Sebelum Memutuskan untuk Menikah, Yuk Kenali Perkembangan Psikologis Anak Lebih Dulu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
IKA Yuniar Cahyanti, M.Psi., Psikolog bersama keluarga (Foto : Istimewa)

UNAIR NEWS – Akhir-akhir ini cukup banyak ditemui kampanye menikah muda baik di media sosial atau dikehidupan sehari – hari. Sehingga tidak aneh rasanya apabila para pemuda termasuk mahasiswa banyak yang terpengaruh untuk segera menikah muda.

Cukup disayangkan, antusias untuk menikah muda tersebut tidak diimbangi dengan kampanye parenting yang baik. Terlebih terkait bagaimana psikologis anak dan membangun karakter mereka. Untuk itu, pada artikel kali ini UNAIR NEWS akan membahas mengenai psikologis anak bersama Ika Yuniar Cahyanti, M.Psi., Psikolog. Salah satu dosen di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), pakar psikologi anak dan remaja.

Perkembangan anak dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti kognitif, motorik halus, motorik kasar. Secara psikologis, perkembangan anak mencakup emosi, bahasa dan lain sebagainya. Pada perkembangan emosi anak. Setidaknya terdapat dua periode yang akan dilalui. Yaitu periode membutuhkan rasa percaya pada lingkungan yang dimulai pada usia 0 sampai 2 tahun. Dan periode negativistik ketika berusia dua tahun ke atas.

“Pada usia 0-2 tahun, anak mulai belajar bagaimana mengelola emosi ketika berhadapan dengan lingkungan sekitarnya,” jelas dosen yang akrab disapa Ika.

Menurut Ika, ketika anak berusia 0 tahun, semua organnya sudah aktif. Apa yang terjadi dilingkungan sekitarnya akan masuk dan menjadi memori. Contohnya, ketika lingkungan menanamkan memori yang baik kepada anak. Maka, ketika anak sudah bisa merespon dengan aktif, maka yang keluar adalah positif.

Sementara periode negativistik umumnya terjadi ketika anak berusia dua tahun hingga empat tahun. Pada periode ini anak sudah belajar berbicara dan mengungkapkan keinginannya, berharap lingkungan akan paham dan mau mendengarkan.

“Periode ini sangat penting untuk dipahami oleh orang tua. Biasanya orang tua akan kaget, anak yang biasanya menurut, menjadi selalu menolak permintan orang tua sehingga kesannya anak melawan,” terang Ika.

Untuk menghadapi periode ini, orang tua harus pintar – pintar melakukan strategi. Hal yang paling baik untuk dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan anak sehingga mereka juga akan bernegosiasi, belajar mengungkapkan pendapatnya dengan benar.

Namun, ketika orang tua selalu mengikuti kemauan anak, maka dia tidak akan punya pengalaman negosiasi. Merasa dunia aman-aman saja. Namun, kemudian, ketika anak sudah mulai berinteraksi dengan dunia luar dan mendapati aturan yang ada, anak akan kaget.

Sebaliknya, ketika orang tua selalu mematahkan dan memaksakan kehendak mereka sebagai orang tua kepada anak, maka jika tidak diantisipasi akan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, mental anak akan menjadi lemah. Anak menjadi pasif karena merasa apapun yang diinginkan pasti tidak akan dituruti dan merasa akan dimarahi oleh orangtuanya. Kedua, anak akan menjadi pemberontak.

“Orang tua harus pandai mengatur strategi. Ajak anak bernegosiasi dan beri kesempatan untuk mengambil keputusan. Karena dengan begitu anak akan merasa dihargai dan didengarkan,” ucap Ika.

Kepada para muda-mudi yang berencana untuk membangun rumah tangga, Ika berpesan apapun yang terjadi, anak adalah karunia dari Tuhan yang akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Untuk itu, jangan menganggap anak sebagai objek pasif yang bisa diperlakukan seenaknya.

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).