Katanya Laut Adalah Masa Depan, Perlukah Lulusan Perikanan Menjadi Nelayan?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto Bastian Ragas
Foto oleh Bastian Ragas

Indonesia telah ditetapkan sebagai Negara Maritim dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) pada tahun 1982. Hal tersebut bisa diterima, karena memang Indonesia memiliki wilayah laut lebih luas daripada wilayah daratan. Bahkan Adrian Bernard Lapian, seorang ahli sejarah maritim Indonesia pernah mengeluarkan pernyataan, bahwa “Indonesia bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut. Tetapi, Indonesia adalah laut yang ditaburi pulau-pulau,”.

Pada saat itu, pertimbangan ditetapkannya Indonesia sebagai negara Maritim tidak hanya dinilai dari segi luas laut yang dimiliki, melainkan sejarah maritimnya juga. Sejak masa kerajaan Nusantara, yang pada saat itu dikendalikan oleh Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, dua emporium kekuatan kerajan Nusantara tersebut berhasil menjadi besar karena mampu menguasai lautan. Tentunya dengan kekuatan militer, mampu menguasai kontrol seluruh perniagaan di Asia Tenggara.

Terlepas dari sejarah kekuasaan Indonesia di sektor perniagaan, bagaimana perkembangan kondisi sumber daya alam atau komoditas hasil laut Indonesia ? Jika berbicara tentang SDA laut, pastilah langsung tertuju kepada Nelayan, sebagai pihak utama yang memanfaatkan SDA tersebut.

Berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 tentang perikanan, Nelayan adalah sumberdaya manusia yang memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan operasi penangkapan ikan. Sebetulnya tidak hanya ikan yang hanya bisa ditangkap oleh nelayan, melainkan semua jenis biota perairan juga bisa dimanfaatkan.

Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa jumlah nelayan Indonesia mencapai sekitar 1,6 juta jiwa pada tahun 2003, namun pada tahun 2016 menurun hingga mencapai 2.265.859 jiwa. Lalu apakah penyebab dari penurunan tersebut ? Tidak lain yaitu ulah manusia sendiri atau overfishing.

Overfishing merupakan proses pengambilan stok ikan secara berlebihan, terlalu banyak sampai pada tahap sebagian besar potensi makanan dan kekayaan yang diambil tidak berhasil dimanfaatkan sepenuhnya (Hillborn, 2011). Overfishing menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah nelayan dengan hasil tangkapan. Pastinya hasil tangkapan semakin menurun setiap tahunnya hingga menyebabkan tingginya tingkat kompetisi antar nelayan.

Beberapa hal penyebab overfishing yaitu pesatnya perkembangan teknologi, mulai dari teknologi sonar pencari lokasi ikan atau GPS, inovasi alat tangkap terbaru, hingga mesin pengolahan hasil tangkapan. Namun, penggunaan teknologi tersebut masih bisa dikontrol sehingga tidak akan timbul overfishing apabila sumberdaya manusianya sadar akan lingkungan dan dampak yang akan ditimbulkan dari penggunaan teknologi tersebut secara berlebihan.

Akar permasalahan dari menurunnya jumlah nelayan dan hasil tangkapannya yaitu nelayan itu sendiri. Sebab, nelayan Indonesia masih kurang sadar tentang konsep ekosistem berkelanjutan ditambah juga lemahnya pengawasan hukum di Indonesia yang membuat nelayan Indonesia bebas melakukan apa saja agar hasil tangkapannya maksimal.

Mengapa nelayan kita masih kurang sadar ? Hal itu, karena sebagian besar nelayan Indonesia adalah masyarakat kalangan bawah hingga menengah, bahkan data dari Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa setidaknya 48% nelayan Indonesia berasal dari kalangan masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Oleh karena itu, konsep menjaga ekosistem yang berkelanjutan masih belum terpikirkan oleh mereka, karena mereka hanya berpikir bagaimana cara hasil tangkapan maksimal dan kebutuhan keluarga tercukupi.

