Wacana Pemindahan Ibu Kota: Kelayakan atau Pengelolaan?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Liputan6 com
Ilustrasi oleh Liputan6 com

Debat dan wacana pemindahan ibu kota Indonesia kembali santer terdengar. Isu periodik ini selalu muncul pada setiap kepemimpinan dimulai sejak era Presiden Soekarno. Langkah yang ditempuh pun menunjukan keseriusannya meski belum pasti realisasi akan benar-benar terwujud secara cepat dan tepat. Namun, pemindahan ibu kota bukanlah sesuatu yang baru, mengingat Indonesia telah melakukan hal tersebut sebelumnya. Secara historis, setidaknya Indonesia pernah berganti ibu kota sebanyak tiga kali, yakni Yogyakarta (1946), Bukittinggi (1948), dan Bireun (1948). Adapun Motif yang melandasinya adalah stabilitas negara dengan kondisi bahwa Belanda saat itu masih mencoba menguasai Indonesia sehingga memancing pertempuran. Kondisi ini tentu berbeda dengan saat ini dimana alasan yang muncul bukan hanya aspek sosial-ekonomi, melainkan juga secara geografis dan kesejarahan.

Sejumlah alasan mengenai kelayakan pun mencuat sebagai rasionalisasi pemindahan pusat pemerintahan tersebut. Secara demografi, Jakarta termasuk kota paling padat penduduk tetap, ditambah lagi dengan para pendatangnya. Sementara itu, perihal kelancaran trasnportasi, kemacetan kronis tentu tidak terhindarkan lagi. Kondisi ini dikarenakan bertambahnya jumlah unit kendaraan tiap tahunnya tidak dibarengi dengan pertumbuhan jalan. Ditambah pula polusi di Jakarta bahkan menduduki peringkat pertama di Asia Tenggara. Selain macet, persoalan banjir pun tidak kunjung selesai dengan biaya kerugian tiap tahunnya bisa mencapai Rp 100 Triliun. Sementara itu pemerataan pembangunan menjadi narasi kuat berikutnya agar tidak selalu Jawa sentris. Sehingga dicarilah kemudian wilayah ideal untuk nantinya dijadikan pusat pemerintahan dan salah satu yang memenuhi adalah pulau Kalimantan.

Secara perspektif hubungan internasional, wacana pemindahan ibu kota tidak kalah penting mengingat akan berdampak pada berbagai aspek. Berangkat dari hal ini, maka ibu kota menjadi wajah sekaligus gerbang utama atas identitas negara tersebut. Tampilan miniatur negara, yakni perwakilan diplomatik tentu menjadi pertimbangan seanjutnya tentang kedutaan besar. Daya tarik internasional pun akan memberikan sorotan kepada ibu kota sebagai dampak selanjutnya. Tentunya kondisi ini bisa mendatangkan aliran investasi dengan nilai devisa begitu signifikan. Dengan demikian, maka wilayah terdampak akan merasakan sisi ekonomis sekaligus juga pemerataan kesejahteraan. Di Asia Tenggara sendiri terdapat tiga negara yang berhasil melakukan pemindahan ibu kota pemerintahan, antara lain Filipina (Manila), Malaysia (Putra Jaya) dan Myanmar (Napyidaw). Meski demkian, karakteristik Indonesia tentu berbeda sebagai negara kepulauan sehingga tidak bisa menjadi acuan.

Berdasarkan teori hubungan internasional pula, yakni Teori Hijau, maka dilakukanlah tinjauan pembangunan yang didasari aspek lingkungan. Tentu hal ini bisa jadi penghambat sekaligus menjadi tantangan dalam mengelola wacana tersebut. Kondisi ini didasari bahwa Kalimantan merupakan salah satu paru-paru dunia. Di lain pihak dibutuhkan luas area 100.000 ha sekedar untuk kebutuhan wilayah pembangunan tersebut. Bila Kalimantan kemudian ditetapkan menjadi destinasi, maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi deforestasi hutan secara besar-besaran. Sementara itu, laju deforestasi hutan di Kalimantan setiap tahunnya terjadi, utamanya untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Berangkat dari hal tersebut, pembebasan lahan hutan akan menjadi persoalan yang dihadapi selanjutnya. Polemik dan resiko yang juga tidak bisa dipisahkan dari Kalimantan adalah penanggulangan kebakaran hutan.

