digunakan sebagai pakan ternak. Sedangkan air limbah yang dihasilkan dari industri perlu dikelola agar aman saat dibuang.

Air limbah industri tahu ataupun tempe yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Salah satunya dampak bau dan eutrofikasi badan air penerima air limbah. Air limbah industri tahu mengandung protein tinggi sehingga kandungan nitrogen dan fosfat tinggi pada air limbah dapat berdampak pada aroma yang tidak sedap dan eutrofikasi. Gubernur Provinsi Jawa Timur sudah membuat peraturan yang menentukan baku mutu untuk air limbah industri kedelai di area Jawa Timuryangtertera dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur No.72 Tahun 2013.

Adanya peraturan tentang baku mutu air limbah industri tahu/tempe, menjadikan tantangan bagi pihak industri untuk mengolah air limbah. Secara umum, industri tahu dan tempe memiliki kesamaan dalam operasional industri. Industri tahu pada umumnya beroperasi sekitar 8 jam untuk memproduksi tahu, setelah itu berhenti beroperasi dan dilanjutkan di hari berikutnya. Ritme operasi industri seperti ini membutuhkan pengolahan air limbah yang sederhana dan sesuai dengan jam operasi. Sequencing Batch Reactor (SBR) merupakan pengolahan air limbah sederhana yang dioperasikan dengan system tertutup dan terdiri atas beberapa tahap. Ada 4 tahapan dalam pengolahan ini yaitu tahapan pengisian air limbah ke unit pengolahan (fill), tahapan pengolahan (react) di dalam unit pengolahan, tahapan pengendapan (settle), tahapan pengeluaran sebagian air limbah (draw), dan tahapan diam atau tidak diberlakukan apa-apa (idle). Setelah tahapan terakhir, maka selanjutnya dapat dilakukan tahapan awal yaitu tahapan fill. Proses react dilanjutkan dengan penambahan asupan oksigen untuk memaksimalkan proses pengolahan air limbah.

SBR merupakan pengolahan air limbah secara biologis khususnya menggunakan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme ini bekerja sebagai agen penyisih beban organik yang ada di air limbah. Kunci utama dalam proses SBR ini ada pada start up SBR dengan pemilihan bibit mikroorganisme berupa lumpur yang dapat optimal mengolah air limbah dengan proses biologis. Lumpur dari endapan limbah tahu dapat digunakan dengan mengolah air limbah. Endapan berupa lumpur tersebut ditambahkan pada awal proses SBR. Mikroorganisme di lumpur akan menggunakan bahan organik di air limbah untuk metabolisme mikroorganisme sendiri.

Proses pengolahan air limbah ini dapat menyisihkan beban organik di air limbah tahu yang ditunjukkan dengan nilai penurunan Chemical Oxygen Demand (COD) hingga 90% begitu juga dengan nilai Total Suspended Solid (TSS) turun hingga 90%. Nilai akhir dari olahan SBR ini adalah COD sebesar 500 mg/l dan TSS menjadi 175 mg/l. Jika dibandingkan dengan baku mutu Pergub Jatim No. 72 Tahun 2013, baku mutu yang ditetapkan adalah nilai COD sebesar 300 mg/l dan TSS sebesar 100 mg/l. Meski perlu pengolahan lebih lanjut agar luaran pengolahan air limbah dapat sesuai baku mutu. Pengolahan lanjutan yang disarankan dapat menggunakan bantuan tanaman air untuk menurunkan COD dan TSS.

Kelebihan dari teknologi SBR adalah fleksibilitasnya menjadi beberapa proses di satu wadah sehingga tidak membutuhkan tempat yang luas. Keempat tahapan SBR dilakukan dalam satu wadah dengan sistem yang tidak berkelanjutan. Sehingga saat pabrik tahu berhenti operasionalnya, maka dapat digunakan untuk proses SBR sedangkan saat akan beroperasi pabrik tahunya, air limbah yang sudah terolah tersebut dapat dilanjutkan ke tahapan  pengolahan kedua. Anggarannyapun untuk pengolahan SBR ini lebih murah, karena investasi untuk membangun unit pengolahannya hanya satu. Hal ini sesuai untuk industri UKM seperti pabrik tahu maupun tempe. Kelemahan dari unit ini adalah kurang sesuai untuk industri berskala besar.

Penulis : Nur Indradewi Oktavitri, S.T., M.T.

Artikel ilmiah populer ini disarikan dari artikel yang dipublikasikan di

https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/259/1/012017

Nimash Miftahul Sakinah; Lintang Tubagus Rahmatullah, Eko Prasetyo Kuncoro dan Nur Indradewi Oktavitri. 2019. Performance of sequencing batch reactor (SBR) of treated tofu wastewater: Variation of contact time and activated sludge sources. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, volume 259 012017.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).