Identifikasi Personal Berbasis DNA Forensik pada Saudara Kandung, Mungkinkah?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh lestimes com

Indonesia, negara multietnis terbesar di dunia, yakni kurang lebih 1.340 suku bangsa, memiliki kerentanan terhadap kejadian bencana massal (mass disaster), yang semakin hari semakin meningkat jumlah maupun kualitasnya. Bencana alam seperti aktivitas gempa yang semakin meningkat, yang terkadang disertai tsunami atau bencana non alam seperti halnya kecelakaan pesawat terbang, kapal laut maupun terkait dengan aktivitas terorisme, membuat pihak berwenang Indonesia harus mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi, terutama yang terkait dengan kesulitan dalam proses identifikasi personal, baik pada korban maupun pelaku tindak kejahatan.

Seperti diketahui proses identifikasi personal menurut interpol, dibagi menjadi 2, yakni primary identification dan secondary identification. Yang termasuk primary identification adalah identifikasi berdasarkan pada:1. sidik jari atau fingerprint;2. Dental identification 3. DNA fingerprinting. Adapun secondary identification meliputi property, maupun tanda-tanda khusus dari korban ataupun pelaku.

Terkait dengan DNA fingerprinting ini, FBI telah memiliki standar pemeriksaan DNA tersendiri, dimana Polri juga menggunakan standar yang sama dengan FBI, sebagai teknik identifikasi berbasis DNA. Standar FBI ini dikenal dengan istilah CODIS atau Combined DNA Index System, dengan menggunakan metode STR (Short Tandem Repeat). Pada awalnya FBI merilis 13 lokus yang direkomendasikan dalam proses identififikasi individu, yakni di tahun 1997. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pada tahun 2017 FBI kemudian meningkatkannya menjadi 20 lokus yang direkomendasikan untuk identifikasi individu hingga sekarang.

Pengertian STR itu sendiri adalah fragmen DNA yang pendek dan memiliki pengulangan yang unik sehingga bisa membedakan antar individu satu dengan yang lainnya atau yang disebut dengan Lokus. Lokus STR ini terdapat dalam DNA inti dan diturunkan dari kedua orang tua.

Metode identifikasi menggunakan DNA sangat di perlukan karena memiliki tingkat keakuratan yang sangat tinggi dan spesifik dari setiap individu. Selain itu pada studi populasi, variasi genetik menggunakan profil DNA juga diperlukan untuk mengetahui asal muasal suatu suku yang berhubungan dengan genetic drift maupun genetic flow.

Pada kenyataannya tidak jarang proses identifikasi personal ini mengalami beberapa kendala, seperti halnya ketiadaan informasi genetik yang berasal dari orang tua individu yang diidentifikasi. Kondisi seperti ini biasanya ditemukan pada individu yang yang menjadi korban dalam peperangan atau bencana massal, di mana orang tua menjadi korban pada bencana yang sama dan tidak ditemukan, atau orang tua sudah mennggal terlebih dahulu. Keterbatasan informasi ini dapat diatasi, salah satunya melalui analisis DNA dengan menggunakan saudara kandung sebagai komparasi, yakni analisis pola kekerabatan antar saudara kandung, yang dilihat dari kesamaan  genetik yang diturunkan dari kedua orang tua

Penelitian tentang komparasi DNA fingerprinting antar saudara kandung pada suku-suku bangsa di Indonesia, memang belum banyak dilakukan di Indonesia. Hanya sedikit penelitian yang mengangkat variasi genetik untuk kepentingan identifikasi forensik ini. Salah satu penelitian tersebut adalah yang dilakukan oleh Sosiawan dkk(2019). Penelitian yang telah dipublikasikan di Egyptian Journal of Forensic Sciences ini telah mengidentifikasi pola pembagian alel antar saudara kandung pada suku Madura yang diturunkan oleh kedua orang tua mereka, menggunakan 12 lokus STR dan mengidentifikasi jenis kelamin dengan gen Amelogeninantar saudara kandung. Hasil penelitian ini menunjukkan ada 7 lokus STR memiliki 2 allele sharing antar saudara kandung, yakni lokus FES, F13, D8S1179, CSF1PO, D16S539, D7S820 dan THO1.

Hal ini menunjukkan bahwa Suku Madura mempunyai lokus STR tertentu yang bersifat spesifik. Hasil penelitian ini juga menunjukkan rata-rata lokus yang diperoleh dari pemeriksaan DNA fingerprinting pada suku madura ini adalah sebesar 10.52 lokus  dari 12 lokus yang diperiksa. Hal ini berarti prosentase frequensi yang ada pada pemeriksaan sibling kinship ini adalah sebesar 87.33%. prosentase ini masih di bawah standar pemeriksaan DNA berbasis full sibling examination yang ditetapkan oleh USCIS (US Citizenship and Immigration Services)(2018), sebesar 90%.

Meski demikian standar USCIS ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengekslusi hasildari full sibling DNA examination. Sehingga USCIS tetap menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan DNA dengan lokus lainnya. Rekomendasi ini senada dengan yang disampaikan oleh LU et al(2012), di mana untuk untuk menghasilkan identifikasi personal yang lebih akurat dengan tingkat diskrimininasi yang tinggi, yakni dengan menambahkan jumlah lokus yang ada seperti halnya 24 lokus.

Penulis: Agung Sosiawan

Informasi lebih detil mengenai tulisan tersebut dapat dilihat dalam link berikut:

https://ejfs.springeropen.com/track/pdf/10.1186/s41935-019-0143-5

Artikel Ilmiah populer berasal dari judul :
“Full-sibling allelic frequency and sharing among Madurese: STR technique by 12 locus and the sex-typing amelogenin gene Egyptian Journal of Forensic Sciences, Springer Open Access“
Agung Sosiawan, Ahmad Yudianto, Abdul Hadi Furqoni, Simon Martin Manyanza Nzilibiliand Indah Nuraini

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).