Ditinjau dari urgensinya, pemisahan antara pusat pemerintahan dan pusat bisnis tentu menjadi kajian yang menarik. Hal ini dinilai sebagai upaya preventif bila sewakti-waktu Jakarta mengalami kelumpuhan, maka imbasnya tidak beruntun dialami. Sementara itu, estimasi biaya yang dibutuhkan guna pemindahan ibu kota bisa mencapai Rp.466 Triliun. Meskipun terdapat pola kerjasama dengan pihak swasta, pemindahan ibu kota ini tidak terlepas dari dana APBN dalam eksekusinya. Padahal dana anggaran APBN saja bahkan sudah minus untuk kemudian bisa dialokasikan membayar hutang. Alhasil, negara berhutang untuk membayar hutang. Selain itu, pembangunan infrastruktur pendukung pun sudah selayaknya menjadi pekerjaan tambahan guna penunjang pusat pemerintahan. Proses perpindahan pun akan memakan waktu lama dan dilakukan berkala, bahkan estimasi untuk selesai bisa 10 tahun mendatang.

Jumlah total anggaran tersebut dianggap lebih bijak bila dialokasikan untuk sektor-sektor lain dengan tujuan serupa, yaitu pemerataan pembangunan. Dengan demikian persoalan bukan lagi mengenai kelayakan, melainkan pengelolaan. Bila ditinjau urgensinya, maka pemindahan ibu kota bukanlah persoalan yang mendesak, namun dipertimbangkan perlu. Oleh karenanya, bila pemerataan pembangunan dijadikan alasan utama, maka seyogyanya ada hal yang lebih mendesak, yakni soal pengelolaan daerah. Potensi lokal sejatinya dapat didorong untuk maju oleh Pemerintah Pusat. Adapun guna mengatasi disparitas pembangunan, yang diperlukan adalah kebijakan pembangunan kementerian dipindah ke daerah. Bentuk pengelolaan demikian menjadi efektif dibandingkan pemindahan ibu kota, misal Kemendikbud di Yogyakarta, Kementrian LHK di Kalimantan ataupun Kemenpar di Bali.

Wacana pemindahan ibu kota sejatinya belum menjamin sepenuhnya iklim pusat pemerintah yang kondusif. Sorotan kemudian tidak hanya menitikberatkan pada pemindahannya, melainkan fokus pada persoalan ibu kota. Meninggalkan Jakarta bukan berarti sejumlah masalah yang ada dapat teratasi. Sejumlah alasan yang diutarakan terlebih adalah banjir, macet, dan pembangunan tentu semuanya berdasar. Namun, Jokowi ketika masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta pernah menuturkan bahwa persoalan ini akan lebih mudah ditangani ketika menjadi Presiden. Semoga saja pemindahan ibu kota bukan dimaknai sebagai solusi banjir. Sedangkan alasan pemerataan pembangunan tentu lebih logis dengan adanya pengelolaan daerah. Lantas ketika target tidak tercapai dengan demikian akan terus melakukan pemindahan ibu kota sebagai sarana pemerataan.

Pada dasarnya berita mengenai pemindahan ibu kota tidak lepasnya sebatas wacana politik yang terus bergulir. Hal ini lantas dimaknai sebatas isu yang dilontarkan bagi konsumsi publik. Sebagai suatu rencana jangka panjang sudah semestinya hal ini dikaji secara matang. Perencanaan yang matang ini tentunya dapat sejalan dengan langkah-langkah strategis Indonesia, misal Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor empat di dunia pada 2030. Tetapi, jika benar realisasi dan eksekusi akan berjalan dalam waktu dekat, maka telaah topografi, geoteknik, geomorfologi, hingga analisis mengenai dampak lingkungan sudah seharunya selesai dilakukan. Pemindahan ibu kota bukanlah hal mendesak, meski sudah sepatutnya menjadi pertimbangan. Dengan demikian, sembari menuntaskan janji kampanye, maka pemerintah seyogyanya mendorong percepatan pengelolaan pembangunan daerah dibandingkan memindahkan ibu kota.

Berita Terkait

Wahyu Pratama Nur Anggara

Wahyu Pratama Nur Anggara

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga