Cerita Febro, dari Junior Reporter Beralih ke Independent Investigative Journalist

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Delapan belas tahun lalu, mungkin tidak terbersit dalam benak Febro untuk malang melintang di bidang jurnalisme investigasi. Butuh keberanian ekstra guna melakukan penyelidikan, terutama terkait persoalan kriminal atau isu yang dinilai berseberangan oleh masyarakat pada umumnya, kemudian meramunya dalam bentuk berita. Tak jarang, kritik, caci maki, hingga ancaman datang sebagai protes dari tulisan yang ia buat.

Setidaknya begitulah gambaran profesi yang sudah cukup lama ditekuni oleh perempuan pemilik nama lengkap Febriana ‘Febro’ Firdaus ini. Di kalangan pers, sepak terjang Febro sebagai seorang jurnalis investigasi tentu sudah tidak asing lagi. Beberapa tulisannya pun pernah dimuat di sejumlah portal berita lokal dan internasional. Saat ini dia juga aktif menulis untuk berbagai media seperti Time, New Naratif, Mongabay, sampai Al Jazeera.

Ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Febro banyak bercerita tentang perjalanan karirnya selama tiga belas tahun terakhir. Perkenalan Febro dengan jurnalisme bermula saat dirinya mengenyam pendidikan di jurusan Sosiologi, Universitas Airlangga, pada 2001. Ia kerap bergaul dan bertukar pikiran bersama kawan-kawan dari jurusan Ilmu Komunikasi UNAIR. Sehingga tahu sedikit demi sedikit mengenai jurnalisme.

”Awalnya sih, aku memang kepingin kerja di media gitu kan. Mungkin karena aku banyak temenan sama anak komunikasi. Lihat mereka kerja, aku juga mau, ya pergaulan sih. Dari dulu aku juga sudah suka baca berita. Terus aku coba-coba dan nggak dapat,” kata Febro.

Meskipun berasal dari disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya dengan ilmu komunikasi atau jurnalisme, tetapi Febro memiliki minat besar dalam hal menulis. Setelah lulus pada 2006, dia bergegas melamar pekerjaan ke beberapa media. Namun, perjalanan awal tentu tidak selalu memiliki hasil yang mulus. Setahun menjadi sarjana, nasib Febro belum jelas. Ketika kawan-kawannya telah diterima di suatu perusahaan, ia masih menganggur.

”Aku sendiri juga nggak punya dasar jurnalisme kampus. Apalagi, menang penghargaan kayak teman-teman. Jadi, tidak punya dasar. Tapi yang terpenting punya niat dan minat dulu. Akhirnya temanku tuh yang keterima duluan, dia kerja di ANTV, kerenlah. Terus aku nggak keterima. Mau jadi peneliti juga gak diterima,” ujar perempuan kelahiran Jember itu.

Keberuntungan mulai berpihak pada Febro setelah salah satu media di Surabaya, yakni Jawa Pos, membuka seleksi pada 2007. Kesempatan tersebut tidak ia sia-siakan. Meski hanya bertahan hingga tahap percobaan, Febro tak patah arang. Dia kemudian beranjak ke media lain seperti Femina, Kompas, dan Tempo. Berbagai ilmu diperolehnya, mulai dari menulis artikel, berita, feature, serta melakukan investigasi. Lima tahun berada di Tempo, ia sering mengekspos kasus kriminal, korupsi, skandal pajak juga persoalan imigran ilegal.

”Lalu, aku direkrut Rappler Indonesia tahun 2014. Itu kantor berita nomor satu di Filipina, sekaligus di Asia Tenggara. Di sana pertama kalinya aku nulis dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Pelajaran yang aku dapatkan bertambah, bukan hanya menulis, wawancara, atau investigasi tetapi bertemu dengan orang dengan latar belakang berbeda,” urainya.

Petualangan Febro dalam berburu berita membawanya bertemu dengan individu dari berbagai kalangan. Termasuk komunitas lesbian, gay, bixesual and transgender (LGBT), pengungsi rohingya, dan kelompok radikal. Bagi Febro, sangat menarik untuk memahami kondisi dalam sebuah kelompok masyarakat dengan heterogenitasnya masing-masing. Dia pun memegang teguh nilai-nilai universalis dan kode etik jurnalisme yang berlaku.

”Dalam kacamata jurnalis, kita harus bisa menilai sesuatu dari banyak sudut pandang. Tidak hanya berdasar agama seperti yang banyak terjadi sekarang. Kita berpikir untuk sesuatu yang lebih dari itu,” tutur Febro yang juga memiliki ketertarikan pada topik seputar hak asasi manusia, politik, masyarakat pekerja, isu perempuan, lingkungan, dan Papua ini.

