Dibutuhkan Revolusi Tata Kelola dalam Menunjang Ketahanan Pangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Hadirnya era revolusi 4.0 yang penuh dengan gejolak teknologi dan tak terhindarkan, otomatis menuntut negara harus beradaptasi dengan sebaik mungkin. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam mengintervensi berlangsungnya revolusi 4.0 ialah terhadap segi pangan atau kebutuhan masyarakat.

Menyikapi hal tersebut, Universitas Airlangga (UNAIR) melalui Pusat Informasi dan Humas menginisiasi diskusi pakar yang bertema Ketahanan Pangan untuk Menopang Stabilitas Keamanan, Kesehatan, dan Ekonomi Negeri. Berlangsung pada Selasa (23/4/2019) di Aula Amerta Gedung Rektorat kampus C UNAIR, diskusi itu menghadirkan tiga pembicara.

Tiga pembicara tersebut adalah Prof. Suwarno, M.Si., drh, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH); Prof. R. Bambang W, dr., MS., MCN., Ph.D., SpGK, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM; dan Dyah Wulan Sari, SE,M.Ec.Dev.,Ph.D., Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Diskusi berjalan sangan menarik dengan dimoderatori dr. Niken sasadhara S., selaku dokter umum Rumah Sakit UNAIR.

Ketua PIH UNAIR Dr Suko Widodo dalam sambutan pembukanya menyampaikan, akhir-akhir ini masyarakat Indonesia disibukkan dengan aktivitas Pemilu, juga kampanye. Banyak energi yang tersita atas narasi-narasi politik yang saling dileparkan oleh setiap kubu.

”Sekarang sudah waktunya kembali fokus pada kebutuhan pangan bagi masyarakat kita,” ujarnya.

”Ini merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena berhubungan dan berpengaruh pada gizi yang akan diterima masyarakat. Maraknya makanan yang mengandung bahan kimia dan tidak bisa dihindari juga berpotensi memberikan efek yang negatif ke depannya,” imbuhnya.

Karena itu, ungkap Dr Suko, diskusi perihal pangan dalam berbagai prespektif sangat penting untuk dilakukan. Mengingat, terbaru banyak perubahan-perubahan pola-pola ketahanan pangan akibat perkembangan teknologi dalam era Revolusi 4.0.

Dalam diskusi tersebut, materi pertama disampaikan Prof. Dr. Suwarno, M.Si., drh. Yakni, perihal pangan dari bidang ternak. Menurut Prof. Dr. Suwarno, konsumsi pangan masyarakat di indonesia juga besar diambil dari ranah hewani, seperti unggas, kambing, dan sapi.

”Impor pangan hewani cukup tinggi. Namun, Jawa Timur memiliki potensi ternak yang paling tinggi di Indonesia,” ungkapnya.

Lalu, jika mengimpor hewan, sangat diperlukan ketelitian yang tinggi bagi pemerintah maupun swasta. Namun, hal tersebut sudah mampu diatasi oleh para ahli di Indonesia dalam mengklasifikasi hewan yang akan diimpor.

”Sebab, ada beberapa negara yang perlu kita waspadai kareternak mereka terindikasi terkena virus,” ungkapnya.

Lalu, materi kedua disampaikan Prof. Bambang mengenai kesehatan dan keamanan pangan. Keamanan pangan di Indonesia, lanjut dia, harus benar-benar diperhatikan dengan baik. Sebab, era saat ini sangat marak makanan yang membahayakan bagi kesehatan.

Permasalahan lain yang dihadapi ialah pada mutu beras dan juga distribusi pangan yang tidak seimbang. Biasanya pada wilayah terpencil memiliki ketahanan atau kualitas pangan yang rentan.

”Terdapat 26 kabupaten di Indonesia yang memiliki ketahanan atau kualitas pangan yang rendah,” imbuhnya.

Prof. Bambang pewarna kimia yang beredar di pasaran juga begitu berbahaya bagi kesehatan, hal ini akan memberikan dampak atau efek jangka panjang yang cukup berbahaya. Biasanya para mahasiswa atau masyarakat pekerja yang di kos ini berpotensi tinggi terkena efek dari bahan kimia yang mereka konsumsi dari pangan. Karena, biasanya mereka kurang hati hati dalama melihat makanan.

”Karena itu, dalam mengkonsumsi makanan kita harus tetap menakankan pada segi kualitas dan tetap hati-hati. Supaya terhindar dari segala hal yang tidak diinginkan dan membahayakan kesehatan,” katanya.

Kemudian materi terakhir disampaikan oleh Dyah Wulan Sari berkenaan dengan ekonomi dan keamanan pangan. Ia mengungkapkan bahwa selama ini masih banyak masyarakat mempermainkan harga kebutuhan pangan. Sehingga kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan keamanan pangan dan gizi dirasa masih belum cukup. Misalnya dengan harga lombok yang melambung tinggi.

Berbagai permasalahan yang dialami masyarakat dirasa masih cukup pelik. Diantaranya pendidikan yang minim karena kurangnya akan informasi tentang pentingnya pendidikan bagi setiap anak Indonesia.

“Ada anak yang sekolah tapi tidak mendapatkan ijazah. Itu artinya mereka memilih untuk putus sekolah dan memutuskan untuk bekerja lantaran tidak adanya pengetahuan dan manfaat akan pentingnya pendidikan,” pungkasnya.

Adanya subsidi pendidikan bagi anak sekolah dirasa belum tepat sasaran. Hal itu dikarenakan subsidi tersebut tidak hanya dinikmati oleh masyarakat golongan tertentu akan tetapi masyarakat dengan goilongan menengah ke atas juga dapat menikmatinya. Sehingga akan terjadi kesenjangan ekonomi yang tidak merata.

Selain pendidikan, Dyah Wulan juga menyoroti permasalahan ekonomi pada kebijakan beras keluarga miskin (RASKIN) yang dinikmati oleh masyarakat yang kurang mampu. ditemukan fakta dilapangan bahwa RASKIN tidak hanya dinikmati oleh masyarakat menengah kebawah, akan tetapi juga sering disalahgunakan oleh masyarakat menengah ke atas dalam penggunaannya.

“Kebijakan pemerintah dalam hal ini tidak tepat sasaran. Sehingga masyarakat menengah keataspun dapat menikmati barang-barang pangan khususnya ekonomi yang disubsidi oleh pemerintah,” tambahnya.

Ada beberapa cara untuk mengukur ketahanan pangan, yakni pengeluaran pangan dan kecukupan energi pangan berdasarkan jumlah konsumsi pangan dibagi angka kecukupan energi menurut jenis kelamin dan usia yang bervariasi,” sebutnya. (*)

 

 

Penulis: Muhammad Wildan Suyuti

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).