Tanggapi Isu Pelecehan dan Kekerasan Seksual, Dosen UNAIR Tegaskan Sanksi serta Perlindungan Sudah Terjamin

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Masih segar dalam ingatan kita terhadap insiden pelecehan seksual yang marak terjadi di lingkup institusi pendidikan belakangan ini. Sejumlah kasus kerap menemui jalan buntu akibat ketiadaan bukti hingga terganjal oleh birokrasi kampus. Sebagian korban pun enggan melapor karena takut dihadapkan dengan berbagai tekanan.

Hal ini dibenarkan oleh wakil dekan tiga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, yang juga dosen jurusan Antropologi, Prof. Dra. Myrtati Dyah Artaria, M.A., Ph. D. Dia pun banyak menemui kasus serupa di lingkungan masyarakat luas.

“Kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus memang benar adanya. Tetapi banyak yang tidak melapor karena merasa terancam dan merasa tidak ada keberpihakan pada mereka. Jika melapor mungkin akan merasa lebih dipermalukan lagi sementara pelakunya belum tentu diberi sanksi tegas,” tutur penerima beasiswa Fullbright dan AusAID itu.

Sebab, permasalahan seputar pelecehan dan kekerasan seksual masih dianggap remeh atau dipandang sebagai aib dari seseorang. Orang-orang terdekat yang seharusnya menyalurkan dukungan, justru sering berbalik melecehkan. Belum lagi ketika sang pelaku tidak segan-segan untuk memberikan tindakan represif guna membungkam korbannya.

“Padahal ini terkait dengan hak asasi manusia. Korban berhak melapor, berhak untuk merasa aman, berhak untuk hidup dengan happy, berhak untuk membuat pelakunya jera, tidak dibuat tertekan oleh orang lain karena masalah seksualitas,” tegas Prof. Myrtha.

Berawal dari kondisi tersebut, timbul keprihatinan pada diri penulis buku Antropologi Dental ini. Sebagai seorang pendidik di perguruan tinggi, ia tergerak untuk berbuat sesuatu pada korban khususnya bagi mereka yang mengalami kasus kurang mengenakkan di UNAIR. Yakni, dengan menginisiasi terbentuknya unit yang dapat membantu para peserta didik jika memiliki masalah. Mulai dari yang intensitasnya ringan maupun berat.

“Bermula dari kegiatan volunteering berupa teman curhat bagi sivitas akademi di FISIP pada tahun 2000-an. Tujuannya untuk menjaga confidentiality mereka. Belakangan pada tahun 2014, karena unit semacam ini juga dibutuhkan oleh fakultas lain, maka kegiatan ini diperluas ke tingkat universitas. Akhirnya diresmikanlah Help Center,” kenangnya.

Unit Help Center berada di bawah direktorat kemahasiswaan. Fungsinya adalah membantu mahasiswa UNAIR dalam menghadapi berbagai kesulitan, sebagai pendengar ataupun pendamping, bila perlu membantu merujuk mereka pada lembaga lain yang lebih berwenang. Mahasiswa juga bisa memilih kepada siapa ia ingin berkonsultasi.

“Sayangnya belum banyak yang tahu. Oleh karena itu, ke depan kami berharap agar bisa melibatkan badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan mengadakan kegiatan rutin untuk meningkatkan awareness khususnya mengenai pelecehan seksual,” ujarnya.

Akar dari Pelecehan dan Kekerasan Seksual

Help Center. (Infografis: Ema Fadhila Putri)
Help Center. (Infografis: Ema Fadhila Putri)

Problematika terkait pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya terjadi di area kampus dan lingkungan masyarakat Indonesia saja. Namun, sudah menjadi isu global karena pernah terjadi di beberapa universitas tersohor serta negara-negara lainnya. Korban dan pelakunya sangat bervariasi. Tidak terbatas hanya pada satu gender saja.

“Kekerasan seksual (sexual assault) itu sudah masuk pelecehan (sexual harassment). Tapi pelecehan sering dianggap tidak melanggar hukum karena sering dilakukan di tempat yang tidak ada saksi mata, juga tidak meninggalkan bukti. Misalnya catcalling. Coba itu lihat di koran, berapa banyak kasus yang pernah terjadi?” tanyanya.

Salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual adalah faktor hormonal. Seorang laki-laki memiliki testosteron dan strength, sehingga cenderung untuk agresif dan mendominasi. Berbeda dengan perempuan yang mempunyai kadar testosterone rendah, tetapi unggul dari sisi endurance. Adanya perbedaan hormon membuat otak mereka tidak sama. Keduanya harus diberikan pemahaman agar tidak saling menyakiti dan mengisi kekurangan satu sama lain.

“Agresivitas laki-laki harus disalurkan dengan cara yang positif. Bukan dengan melampiaskan kekerasan pada pasangan atau orang lain. Karena laki-laki lebih unggul di strength mereka bisa enforce his strength ke perempuan. Akibatnya yang sering menjadi korban dari pelecehan adalah perempuan,” kata lulusan terbaik FISIP UNAIR ini.

Sebagai peneliti yang pernah mempelajari bidang primatologi, Prof. Myrtha juga menambahkan seputar insting milik non-human primate. Jenis makhluk hidup ini, jika menemukan betina primata yang dia taksir, akan merebutnya dari jantan lain. Kemudian si jantan baru berupaya membunuh anak dari jantan (mantan pasangan betina) tersebut. Supaya jantan yang baru dapat melakukan proses reproduksi bersama si betina.

“Sama halnya ketika kita menjumpai kasus pelecehan atau kekerasan seksual pada sebuah keluarga. Kalau bapak tiri tidak bisa mengontrol insting dan keinginan biologis, kecenderungannya untuk tertarik secara seksual pada anak perempuan tiri itu ada. Artinya, ada orang tua angkat yang tertarik secara seksual pada anak angkatnya. Manusia punya pikiran serta moralitas, itu yang seharusnya menjadi kontrol mereka,” sebutnya.

Kasus-kasus yang melibatkan relasi kuasa antara dosen-mahasiswa juga dapat terjadi. Jika dikaitkan dengan pelecehan seksual, bisa saja terkait dengan pemberian nilai. Atau, dengan memanfaatkan kharisma si dosen yang mempunyai pengetahuan lebih luas dari mahasiswa. Mahasiswa akan dibuat tertarik dan kemudian dimanfaatkan oleh dosennya.

“Jika mahasiswa menyadari hak-haknya, hal seperti ini dapat dicegah. Kasus-kasus dan masalah yang dihadapi mahasiswa sangat beragam. Karenanya perlu lebih disosialisasikan lagi melalui BEM dan mahasiswa volunteer, bahwa Help Center ada di UNAIR untuk membantu dan mendampingi mahasiswa yang mempunyai masalah,” terangnya.

Prof. Myrtha berharap agar di masa mendatang semakin timbul kesadaran terhadap isu seperti ini. Ia juga berpesan kepada para mahasiswa untuk berani menyikapi dan melaporkan tindak asusila yang mereka dapatkan. Bila perlu meminta pertolongan ke lembaga terkait. Sebab, dampak dari pelecehan dan kekerasan seksual tidak main-main.

“Kita mempunyai Help Center dan memiliki aturan berperilaku. Sanksi dan perlindungan pada korban pelecehan seksual sudah dijanjikan,” pungkasnya. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).