Meskipun nelayan Indonesia bisa dikatakan dibagi menjadi dua kelas, yaitu kelas modern dan tradisional, tetap saja jumlah nelayan tradisional masih menduduki klasemen puncak hingga kini. Rokhmin Dahuri, Guru Besar FPIK Institut Pertanian Bogor (IPB) memberikan contoh, dari 625.633 unit kapal ikan, setidaknya hanya 3.811 unit yang tergolong modern. Indikator modern sendiri ditandai dengan kapasitasnya yang berada di atas 30 gross ton (GT). “Jumlah tersebut hanya sekitar 0,6 persen saja, sangat kecil,” ujarnya (Dikutip dari Republika.co.id).

Dengan rendahnya pendidikan, kesadaran, dan minimnya pengetahuan nelayan indonesia, yang dapat menyebabkan kemunduran kondisi perikanan tangkap. Maka, perlukah lulusan perikanan dari Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi  terjun mendampingi dan bahkan menjadi Nelayan ?

Sejak masa kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, sektor maritim Indonesia mulai terbuka dan didukung oleh pemerintah, terbukti pada saat itu dibentuk Kementerian baru dengan mengangkat Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Eksplorasi Laut. Hingga bertahan sampai saat ini, sektor maritim Indonesia lebih digenjot oleh Pemerintah. Dibawah kabinet Kerja, dengan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, memiliki berbagai program kerja yang menjadi prospek besar bagi lulusan perikanan di Indonesia.

Terdapat dua solusi yang dapat digerakkan untuk mengatasi permasalahan sub sektor perikanan tangkap di Indonesia, yaitu perlunya lulusan perikanan mendampingi atau bahkan terjun menjadi nelayan, dan lebih meningkatkan produksi perikanan budidaya laut.

Sebagian besar lulusan perikanan tangkap saat ini masih nyaman bekerja dibawah naungan pemerintah atau biasa disebut pegawai negeri sipil, dan sisanya memilih bekerja di luar negeri. Seperti contoh dikutip dari beritasatu.com, bahwa 32% lulusan Sekolah Tinggi Perikanan Indonesia terserap di pasar Internasional.

Mereka seakan lupa jati dirinya pada saat masih menjadi mahasiswa yang katanya membela rakyat. Padahal, apabila lulusan perikanan memilih terjun ke nelayan atau bahkan menggantikan para nelayan tersebut, mereka mampu memperbaiki permasalahan yang ada. Karena, mereka lebih berpengetahuan, mereka tahu mana komoditas langka dan mana yang boleh dieksplorasi, dan pastinya lebih sadar tentang ekosistem laut yang berkelanjutan, sehingga masalah overfishing mampu teratasi.

Tidak hanya itu, lulusan perikanan juga bisa membantu pemerintah dalam hal pengawasan perikanan tangkap, dengan menegakkan hukum yang adil dan tegas. Bahkan hal tersebut sudah bisa dilakukan meskipun masih menjadi mahasiswa/pelajar, contoh kecilnya yaitu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para nelayan.

Solusi kedua yaitu meningkatkan sektor perikanan budidaya laut. Pemerintah melalui KKP kini telah menjalankan program kerja KJA offshore yang tujuannya menggebrak dan mencapai target produksi budidaya laut Indonesia, serta membuka lapangan kerja baru bagi nelayan-nelayan kecil. Nelayan-nelayan kecil lebih baik beralih ke sektor perikanan budidaya laut, sehingga perikanan tangkap didominasi oleh nelayan modern yang lebih mudah dalam pengawasan dan controling-nya.

Jadi, sebagai insan yang bergelut di dunia perikanan, sudah sepantasnya usai merampungkan studi bisa kembali untuk memajukan dunia perikanan dan kelautan demi meneguhkan peran Indonesia sebagai poros maritim dunia. Selamat Hari Laut Sedunia !!!

Berita Terkait

Bastian Ragas

Bastian Ragas

Kepala Departemen Informasi dan Relasi Publik KM PSDKU UNAIR Banyuwangi 2019 Mahasiswa Akuakultur PSDKU Universitas Airlangga Banyuwangi