Jam terbang Febro sebagai pewarta bisa dibilang cukup tinggi. Ia pernah berpartisipasi pada beberapa proyek penulisan. Di antaranya, yakni penulisan buku biografi Ernest Douwes Dekker, A Nation Inspired; Dari Beranda Tribunal; dan The International People’s Tribunal for 1965 and The Indonesian Genocide. Pada 2018, Febro pun terlibat dalam penulisan kisah Masyarakat Adat Mentawai menghadapi paksaan modernisasi.

”Waktu itu dapat tawaran untuk pergi ke Mentawai sekaligus membuat berita. Perjalanan yang melelahkan terbayar saat aku menyelami kehidupan di sana. Aku kayak hidup menjadi manusia merdeka seutuhnya. Tapi, aku sangat enjoy. Dari artikel ini aku berhasil memenangkan SOPA Awards 2019, di bulan Mei kemarin,” ungkapnya sembari tertawa.

FEBRIANA Firdaus dan rekannya saat melakukan liputan mengenai perempuan adat yang melawan korporasi guna mempertahankan tanahnya dari Jawa, Sulawesi, NTT, Aceh, hingga Papua hasil kolaborasi bersama The Gecko Project. (Foto: Istimewa)
FEBRIANA Firdaus dan rekannya saat melakukan liputan mengenai perempuan adat yang melawan korporasi guna mempertahankan tanahnya dari Jawa, Sulawesi, NTT, Aceh, hingga Papua hasil kolaborasi bersama The Gecko Project. (Foto: Istimewa)

Menurut Febro, sejak era Soekarno hingga saat ini, pemerintah berupaya melakukan modernisasi Suku Adat Mentawai untuk menganut agama Samawi. Padahal, penduduk di sana lebih memilih nomaden dan menyembah hutan. Pada masa Soeharto, mereka sempat mengalami tindakan represif. Hanya Gus Dur yang melarang kekerasan terhadap mereka. Kabarnya, pemerintah kini tengah menerbitkan izin penggunaan lahan di kawasan itu.

”Oh ya, aku juga punya semacam proyek pribadi dalam bentuk News Letter. Fokus penulisanku tentang Papua. Sejak dulu, kebebasan pers di sana terbatas. Jurnalis asing saja dilarang meliput tanpa pengawasan militer. Jadi, aku merasa punya tanggung jawab moral karena ingin menghubungkan Papua dengan komunitas internasional,” tegasnya.

Selama karirnya, Febro terinspirasi oleh banyak orang. Beberapa di antaranya ialah Dede Oetomo, dosennya semasa kuliah. Kemudian, Oktavianus Pogau, seorang jurnalis muda yang meninggal setelah melaporkan pelanggaran terhadap ratusan orang Papua dalam Kongres Papua III di Jayapura. Di mata Febro, Oktavianus Pogau merupakan sosok yang revolusioner dan hebat. Bahkan, sebuah yayasan mengabadikan namanya sebagai nama penghargaan yang diperuntukkan bagi para jurnalis pemberani, termasuk Febro.

”Selain kedua orang itu, aku sangat mengidolakan Ronan Farrow. Dia anak aktris Mia Farrow yang menulis kasus sexual harassment bos Hollywood. Fokus menulisnya ke politik luar negeri dan isu perempuan. Aku sangat respect, karena dia laki-laki tetapi menulis tentang perempuan. Belakangan, aku sepakat mengenai ini, karena aku lihat pembahasan perempuan masih susah masuk ke headline dan sering dianggap remeh,” terangnya.

Febro juga mengaku kagum dengan iklim jurnalisme di perguruan tinggi saat ini. Tak sedikit mahasiswa yang berani melakukan kritik apabila terjadi permasalahan. Apalagi di tengah maraknya persoalan mengenai pelecehan seksual di lingkungan kampus. Dia berpendapat bahwa menjadi jurnalis di kampus sama dengan jurnalis pada umumnya.

”Untuk menjadi jurnalis kita nggak boleh pilih-pilih. Harus berani, fokus, dan bukan melayani mayoritas. Aku sendiri tidak pernah takut jika dikritik secara substansi. Lalu, jangan mengejar karir, tapi berusahalah membuat tulisan yang baik. Walaupun hanya di media kampus, nggak apa-apa. Asal konsisten, karena ada waktunya naik level,” tandas Febro. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).