Halalbihalal dalam Kacamata Pakar Budaya UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
KEGIATAN Halalbihalal. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Tradisi tahunan yang rutin dilaksanakan oleh umat Islam saat hari raya Idul Fitri ialah kumpul bersama dengan keluarga besar, kelompok ataupun teman kantor. Momentum berkumpul ini biasa disebut dengan halalbihalal oleh masyarakat nusantara.

Halalbihalal dapat dipahami sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama selepas bulan puasa dalam suasana Idul Fitri pada bulan Syawal. Tujuannya ialah sebagai sarana bermaaf-maafan sesama orang muslim dan orang yang hadir dalam acara tersebut  agar segala kesalahannya akan melebur.

Pada momen ini semua yang hadir sama rata, tidak boleh ada komoditi sosial maupun ejekan yang akan memecahkan kekeluargaan. Tradisi halalbihalal merupakan tradisi yang diinisiasi oleh KH Wahab Hasbullah, salah satu ulama penting NU yang memberikan saran kepada Presiden Soekarno tahun 1948 pertengahan bulan Ramadhan saat itu.

Menurut pakar budaya Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Listiyono Santoso, S.S., M.Hum, halalbihalal merupakan tradisi yang hanya dilakukan di kebudayaan nusantara. Tradisi itu mengakar kuat dari kondisi kultural bangsa Indonesia yang memiliki tradisi untuk saling memberi maaf. Sebagai sebuah tradisi untuk saling memaafkan, halal bi halal jelas memiliki makna positif yang harus dirawat dan dilestarikan.

“Melalui halalbihalal yang sungguh-sungguh diselengarakan dari hatidengan keikhlasan, maka tradisi ini akan menjadi momentum penting untuk merekatkan kembali warga bangsa yang terpolarisasi oleh konflik-konflik politik atau konflik lainnya. Halal bi halal akan menjadi sarana untuk membangun kembali kesatuan dan persatuan yang mungkin sudah mulai retak karena politik kepentingan,” pungkasnya.

Dr. Listiyono juga menyampaikan bahwa Istilah halal bi halal yang dilakukan setelah hari raya Idul Fitri oleh tradisi Jawa disebut sebagai lebaran, yakni “lebar + an” berarti akhir atau sesudah. Istilah itu sesungguhnya mengacu pada empat istilah sebagai laku papat (kupat) dalam tradisi jawa dengan empat tindakan lebaran, luberan, leburan, dan laburan.

Lebaran berarti akhir dan usai, yaitu menandakan telah berakhirnya waktu puasa Ramadhan dan siap menyongsong hari kemenangan. Sedangkan luberan bermakna meluber atau melimpah, layaknya air yang tumpah dan meluber dari bak air.

Pesan moral yang hendak disampaikan dari luberan adalah budaya berbagi dan mengeluarkan sebagian harta yang lebih (luber) kepada fakir miskin. Dengan begitu akan membahagiakan para fakir miskin dan diharapkan angka kemiskinan yang ada di negara kita mengikis.

Adapun leburan berarti habis dan melebur. Yaitu momen untuk saling melebur dosa dengan saling memaafkan satu sama lain, dengan kata lain dosa antar sesama dimulai dari nol kembali. Terakhir adalah laburan yang berasal dari kata labur atau kapur.

Kapur merupakan zat padat berwarna putih yang juga bisa menjernihkan zat cair, makna laburan dipahami bahwa hati seorang muslim haruslah kembali jernih nan putih layaknya sebuah kapur. Karena itu merupakan simbol kejernihan dan kesucian hati yang sebenarnya. “Tampaknya, momentum saat ini menjadi sangat baik jika halal bi halal akbar dilakukan sebagai sarana silaturahmi nasional dan diselenggarakan agar warga bangsa kembali bersatu setelah mengalami polarisasi pasca pilpres yang lalu,” tambahnya. (*)

Penulis: Muhammad Wildan Suyuti

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).