Tahun ini, Sumpah Pemuda akan menginjak usia ke-90. Andaikan ia seorang manusia, usia 90 tahun biasanya kita lekat dengan bayangan manusia tua yang secara fisik mulai menurun. Lantas apakah Sumpah Pemuda memang benar-benar telah menurun, dalam artian berkurang atau bahkan tidak ada lagi pengaruhnya? Bagaimana langkah gerakan mahasiswa hari ini dalam merawat Sumpah Pemuda?
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia selalu tidak pernah terlepas dari gerakan mahasiswa yang mengiringi di dalamnya. Mulai dari sekedar bikin pusing kepala penguasa, bahkan sampai menurunkan penguasa. Lantas bertepatan di momen 90 tahun Sumpah Pemuda, apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa?
Apakah kita hanya berencana (lagi-lagi) memperlakukan Sumpah Pemuda sebagai sebuah hafalan di sekolah, tanpa ada suatu aksi nyata sebagai inspirasi dari momen 90 tahun Sumpah Pemuda? Dengan kata lain, atau jangan-jangan kita hanya berencana membiarkannya menjadi angin lalu saja? Maka dari itu, kita harus mulai menyusun suatu rancangan strategis gerakan mahasiswa kini. Rancangan strategis ini tidak hanya memandu berjalannya gerakan mahasiswa dalam menghadapi rintangan-rintangan hari ini, namun juga menentukan arah gerak mahasiswa kedepannya.
Kondisi Hari Ini
Rancangan strategis ini tentu berangkat dari kondisi real (nyata) yang terjadi hari ini. Secara spesifik, kondisi nyata ini merujuk pada kondisi ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang terjadi hari ini di Indonesia. Patut diingat, bahwa keempat hal tersebut saling bertautan satu sama lain, atau dengan kata lain saling mempengaruhi satu sama lain, dan tidak berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu kondisi khusus yang terpisah.
Saya akan berangkat dari kisruh data BPS soal kemiskinan, dan kemudian digembar-gemborkan oleh Menkeu Sri Mulyani pada bulan Juli lalu. Disebutkan bahwa pertama kali dalam sejarah, kemiskinan menyentuh angka di bawah 10 persen per Maret 2018, atau lebih tepatnya di angka 9,82 persen. Indikatornya ialah, seseorang dianggap miskin apabila pengeluaran rata-ratanya di bawah Rp 401.220 per bulan, atau dengan kata lain dalam sehari pengeluarannya di bawah Rp 11.000.
Tentu ini sangat tidak diterima oleh akal sehat kita, jika melihat kondisi hari ini. Rp 11.000 mungkin cukup bagi kita seorang mahasiswa, namun dengan syarat hanya dimanfaatkan untuk makan sehari sekali (sekedar perhitungan kasar). Indikator kemiskinan ini juga dimentahkan oleh media Vice yang melakukan liputan lapangan dan menemukan bahwa pengeluaran sebesar Rp 19.000 per hari di Jakarta (khusus di Jakarta seseorang dianggap miskin apabila pengeluarannya kurang dari Rp 19.000 per hari) sangat-sangat tidak cukup.Kekisruhan data ini menunjukkan bahwa sebenarnya kemiskinan di Indonesia masih merajalela, dan bagi saya, data statistik ada kalanya tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya.
Masalahnya persoalan kemiskinan ekonomi ini tidak tunggal, namun merembet pada aspek-aspek lain. Orang-orang kecil ini rentan dikriminalisasi, dan bisa kita temui fenomena saat ini petani-petani di berbagai daerah dikriminalisasi. Orang-orang kecil ini juga rentan terhadap dampak negatif pembangunan besar-besaran. Belum lagi bicara soal kesempatan politik, apalagi saat ini momennya menjelang Pemilu 2019. Kesempatan mungkin setara, orang-orang kecil mendapatkan kesempatan yang sama dengan kelas menengah dan kelas atas, akan tetapi seringkali mereka tidak memiliki pengetahuan soal kapabilitas politisi-politisi yang maju, lantaran keterbatasan biaya membuat mereka sulit mengakses informasi yang memadai yang sudah terkomersialisasi. Akibatnya orang-orang kecil ini rentan untuk dibodohi oleh calon-calon politisi negeri ini.
Rancangan Strategis
Melihat paparan kondisi di atas, lantas apa yang bisa dilakukan oleh gerakan mahasiswa saat ini? Masihkah kita terlelap dalam romantisme Sumpah Pemuda 90 tahun lalu yang sekedar dihafalkan untuk mendapat nilai di pelajaran Sejarah? Atau berencana menggalang deklarasi Sumpah Pemuda versi zaman milenial, yang setelah acara hilang melayang entah kemana?
Kondisi yang telah saya paparkan secara singkat di atas menunjukkan bahwa orang-orang kecil masih menjadi prioritas advokasi mahasiswa. Jika merujuk pada buku Max Lane “Unfinished Nation”, mahasiswa berfungsi sebagai penegak moral, ketika terjadi ketidakberesan di negeri ini maka mahasiswa haruslah turun tangan membereskannya.
Mahasiswa harus tetap berpihak pada rakyat kecil, bukan menghamba pada kekuasaan, secara spesifik para elit politik. Inilah nafas inti gerakan mahasiswa sejak dahulu. Menyentil penguasa yang lalai terhadap rakyat kecil.
Namun bukan berarti mahasiswa alergi dengan para elit. Mereka pun rata-rata juga pernah ditempa dalam gerakan mahasiswa di zamannya. Kita serap pengalamannya untuk kemudian diterapkan dalam gerakan hari ini.
Di sisi lain, aksi nyata kita juga tidak sebatas berhenti pada advokasi rakyat kecil yang menjadi korban keganasan kondisi hari ini. Kita juga harus turun langsung mencerdaskan masyarakat dan membantu menyelesaikan problem-problem sosial, dengan ilmu yang kita punya. Apalagi melihat sistem pendidikan saat ini yang masih belum memadai, membuat kita harus meringankan tugas negara dalam mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia.
Sehingga menyambut 90 tahun Sumpah Pemuda bukan sekedar terjatuh dalam kubangan romantismenya atau deklarasi kosong dengan alasan penyesuaian zaman, namun yang dibutuhkan adalah aksi nyata dari mahasiswa sebagai pemuda yang hasratnya menggebu-gebu mendorong bangsa menuju arah yang lebih baik.