Tangani Tumor Otak, Prof. Hafid: Tekankan Pentingnya Komunikasi Antar Tenaga Medis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Kasus tumor otak di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Bahkan, antrean pasien tumor otak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soetomo mencapai 600 orang di tahun 2019. Sayang, sejumlah masyarakat cenderung menganggap remeh gejala-gejala yang timbul. Dan, tidak jarang terjadi kesalahan diagnosa di lapangan.

Persoalan di atas ditenggarai oleh beragam faktor. Misalnya, pertumbuhan tumor otak yang sukar diprediksi serta kurangnya edukasi kepada masyarakat. Untuk menambah pengetahuan terkait tumor otak, khususnya bagi para tenaga medis, Surabaya Brain Tumor Update 2019 hadir sebagai forum komunikasi dalam bentuk Seminar and Interactive Case Discussion dengan tajuk Emergency in Brain Tumor: What’s New?

Itu merupakan hasil kerja sama antara Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (PERSPEBSI) Jawa Timur dan Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo dan Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim pada Sabtu (27/4/19) di Aula Airlangga Medical Center (AMEC) Surabaya.

”Kita ingin membuat suatu gerakan melawan tumor otak. Selain menambah pengetahuan bagi rekan-rekan medis juga untuk mengedukasi masyarakat umum,” ujar Rahadian Indarto Susilo, dr., Sp. BS (K) selaku ketua acara saat memberikan sambutan.

Sementara itu, Ketua Departemen Bedah Saraf FK UNAIR, Dr. Agus Turchan, dr., Sp. BS (K) menambahkan bahwa penanganan emergency pada pasien tumor otak dulu dan sekarang sudah berbeda, terutama dari segi fasilitas. Bahkan, di RSUD Dr. Soetomo, terus dilakukan pengembangan.

 

Tekankan Komunikasi bagi Tenaga Medis dalam Penanganan Tumor Otak

Acara berlangsung dalam lima sesi yang diawali dengan pemutaran video serta pre-test untuk para peserta. Salah satu topik yang menarik adalah The Role of General Practicioner in Brain Tumor Emergency, yang dipandu langsung oleh profesor Departemen Bedah Saraf FK UNAIR sekaligus dokter spesialis saraf Prof. Abdul Hafid Bajamal dr., Sp., BS (K).

”Selama ini banyak komunikasi yang hilang antara para tenaga medis. Karena itu, pertemuan seperti ini merupakan bentuk komunikasi sekaligus edukasi yang harus dilakukan secara terus menerus dan berjenjang,” kata alumnus FK UNAIR itu.

Komunikasi antar tenaga medis menjadi sangat penting. Sebab, penanganan brain tumor melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti neurologi, patologi, radiologi, dan banyak lainnya. Karena itu, para dokter harus semakin aktif menggali ilmu serta senantiasa belajar agar penderita tumor otak dapat ditangani dengan baik dan selamat.

”Yang saya sedihkan, ketika teman-teman dari daerah mengirim pasien, dengan surat rujukan yang tidak jelas, tidak melakukan komunikasi telepon sebelumnya dan tidak ingin tahu kondisi pasiennya di kemudian hari. Padahal itu akan merupakan pengalaman yang sangat berharga. Kita harus mengubah yang seperti ini. Next time, harus ada komunikasi, misalnya untuk konsultasi rutin, sebelum merujuk pasen, dan konsultasi perwatan pasca rujukan itu dapat melaui hotline. Demikian juga, bila ada kendala bisa berkomunikasi lewat itu,” ujarnya.

Komunikasi dan pengetahuan, tidak melulu dari studi pustaka saja. Tenaga medis juga dapat belajar selain dari pasiennya sendiri juga melalui senior yang sudah berpengalaman, kolega, hingga pasien. Kuncinya, jangan malu bertanya dan memanfaatkan peranti digital yang dimiliki dengan tepat.

 

Pentingnya Emergency Brain Tumor

PROF. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp., BS (K) bersama Rahadian Indarto Susilo, dr., Sp., BS (K) (berbaju biru). (Foto: Arham Adnani)
PROF. Dr. Abdul Hafid Bajamal, dr., Sp., BS (K) bersama Rahadian Indarto Susilo, dr., Sp., BS (K) (berbaju biru). (Foto: Arham Adnani)

 

Prof. Hafid –sapaan Abdul Hafid Bajamal– menjelaskan bahwa selama ini penanganan brain tumor masih mengalami kendala. Di antaranya, ketidakmerataan tenaga medis di seluruh daerah di Indonesia, keterbatasan fasilitas rumah sakit, pengetahuan masyarakat yang rendah, sosial ekonomi, hingga kondisi lingkungan. Penderita yang sudah memasuki fase emergency harus segera ditangani, paling lambat dalam satu hingga tiga hari.

Ndak boleh ditunda. Morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Bila terlambat ditangani akan berisiko terjadinya cacat permanen, kebutaan, bahkan kematian,” tegasnya.

Karena itu, deteksi sejak dini menjadi sangat penting sebelum berkembang ke stadium yang lebih parah. Baik tenaga medis maupun masyarakat harus waspada terhadap berbagai gejala dan kelainan yang berlangsung secara terus menerus.

”Gejala yang disertai seperti muntah, gangguan penglihatan, gangguan kesadaran, gangguan saraf kranial, kejang, sakit kepala progresif, perubahan tingkah laku atau sakit kepala progresif dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Terakhir, Prof Hafid mengimbau pada masa mendatang akan ada sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai tumor dan pentingnya bedah saraf. Selain itu, dia juga berpesan tenaga medis tidak kalah dalam menghadapi pasiennya.

”Pasien sekarang itu sudah pintar, sebelum datang sudah membaca duluan dari Google. Jadi, dokter jangan kalah dengan pasien,” pungkasnya. (*)

 

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).