Menggali Potensi Perikanan dan Kelautan sebagai Alternatif Antihipertensi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
ilustrasi oleh meducation
ilustrasi oleh meducation

“Sillent killer” tampaknya merupakan sebutan yang tepat untuk penyakit hipertensi.Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit yang menyebabkan serangan jantung dan meningkatkan resiko kematian tanpa adanya gejala yang dimunculkan. Indonesia sendiri memiliki prevalensi yang cukup tinggi dan meningkat dari tahun 2013 yang hanya berkisar 25,8% menjadi 34,1% pada tahun 2018 menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penderita hipertensi umumnya memiliki tekanan darah pada nilai 140/90 mmHg atau lebih dimana kondisi ini akan menjadi berbahaya karena akan menyebabkan munculnya penyakit seperti stroke, gagal ginjal dan gagal jantung. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan suatu terapi obat yang dapat menekan laju tekanan darah tersebut.

Renin angiotensin aldosterone system (RAAS) memberikan peranan penting dalam pengaturan tekanan darah dan menjaga keseimbangan cairan sehingga dapat dijadikan target terapi untuk menanggulangi permasalahan hipertensi. Di dalam RAAS, angiotensin-I converting enzyme (ACE) akan mengkatalisis angiotensin I (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe-His-Leu) menjadi angiotensin-II (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-Phe), dari decapeptide ke octapeptide. Angiotensin-II inilah yang berkontribusi untuk merangsang pelepasan aldosteron dan hormon antidiuretik atau vasopresin dan meningkatkan retensi natrium dan air serta vasokonstriktor yang secara langsung akan meningkatkan tekanan darah. Sehingga kerja dari ACE ini harus dihambat kerjanya oleh suatu senyawa inhibitor. Beberapa ACE inhibitor sintetik telah banyak ditemui seperti captopril, Lisinopril, enalapril, benazepril yang penggunaannya memiliki efek samping seperti pusing, batuk, ataupun ruam di kulit.

Protein merupakan makromolekul dimana sebagai penyedia energi dan asam amino esensial untuk pertumbuhan dan menjaga fungsi normal tubuh. Protein yang masih memiliki berat molekul yang tinggi harus dipecah oleh suatu aktivitas hidrolisis dan menghasilkan bioaktif peptida yang terdiri dari beberapa susunan asam amino. Bioaktif peptida ini diproduksi melalui hidrolisis enzimatik yang biasanya menggunakan enzim pencernaan seperti thermolysin, chymotrypsin dan pepsin. Dalam sistem pencernaan, biokatif peptida ini dapat dengan mudah diserap melalui usus dan masuk ke dalam darah dan memberikan efek bagi kesehatan. Oleh karena itu, saat ini bioaktif peptida menjadi perhatian penting bagi para peneliti untuk terus menggali potensinya terlebih sebagai sumber dari ACE inhibitor.

Pencarian peptida yang mampu menghambat aktivitas ACE telah diintensifkan saat ini terlebih dari sumber-sumber perikanan dan kelautan telah bermunculan dibuktikan. Pengujian yang andal untuk menentukan kemampuan peptida menghambat aktivitas ACE menjadi perhatian utama. Penentuan in vitro peptida penghambat ACE didahului oleh pencernaan enzimatik atau fermentasi mikroba yang kemudian diikuti oleh analisis struktur dan sintesis kimia peptida aktif. Teknik yang digunakan untuk mengevaluasi aktivitas penghambatan ACE dari peptida harus sederhana, sensitif, dan dapat diandalkan. Beberapa metode tersebut telah dikembangkan, seperti spektrofotometri, high performance liquid chromatography (HPLC), elektroforesis kapiler fluorometrik, dan radiokimia. Metode ini melibatkan hidrolisis hippuryl-histidyl-leucine (HHL) oleh ACE menjadi asam hippuric (HA). Jumlah HA yang dihasilkan dari HHL berkorelasi langsung dengan aktivitas ACE. Jumlah HA yang terbentuk ditentukan dengan mengukur absorbansi pada 228 nm (maksimum penyerapan HA). Meskipun spektrofotometri bermanfaat, namun memakan waktu, rumit, dan tidak dapat mendeteksi jumlah jejak sampel.

