Infeksi Post Partus Ancam Performa Sapi Perah Kemitraan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Usaha sapi perah telah menjadi salah satu program revitalisasi pertanian dalam meningkatkan ketahanan, ketersediaan, dan aksesibilitas pangan. Namun, kondisi sapi perah di usaha peternakan hingga saat ini masih sering dijumpai adanya kasus gangguan reproduksi.

Salah satu tandanya, rendahnya efisiensi reproduksi. Itu berakibat pada penurunan angka kebuntingan (Service per Conception, S/C), masa kosong (Days Open, DO) yang lebih singkat atau lebih panjang dari normal, dan jarak beranak (Calving Interval, CI) yang lebih panjang, sehingga mempengaruhi penurunan populasi dan pasokan penyediaan susu secara nasional.

Salah satu penyebab gangguan reproduksi itu adalah infeksi bakteri. Baik bakteri non spesifik maupun spesifik. Infeksi akibat bakteri non spesifik sering menyebabkan metritis yang dapat menghalangi proses fertilisasi, implantasi, dan kebuntingan. Seringkali itu tidak diikuti adanya gejala klinis sehingga sulit terdeteksi. Sedangkan infeksi akibat bakteri spesifik biasanya dikenal sebagai penyakit kelamin menular yang ditandai oleh adanya retensio fetal membrane (RFM).

Di sisi lain, pola kemitraan merupakan salah satu model kerja sama yang dinilai mampu memastikan keberlanjutan pasokan bahan baku berkualitas tinggi untuk kebutuhan produksi dan bentuk dukungan bagi para peternak untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pola kemitraan sapi perah telah diatur dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.

Apakah dengan menerapkan pola kemitraan mampu mencegah atau meminimalkan dampak buruk akibat adanya infeksi post partus? Hasil pengamatan pada salah satu kemitraan sapi perah milik perusahaan ternama di Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang pada 2016 hingga 2017, ditemukan 74 sapi perah mengalami gangguan reproduksi.

Sebanyak 58 sapi perah terindikasi menderita RFM, sedangkan 16 lainnya terindikasi metritis. Kejadian infeksi post partus dapat terjadi akibat kurangnya kebersihan kandang menjelang kelahiran, penanganan uterus pasca melahirkan yang salah, dan kurang higienisnya alat pertolongan kelahiran maupun peralatan inseminasi buatan yang terkontaminasi berbagai mikroorganisme sehingga dapat terjadi radang dan adanya cairan yang bersifat toksik pada uterus.

Performa reproduksi sapi perah dapat ditentukan oleh nilai S/C, DO, dan CI. Nilai rata-rata S/C dari 74 sapi perah yang mengalami infeksi post partus sebesar 3,36 dengan perincian sapi perah yang memiliki nilai S/C = 1 sebanyak 13 ekor (17,57%); S/C = 2 sebanyak 17 ekor (22,97%); S/C = 3 sebanyak 20 ekor (27,03%); S/C = 4 sebanyak 10 ekor (13,51%); S/C = 5 sebanyak 4 ekor (5,41%); dan S/C ≥ 6 sebanyak 10 ekor (13,51%). Nilai rata-rata S/C tersebut lebih tinggi dari nilai ideal yang berkisar antara 1,6–2,0 sehingga tingkat kesuburan sapi perah yang mengalami infeksi post partus kurang baik.

Masa kering sapi perah idealnya antara 85–115 hari atau tidak lebih dari 120 hari. Pengamatan terhadap sapi perah yang mengalami infeksi post partus, ditemukan 16 sapi memiliki masa kering antara 60–90 hari; 14 ekor sapi dengan masa kering 90–120 hari; dan 42 ekor sapi memiliki masa kering lebih dari 120 hari. Sedangkan nilai rata-rata keseluruhan adalah 160 hari. Semakin lama masa kering dapat menyebabkan kerugian ekonomi dari penurunan produksi susu dan adanya biaya perawatan tambahan serta jarak beranak yang lebih panjang.

Nilai rata-rata CI dari 74 sapi perah yang mengalami infeksi post partus adalah 432 hari (14 bulan 12 hari). Performa reproduksi sapi perah tergolong baik apabila induk sapi mampu menghasilkan satu pedet dalam satu tahun dengan syarat jarak beranak tidak melebihi 12 bulan atau sekitar 360–400 hari.

Jenis infeksi post partus dapat memberikan nilai performa reproduksi sapi perah yang berbeda-beda. Sapi perah yang menderita metritis memiliki nilai S/C dan CI yang lebih tinggi dari sapi perah yang menderita RFM, akan tetapi memiliki nilai DO yang lebih rendah.

Tetapi, nilai performa reproduksi dari kedua jenis infeksi tersebut masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nilai ideal performa reproduksi dari sapi perah. Sehingga pola kemitraan ini belum mampu mencegah maupun meminimalkan dampak infeksi post partus terhadap performa reproduksi sapi perah. Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian khusus baik oleh peternak maupun mitra untuk lebih memperhatikan kesehatan reproduksi ternak melalui perbaikan tatalaksana pemeliharaan, sanitasi, dan hygiene kandang sehingga dapat mencegah kejadian infeksi post partus.  


Penulis: Diyantoro drh., M.Si.


Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di jurnal Indian Veterinary Journal edisi Juni 2019 di:

 (http://www.ivj.org.in/users/members/viewarticles.aspx?Y=2019&I=787#)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).