HPLC adalah metode umum untuk menentukan aktivitas penghambatan ACE. HPLC telah digunakan selama beberapa dekade, metode ini membutuhkan ekstraksi produk dari campuran reaksi menggunakan pelarut organik, yang membatasi jumlah sampel yang dapat dianalisis per hari. Substrat yang sering digunakan pada pengujian penghambatan ACE menggunakan HPLC adalah HHL. Substrat lain yang dapat digunakan adalah and furanacryloyl-L-phenylalanylglycyl-glycine (FAPGG). Karena harga kedua substrat, HHL dan FAPGG, serupa, metode HPLC lebih menguntungkan daripada spektrofotometri, karena memerlukan lebih sedikit tenaga kerja dan memiliki hasil yang lebih tinggi daripada spektrofotometri.

Organisme laut menghasilkan beberapa sumber bahan fungsional seperti peptida bioaktif, enzim, asam lemak tak jenuh ganda (PUFA), vitamin, mineral, fenolik phlorotannins, dan polisakarida. Selain itu, organisme laut menjanjikan prospek yang sangat baik untuk pengembangan industri seperti obat-obatan, kosmetik, bahan kimia, suplemen gizi dan agen terapi. Inhibitor alami dari perikanan dan kelautan diyakini tidak memiliki efek samping, lebih aman dan sehat jika dibandingkan dengan obat sintetik. Beberapa tahun terakhir, penelitian tentang potensi perikanan dan kelautan sebagai ACE inhibitor sudah banyak diteliti mulai dari soft shelled turtle, fermented mackerel, sardine muscle, Alaskan Pollack skin, marine shrimp, salmon chum, yellowfin, squid skin collagen, Spirulina platensis, dan Chlorella vulgaris.

Sebagai contohnya, soft shelled turtle telah diselidiki sebagai peptida penghambat ACE yang potensial karena keberadaannya telah banyak digunakan sebagai tonic food di Cina. Peptida IVRDPNGMGAW diperoleh dari putih telur memiliki nilai IC50 sebesar 4,39 μM. Peptida diidentifikasi sebagai inhibitor kompetitif. Di sisi lain, peptida AKLPSW yang diperoleh dari kuning telurnya juga memiliki aktivitas penghambatan ACE dengan nilai IC50 sebesar 15,3 µM dan diidentifikasi sebagai inhibitor non-kompetitif. AKLPSW juga secara signifikan mengurangi systolic blood pressure (SBP) dengan pengurangan sekitar 13 mmHg pada 6 jam setelah pemberian oral, yang menunjukkan efek antihipertensi pada peptide AKLPSW. Organisme laut merupakan sumber peptida penghambat ACE yang berkelanjutan untuk produksi obat-obatan dan nutraceutical pada skala industri. Karena pentingnya penghambatan ACE untuk industri farmasi dan nutraceutical masa depan, teknik pemurnian peptida untuk menghasilkan peptida murni yang diidentifikasi adalah menjadi sangat penting. Oleh karena itu, peningkatan penelitian tentang pemurnian peptida bioaktif harus terus memicu para peneliti untuk melakukan penelitian.

Penulis: Dwi Yuli Pujiastuti

Informasi detail tentang tulisan ini dapat dilihat pada link:

Pujiastuti, D.Y.; Amin, M. N. G.; Alamsjah, M. A.; Hsu, J.-L. Marine Organisms as Potential Sources of Bioactive Peptides that Inhibit the Activity of Angiotensin I-Converting Enzyme: A Review. Molecules 2019, 24, 2451-2466.

https://www.mdpi.com/1420-3049/24/14/2541/htm

Pujiastuti, D.Y.; Hsu, J.-L. The potential of peptides derived from the chymotrypsin hydrolysate of soft shelled turtle yolk against the Angiotensin I Converting Enzyme. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 2019, 236

https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/236/1/012113/pdf

Pujiastuti, D.Y.; Shih, Y.-H.; Chen, W.-L.; Sukoso; Hsu, J.-L. Screening of angiotensin-I converting enzyme inhibitory peptides derived from soft-shelled turtle yolk using two orthogonal bioassay-guided fractionations. Journal of Functional Foods 2017, 28, 36–47.

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1756464616303577

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).